Minggu, 15 Mei 2011

PETA MASALAH ANAK JALANAN


BAB 1

PENELITIAN MODEL PEMBERDAYAAN KELUARGA
DALAM MENCEGAH TINDAK TUNA SOSIAL
OLEH REMAJA DI PERKOTAAN

 



I.   PENDAHULUAN

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang memberikan pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembangnya remaja. Dengan kata lain, secara ideal perkembangan remaja akan optimal apabila mereka bersama keluarganya. Tentu saja keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang harmonis, sehingga remaja memperoleh berbagai jenis kebutuhan, seperti kebutuhan fisik-organis, sosial maupun psiko-sosial.
Uraian tersebut merupakan gambaran ideal sebuah keluarga. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat memenuhi gambaran ideal tersebut. Perubahan sosial, ekonomi dan budaya dewasa ini telah  banyak memberikan hasil yang menggembirakan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian pada waktu bersamaan, perubahan-perubahan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi keluarga. Misalnya Adanya gejala perubahan cara hidup dan pola hubungan dalam keluarga karena  berpisahnya suami/ibu dengan anak dalam waktu yang lama setiap harinya. Kondisi yang demikian ini menyebabkan komunikasi dan interaksi antara sesama anggota keluarga menjadi kurang intens. Hubungan kekeluargaan yang semula kuat dan erat, cenderung longgar dan rapuh . Ambisi karier dan materi yang tidak terkendali, telah mengganggu hubungan interpersonal dalam keluarga.
Dalam kaitannya dengan permasalahan remaja, rintangan perkembangan remaja menuju kedewasaan itu ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi anak diwaktu kecil di lingkungan rumah tangga dan lingkungan masyarakat, dimana anak itu hidup dan berkembang. Jika seseorang individu dimasa kanak-kanak banyak mengalami rintangan hidup dan kegagalan, maka frustrasi dan konflik yang pernah dialaminya dulu itu merupakan penyebab utama timbulnya kelainan-kelainan tingkah laku seperti kenakalan remaja, kegagalan penyesuaian diri dan kelakuan kejahatan. Ekspresi meningkatnya emosi ini dapat berupa sikap bingung, agresivitas yang meningkat dan rasa superior yang terkadang dikompensasikan dalam bentuk tindakan yang negatif seperti pasif dalam segala hal, apatis, agresif secara fisik dan verbal, menarik diri, dan melarikan diri dari realita ke minuman alkohol, ganja atau narkoba, dan lain-lain.
Dewasa ini permasalahan remaja masih cukup menonjol, baik kualitas maupun kuantitasnya. Tidak kurang Presiden RI, Megawati Soekarno Putri, mengkhawatirkan kondisi remaja pada saat ini. Dikemukakan bahwa berbagai fenomena kegagalan sekarang ini antara lain disebabkan pembinaan keluarga yang gagal. Lebih jauh dijelaskan  bahwa dari 15.000 kasus narkoba selama dua tahun terakhir, 46 % di antaranya dilakukan oleh remaja (Media Indonesia, 30 Juni, hal; 16). Selain itu di Indonesia diperkirakan bahwa jumlah prostitusi anak juga cukup besar. Departemen Sosial memberikan estimasi bahwa jumlah prostitusi anak yang berusia 15-20 tahun sebanyak 60 % dari 71.281 orang. Unicef Indonesia menyebut angka 30 % dari 40-150.000; dan Irwanto menyebut angka 87.000 pelacur anak atau 50% dari total penjaja seks (Sri Wahyuningsih, 2003).
Menyadari bahwa di satu sisi keluarga merupakan lingkungan sosial pertama dan utama bagi tumbuh kembang remaja, pada sisi lain remaja merupakan potensi dan sumber daya manusia pembangunan di masa depan, maka diperlukan program yang terencana. Program terencana dimaksud akan dapat dicapai, apabila tersedia data dan informasi yang obyektif dan aktual tentang permasalahan keluarga maupun remaja. Dalam kerangka itu, maka diperlukan penelitian.
 Dalam upaya memperoleh data dan informasi yang obyektif, ada sejumlah pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana pelaksanaan fungsi keluarga?, (2) bagaimana pandangan keluarga tentang kenakalan remaja?, (3) bagaimana kondisi kehidupan sosial remaja?, (4) bagaimana pandangan remaja tentang pola asuh dalam keluarga dan kenakalan remaja?, dan (5) program apa saja yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun Organisasi Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam pemberdayaan keluarga dan remaja? Sejumlah pertanyaan penelitian tersebut  kemudian menjadi landasan perumusan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode ini digunakan dalam upaya mendeskripsikan pelaksanaan fungsi keluarga, dan implikasinya terhadap kehidupan sosial  remaja serta upaya pencegahan dan penanganannya, baik dalam keluarga, oleh pemerintah maupun Organisasi Sosial dan atau Lembaga Swadaya Masyarakat lokal (Irawan Soehartono, 1995).
Penelitian dilaksanakan di tujuh kota, yaitu Medan, DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi Selatan dan Pontianak. Ketujuh kota tersebut dipilih secara purposive dengan alasan bahwa angka kenakalan remaja cukup signifikan. Adapun yang menjadi sampel yaitu (a) keluarga (orang tua) yang memiliki anak remaja (usia 13 – 18 tahun) yang berpotensi berperilaku tuna sosial (nakal), dalam wilayah kota, dan (b) remaja usia 13-18 tahun yang berpotensi berperilaku tuna sosial (nakal), dalam wilayah kota, melakukan aktivitas sosial maupun ekonomis di pusat-pusat kegiatan ekonomis maupun sosial. Penentuan “berpotensi berperilaku tuna sosial” berdasarkan pemantauan LSM setempat.
Penentuan sample dengan teknik snow ball, mengingat belum tersedianya data yang memadai untuk dua kategori populasi tersebut (Irawan Soehartono, 1995). Mekanisme kerja dari penggunaan teknik ini, pertama peneliti menemukan seorang responden dan dari responden pertama tersebut diperoleh responden kedua dan seterusnya, hingga tercapai jumlah responden sebanyak yang ditentukan. Penentuan sampel penelitian ini di lapangan banyak dibantu oleh Organisasi Sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan remaja di perkotaan. Untuk responden orang tua (keluarga) pada masing-masing kota adalah 30 orang, dan responden remaja (13–18 tahun) sebanyak 30 orang. Kemudian penentuan sampel Orsos/LSM secara purposive dengan kriteria, LSM yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan remaja di perkotaan serta telah operasional minimal dua tahun, masing-masing lokasi sebanyak 3 Orsos/LSM. Selanjutnya informan instansi pemerintah masing-masing propinsi 2 instansi. Total responden sebanyak 455 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi, wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar pertanyaan, dan pengamatan pada kondisi atau lingkungan tempat tinggal responden. Selanjutnya data dan informasi yang sudah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Sebuah analisis  dalam bentuk naratif dan didukung dengan angka dalam bentuk persentase.
II.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini lokasi dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, lokasi berlangsungnya proses penggalian data dengan responden remaja dan  kedua, untuk responden orang tua atau keluarga. Untuk lokasi responden remaja, peneliti melacak tempat-tempat yang biasa dikunjungi remaja berdasarkan informasi dari berbagai sumber (media cetak, elektronik maupun LSM lokal). Dari penelitian ini diperoleh 12 jenis lokasi dari tujuh kota besar, yaitu plaza dan mall, diskotik, cafe, rumah makan, pertokoan dan pasar, sekitar TMP, pinggir jalan raya, pantai, taman kota dan alun-alun, stasiun KA dan terminal, kompleks hotel dan bioskop.
Pada umumnya para remaja mengunjungi plaza, mall, diskotik, cafe, pantai dan bioskop. Tempat-tempat tersebut memberikan pemenuhan kebutuhan sosial maupun psiko-sosial bagi remaja tersebut. Setelah melakukan aktivitas (bekerja atau sekolah) remaja mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk melepaskan beban psikisnya bersama teman-temannya. Berbeda dengan jenis tempat sebelumnya, rumah makan, pertokoan dan pasar, stasiun KA dan terminal serta pinggiran jalan raya  merupakan tempat-tempat yang pada umumnya memberikan pemenuhan kebutuhan sosial maupun ekonomis. Pada umumnya di tempat-tempat ini para  remaja melakukan aktivitas ekonomis seperti menjadi tukang parkir, semir sepatu, pedagang asongan, dan pengamen. Meskipun demikian, sebagian remaja wanita ada yang memperoleh pemenuhan kebutuhan ekonomis di tempat-tempat seperti diskotik, cafe, kompleks hotel, bioskop dan pantai, antara lain  sebagai penjaja seks. Sebagian yang lain minum minuman keras dan menggunakan narkotika. Begitu juga pada sebagian remaja laki-laki, tempat-tempat tersebut untuk melakukan tingkah laku tuna sosial seperti minum minuman keras, menggunakan narkotika dan melakukan transaksi seksual. Sebagian dari remaja laki-laki maupun perempuan ada yang pulang semaunya. Sebagian yang lain, bahkan jarang sekali pulang. Mereka hidup di jalanan, emperan pertokoan, plaza dan mall atau di stasiun KA dan terminal bus, yang sudah layaknya seperti rumah bagi mereka.
 Kemudian untuk menemukan responden orang tua, peneliti melacak dari responden remaja. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa populasi dan sampling untuk remaja maupun orang tua (keluarga) adalah mereka yang berdomisili di wilayah Kota. Karena itu pada saat penjangkauan di lapangan, terjadi proses seleksi, dimana remaja yang tinggal di luar Kota tidak diambil sebagai responden penelitian.  Dengan bantuan LSM setempat melalui teknik snow ball, akhirnya dapat diperoleh responden remaja dan orang tuanya yang berdomisili di  3 - 4 wilayah kecamatan dalam satu Kota.

Identitas Responden

Responden Keluarga
Kriteria keluarga yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak remaja atau pada usia 13-18 tahun. Sebagian besar responden berdomisili di daerah yang dekat pusat kegiatan ekonomi maupun sosial warga kota. Dilihat dari sisi umur, pada umumnya responden secara ekonomis termasuk ke dalam kelompok produktif, yaitu berkisar 40 - 55 tahun.
Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan formal, sebanyak 66,67% ayah memiliki tingkat pendidikan SLTA dan AK/PT. Data ini menggambarkan, bahwa tingkat pendidikan ayah yang terjangkau dalam penelitian ini dapat dikatakan kategori tinggi. Sedangkan tingkat pendidikan ibu, sebanyak 60% pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA atau dapat dikatakan pada kategori sedang. 
Dilihat dari jenis pekerjaan, jenis pekerjaan ayah yaitu pemulung, buruh, dagang, swasta, TNI/POLRI dan tidak bekerja. Dari jenis-jenis pekerjaan tersebut, persentase tertinggi pada jenis pekerjaan swasta (40 %). Sedangkan jenis pekerjaan ibu, yaitu buruh, dagang, swasta dan tidak bekerja. Dari  jenis-jenis pekerjaan tersebut, persentase tertinggi tidak bekerja (56.67 %).
Kemudian dilihat dari besarnya penghasilan, sebanyak 33% berpenghasilan kurang dari Rp. 500.000, sebanyak 50 % berpenghasilan antara Rp. 500.000 – Rp.1.000.000 dan sebanyak 17% berpenghasilan di atas Rp. 1.000.000.
Selanjutnya, dilihat dari lingkungan tempat tinggal sebanyak 66.67% keluarga menempati perumahan dan perkampungan, atau tempat tinggal yang relatif lebih baik. Sementara itu sebanyak 33.33% atau sepertiga responden tinggal di lingkungan kumuh. Dari keseluruhan rensponden, sebanyak  66,67% sudah menempati sendiri, meskipun di antara rumah itu dalam kondisi darurat.
Responden Remaja
Responden remaja menurut pendidikan, persentase tertinggi pada jenjang pendidikan SLTP (sebanyak 43.33%), SLTA sebanyak 36,67%, SD sebanyak 16.67%, SD sebanyak 16.67% dan tidak tamat SD sebanyak 3.33%.  Dari jumlah responden seluruhnya, yang masih sekolah (SLTP dan SLTA) sebanyak 56.67%.
Sebagian besar responden tinggal bersama orang tua (83,33%) kemudian numpang dengan orang lain (13,33%)  diantaranya adalah tinggal dengan nenek, dengan saudara sepupu dan dengan kakak, hanya 3,33% responden yang menyatakan ngontrak.

Pelaksanaan Fungsi Keluarga

Fungsi  Ekonomis
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, bahwa salah satu fungsi keluarga adalah memenuhi kebutuhan nafkah atau ekonomi anggota keluarganya. Kebutuhan ekonomi ini seringkali dioperasionalkan ke dalam kebutuhan sosial dasar, seperti kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa tidak semua keluarga mampu memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya disebabkan oleh berbagai faktor.
Dalam upaya keluar dari masalah, keluarga mengembangkan suatu strategi atau coping strategy dari kondisi tersebut. Dimana keluarga tersebut memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk melaksanakan kegiatan ekonomi informal. Jenis kegiatan ekonomi informal dimaksud seperti pemulung, menyemir sepatu, mengamen, mengemis dan asongan serta melakukan pelacuran.

Dilihat dari struktur keluarga, sebagian besar (66,67 %) termasuk ke dalam keluarga kecil, yang terdiri dari unsur ayah, ibu dan anak-anak. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan pada bab sebelumnya, bahwa jumlah tanggungan responden cukup besar. Sebanyak 43,33%  keluarga memiliki jumlah tanggungan sebanyak 4 orang lebih.

Karena itu, meskipun mereka sebagian besar termasuk keluarga kecil, namun terdapat keluarga yang persentasenya cukup besar berpotensi memiliki permasalahan dalam mengembangkan hubungan sosial, pembagian kerja dan pemenuhan kebutuhan sosial dasar. 
Karena peranan ayah sebagai kepala keluarga dan bertugas mencari nafkah, secara konvensional ayah memposisikan dirinya sebagai orang yang paling dominan memegang kendali keluarga. Dalam penelitian ini diketahui, bahwa sebanyak 40% ayah mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan keluarga. Sebagimana dikemukakan terdahulu, bahwa perubahan sosial budaya telah merubah pola-pola manajemen keluarga. Karena itu, dominasi ayah dalam mengelola keluarga menjadi tidak mutlak. Sebagaimana hasil penelitian ini, bahwa sebanyak 30% keluarga tidak ada yang memiliki posisi dominan. Artinya, dalam keluarga ini segala kegiatan dan keputusan sudah dilaksanakan secara kolektif antara ayah, ibu dan anak-anak.

Fungsi Sosial-Psikologis

Di dalam fungsi sosial-psikologis ini ada sejumlah peranan dan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh orang tua. Fungsi sosial-psikologis ini lebih diarahkan pada pengembangan komunikasi atau hubungan sosial yang hangat antara orang tua dengan anak, dan antara anak dengan anak dalam upaya membentuk kepribadian anak. Hasil penelitian mengenai tindakan pembentukan kepribadian orang tua kepada anak, dari 7 (tujuh) jenis tindakan dalam rangka pembentukan kepribadian anak, yaitu pengembangan komunikasi antar nak, memberi peran dan tanggung jawab, memberikan pujian/penghargaan, mengembangkan kerja sama, menanamkan saling mengasihi dan hormat, pemberian contoh dan memelihara keakraban dalam keluarga; bahwa jawaban responden sebagian besar jatuh pada kategori kadang-kadang (atau sedang) dengan persentase sebesar 40 – 66%.
Secara ideal, kepribadian seseorang ditampilkan dalam bentuk perilaku sosial yang teramati. Untuk mengembangkan perilaku yang positif diperlukan  tindakan dari orang tua, sehingga nilai yang sudah tertanam dalam pribadi remaja, dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan standar sosial dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas. Ada sejumlah jenis tindakan yang dilakukan orang tua dalam pembentukan kepribadian, yaitu protektif, memberikan kebebasan pada anak, terlalu menurut anak, penolakan terhadap anak, penerimaan terhadap anak, dominasi orang tua, mengajarkan kepatuhan, tidak adil, ambisi orang tua, mendengarkan keluhan anak, dan mengatasi masalah bersama. Jawaban responden sebagian besar jatuh pada kategori kadang-kadang (atau sedang) dengan persentase sebesar 43 – 70%.
Setelah proses pembentukan sikap dan pola tingkah laku remaja, selanjutnya perlu ditelusuri bagaimana hubungan sosial antara anggota keluarga, sebagai  hasil dari pelaksanaan fungsi sosial. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya pola hubungan antara anggota keluarga berada pada kategori biasa-biasa. Batasan konsep “biasa-biasa” ini, bahwa dalam keluarga pernah terjadi perselisihan antara orang tua – anak atau antar anak dalam frekuensi kadang-kadang, dan diselesaikan secara baik-baik.
Kekurang-harmonisan antara anggota keluarga tentu saja ada faktor penyebabnya. Berbagai alasan yang dikemukakan responden terjadinya kekurang harmonisan dalam keluarga, yaitu (1) anak tidak menurut pada orang tua, (2) anak jarang pulang atau bertemu dengan anggota keluarga, dan (3) terjadinya komunikasi yang buruk antara orang tua dengan anak. 
Kemudian dalam kaitannya dengan tindak tuna sosial remaja atau secara lebih spesifik kenakalan remaja, digali pandangan orang tua. Pada umumnya orang tua sepakat bahwa jenis tindakan berikut merupakan bentuk kenakalan, yaitu berbohong, merokok, membolos, melawan guru, mejeng di mall, begadang dijalanan, pulang larut, tidak/jarang pulang, berkelahi/tawuran, minum minuman keras, mengkonsumsi napza, seks bebas, mencuri, memeras/memalak dan merampok (53 – 100 %).  
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan pada remaja, menurut orang tua, yaitu (1) pengaruh teman sebaya, (2) lingkungan sosial, (3) pola asuh dalam keluarga, dan (4) pengaruh nonton flim/TV.  Meskipun menurut orang tua, penyebab kenakalan remaja yang dominan berasal dari lingkungan sosial, namun pada umumnya orang tua berpendapat bahwa pencegahan terjadinya kenakalan remaja perlu dimulai dari dalam keluarga, antara lain dengan mengembangkan hubungan sosial yang hangat, menanamkan disiplin, pemberian contoh dan pendidikan mental spiritual.
Kehidupan Sosial Remaja

Kehidupan Remaja Dalam Keluarga

Gambaran tentang hubungan remaja dengan anggota keluarganya diungkap dengan melihat penilaian remaja terhadap kegiatan yang dilakukan bersama  keluarganya, ketersediaan waktu orangtua bersama anak, orang yang paling sering diajak memecahkan masalah dan kegiatan lingkungan yang diikuti.
Untuk mengetahui pelaksanaan fungsi sosial keluarga ini, berikut disajikan sejumlah kegiatan yang sering diikuti secara bersama-sama oleh anggota keluarga menurut remaja. Sebanyak 60 remaja merasa tidak ada kegiatan keluarga yang dapat dikategorikan sebagai kegiatan yang sering diikuti anggota keluarga. Selebihnya (40%) menyatakan sejumlah kegiatan yang sering diikuti walaupun dalam frekuensi yang sangat rendah seperti makan dan ibadah, kunjungan keluarga dan nonton TV. Kemudian menurut intensitas pertemuan dengan keluarga, 70% remaja merasa bahwa intensitas pertemuan keluarga masih belum maksimal, yang meliputi kategori jarang sebanyak 33,33 % dan kategori sangat jarang 36,67%. Besarnya angka ini mencerminkan bahwa  menurut remaja sebagian besar keluarga masih kurang memperhatikan aspek kebutuhan sosial keluarga sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
Minimnya kegiatan bersama anggota keluarga ini tidak terlepas ketersediaan waktu orangtua untuk mengadakan kegiatan tersebut. Sesungguhnya di mata remaja 63,33% orangtua  mempunyai waktu yang memadai untuk mengadakan kegiatan bersama dan 36,6% kurang tersedia waktunya. Bila dibandingkan dengan data sebelumnya tentang intensitas pertemuan keluarga, ternyata hanya 30% yang sering mengadakan pertemuan. Ini berarti ada 33,33% keluarga yang ketersediaan waktunya memadai namun tidak memanfaatkannya untuk mengadakan pertemuan keluarga. Dalam kondisi yang demikian anak dapat mengambil kesimpulan (persepsi) tersendiri yang bersifat negatif terhadap keluarganya.
Dari segi pemanfaatan waktu untuk mengadakan pertemuan keluarga sebagaimana dimaksudkan di atas dapat melibatkan dua pihak. Pihak pertama adalah pihak orangtua sebagai pemimpin keluarga, dan pihak kedua adalah anggota keluarga lainnya termasuk anak (remaja). Di satu sisi orangtua sebagai kepala keluarga diharapkan mengambil inisiatif lebih dahulu, dan di sisi lain inisiatif mungkin datang dari anggota keluarga lainnya termasuk anak (remaja), namun keputusan tetap ditentukan oleh orangtua. Bahwa orangtua yang selalu menanggapi anak ketika mengutarakan pendapatnya hanya 26,67 %, sementara sebagian besar lagi (73,33 %) tidak maksimal dalam menanggapi. Sikap orangtua yang kurang dalam menanggapi anaknya ini dapat berakibat negatif terhadap anak. Misalnya  anak menjadi malas dalam mengutarakan pendapatnya atau mengambil inisiatif tertentu terhadap satu masalah.

Persepsi Remaja terhadap Pola Asuh

Bahwa pola asuh yang dominan menurut remaja adalah pola asuh otoriter (83,33%), disusul dengan pola asuh permisif dan demokratis masing-masing 33,33%. Ini berarti bahwa menurut remaja terdapat 90 % keluarga yang kurang demokratis dalam menerapkan pola asuh terhadap anak-anaknya. Hal ini akan menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi perkembangan anak.
Sejalan dengan pola asuh tersebut dapat dicermati lebih jauh dasar pemikiran dan tindakan orangtua dalam mengasuh anaknya. Pola asuh yang demokratis akan bertindak lebih rasional, dengan angka persentase yang kebetulan sama yaitu 33,33%. Demikian pula sebaliknya dengan pola asuh yang tidak demokratis (permisif dan otoriter) yang mempunyai persentase yang relatif sama dengan kategori tindakan yang tidak rasional (emosional dan irasional), yaitu 90%. Pola asuh yang dikembangkan dalam satu keluarga selanjutnya dapat mengantarkan anak pada satu gambaran tertentu tentang tingkat keharmonisan keluarga.

Kehidupan Remaja di Luar Rumah

Deskripsi tentang gaya hidup remaja di perkotaan digambarkan dengan melihat beberapa aspek kehidupan atau kegiatan remaja. Aspek tersebut adalah  lokasi atau tempat yang paling sering dikunjungi, tujuan mangkal pada tempat yang dikunjungi, alasan untuk mendatangi tempat tersebut, keuntungan yang diperoleh mangkal di tempat tersebut, rata-rata lama waktu yang dihabiskan saat berkunjung, dan waktu yang paling sering digunakan untuk berkunjung.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa lokasi yang banyak dikunjungi remaja adalah pusat kegiatan ekonomi maupun sosial yang lebih bernuansa hiburan. Adapun tujuan mereka mengunjungi tempat-tempat tersebut adalah (1) mencari uang, (2) mencari hiburan dan (3) cari teman baru.  Dari ketiga jenis tujuan tersebut, mencari hiburan menjadi tujuan utama remaja. Sedangkan alasan mereka adalah 83,33% karena orangtua otoriter, 50% karena tidak betah di rumah, 16,67% karena tidak ada lokasi main, dan 16,67%  membantu ekonomi keluarga. Alasan tersebut sejalan dengan keuntungan yang diperoleh remaja pada saat mangkal, yaitu dapat hiburan dan stres hilang (100%), dapat teman baru (53,33%) dan ketemu teman lama (13,33%). Alasan dan keuntungan tersebut juga sejalan dengan tujuan remaja mangkal, yaitu mencari hiburan (100%), dan cari teman baru (53,33%).
Faktor lain yang terkait dengan perilaku mangkal remaja ini adalah waktu yang sering digunakan remaja untuk mangkal. Sebanyak 60% pada siang hari, 23% sore dan 17% malam hari. Kemudian dilihat dari lamanya mangkal, 56,67% antara 1-3 jam, 26,67% antara 4-6 jam, dan16,67 % lebih dari 6 jam.
Data ini menunjukkan bahwa 83,33% remaja menghabiskan waktunya pada siang dan sore hari di luar rumah untuk mangkal. Perlu diketahui bahwa data tersebut hanya untuk satu kegiatan remaja yaitu mangkal. Artinya masih banyak kegiatan lainnya di luar rumah yang belum tercatat. Ini mengindikasikan bahwa intensitas pertemuan dengan anggota keluarga lainnya terutama dengan orangtua sangat terbatas. Terbatasnya pertemuan dengan anggota keluarga ini akan mempengaruhi kualitas hubungan sosial dalam keluarga. Bahkan lebih parah lagi 16,67 % remaja mangkal pada malam hari, dengan lama mangkal 16,67% lebih dari 6 jam. Meskipun persentasenya relatif kecil, namun alokasi waktu tersebut sangat rawan secara sosial dengan berbagai tindakan tuna sosial.

Persepsi terhadap Kenakalan

Berbeda dengan pendapat orang tua, bahwa berbohong, merokok, mejeng di mall, berkelahi/tawuran, dan minum minuman keras bukan termasuk tingkah laku nakal. Sedangkan jenis tindakan yang menurut remaja termasuk nakal, yaitu menggunakan narkoba, seks bebas, mencuri, memeras/ malak, dan merampok. Namun demikian  sikap yang tegas tersebut ternyata tidak menjamin mereka tidak melakukan tindakan dimaksud. Misalnya demi persahabatan, ataupun pelarian sesaat.
Sedangkan faktor yang menyebabkan remaja bertingkah laku nakal, yaitu (1) teman sebaya, (2) lingkungan, (3) pola asuh otoriter, dan (4) pengaruh film dan TV. Dari faktor-faktor tersebut persentase tertinggi adalah pengaruh dari lingkungan (86,67 %) dan pola asuh otoriter orang tua (70,00%). Sehubungan dengan itu, menurut remaja dilakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya kenakalan remaja, yaitu (1) teladan orang tua, (2) disiplin dalam keluarga, (3) pendidikan agama dalam keluarga, dan (4) memelihara hubungan sosial yang hangat dalam keluarga.

Program Pemerintah
Lembaga pemerintahan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah unit pemerintahan yang memiliki program pemberdayaan keluarga dan pembinaan remaja, yaitu Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika Propinsi.
Pemberdayaan Keluarga
Program yang dikembangkan dalam pemberdayaan keluarga, yaitu peningkatan status sosial ekonomi bagi keluarga muda yang rawan sosial ekonomi, dan konsultasi keluarga. Tujuan dari program ini, bahwa peningkatkan ketahanan keluarga melalui pemantapan fungsi-fungsi keluarga. Implementasi program melalui pendekatan kelompok usaha bersama, dimana keluarga yang menjadi sasaran program dibagi-bagi ke dalam kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 10 orang. Paket di dalam program pemberdayaan ini, yaitu bimbingan fisik, sosial, mental-spiritual dan bimbingan ekonomis produktif.  
Peningkatan Kesejahteraan Anak dan Remaja
Program pemberdayaan anak (termasuk di dalamnya remaja) dibedakan menjadi dua pendekatan, yaitu sistem panti dan luar panti. Tujuan dari penyelenggaraan program pelayanan bagi anak adalah agar anak menemukan hak dan kebutuhannya, sehingga dapat hidup secara wajar. Di samping melaksanakan pelayanan langsung, dinas sosial juga memberikan bantuan teknis kepada organsiasi sosial/LSM yang menyelenggarakan program pemberdayaan anak. 
Pemulihan Sosial
Pemulihan anak nakal dan eks korban narkotika dilaksanakan melalui sistem panti. Untuk anak nakal di dalam Panti Sosial Marsudi Putra, dan untuk anak eks korban penyalahgunaan Narkotika di dalam panti Sosial Pamardi Putra. Tujuan yang dicapai dari progran pemulihan ini, anak dapat kembali hidup secara wajar di dalam lingkungan keluarganya, dan dapat  kembali sekolah seperti dulu. Di samping melaksanakan program pemulihan langsung, dinas sosial juga memberikan bantuan teknis kepada organisasi sosial  yang menyelenggarakan program pemulihan bagi anak eks korban narkotika.
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
PKBM merupakan suatu wadah yang dijadikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, mengkoordinasikan dan mengontrol program Diknas sesuai dengan kebutuhan kondisi masyarakat, sehingga mampu menggali, menumbuhkan dan memberdayakan potensi masyarakat baik spiritual, material dan personal.
Manfaat PKBM bagi masyarakat adalah memberikan wahana bagi warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan warga belajar berupa pengetahuan dan keterampilan yang bermakna bagi kehidupannya. Kemudian yang menjadi sasaran PKBM yaitu masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan yang tersedia di PKBM.

Pembinaan Remaja dan Karang Taruna

Program yang dilaksanakan adalah Pemberdayaan Organisasi sosial kepemudaan tingkat desa. Wujud pemberdayaannya antara lain pembinaan/ bimbingan dan pemberian bantuan. Untuk pembinaan / bimbingan sosial dilaksanakan melalui penyuluhan-penyuluhan di 5 kabupaten. Sedangkan untuk pembinaan usaha ekonomis produktif berupa bimbingan kewirausahaan. Selain itu dilaksanakan juga semacam studi banding antar daerah.
Tujuan dari program ini adalah pembinaan remaja agar dapat mengisi waktu luangnya dengan hal-hal positif dan menghindarkan diri dari kegiatan negatif. Sasaran yang dicapai antara lain pengurus dan anggota Karang Taruna di tingkat desa. Melalui sasaran ini diharapkan dapat mempunyai multiply effect pada remaja lainnya.

Pencegahan Narkoba dan Kesehatan Reproduksi

Program yang dilaksanakan meliputi pencegahan narkoba, kesehatan reproduksi remaja dan kepedulian remaja terhadap lingkungan. Program ini dikemas dalam berbagai bentuk seperti penyuluhan, talk show, TOT, festival film, lomba kreativitas remaja hingga tukar-menukar pengiriman pemuda baik antar propinsi maupun antar negara.
Penyuluhan yang dilakukan meliputi penyuluhan di sekolah-sekolah dan penyuluhan terpadu di lima kabupaten/kota per tahun. Untuk penyuluhan di sekolah pelaksanaannya bekerjasama dengan sekolah-sekolah. Kegiatannya dilanjutkan dengan TOT bagi siswa SLTP dan SMU untuk menjadi peer educator sampai dibentuknya Posko-posko di setiap sekolah.
Program Orsos/LSM
Pemberdayaan Anak Jalanan
Program yang dikembangkan dalam LSM Bahtera yaitu pemberdayaan anak jalanan dan keluarganya. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah (1) anak jalanan dapat melanjutkan sekolahnya, (2) anak jalanan dapat memperoleh keterampilan kerja produktif dan bekerja secara layak, dan (3) terjadinya peningkatan kondisi sosial ekonomi keluarga anak jalanan, sehingga mampu menarik anaknya dari jalanan. Dalam pelaksanaannya mengembangkan kerja sama dengan instansi pemerintah seperti Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial.
Pemberdayaan Keluarga Miskin Perkotaan
Usaha Ekonomis Produktif dan Usaha Mandiri Bagi kelurga miskin perkotaan dan anak yang menyandang masalah sosial. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah meningkatkan produktivitas dan kemandirian ekonomi keluarga. Sumber dana kegiatan diperoleh dari Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dikucurkan melalui program Jaring Pengaman Sosial – Bidang Sosial (JPS-BS) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di samping itu dana yang diperoleh dari masyarakat.
Pencegahan Tindak Tuna Sosial Remaja
Program yang dikembangkan dalam upaya pencegahan ini, dinamakan Investasi Masa Depan Bangsa dalam bentuk pendidikan formal, non formal dan diklat pemberdayaan. Sumber dana kegiatan diperoleh dari Dinas Sosial Jawa Barat. Tujuan yang akan dicapai dari program ini adalah memotivasi remaja agar memiliki tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Pencegahan HIV/AIDS
Program yang dilaksanakan yaitu (1) kemah Remaja Peduli AIDS dan Narkoba (pameran kespro, seni musik, dll), (2) pelatihan Kesehatan Reproduksi (3 angkatan), (3) pelatihan Remaja “Menikah kapan sebaiknya ?” (esensi kesehatan reproduksi, IMS, HIV/AIDS dan Narkoba), (4) dan pembuatan Film Video Cassete “Aids dan Narkoba Sahabatku”. Tujuan dari program dan kegiatan yang dilaksanakan pada dasarnya adalah health promotion dan pengubahan perilaku masyarakat terutama pada masyarakat yang rawan narkoba.
Pembinaan Mental dan Spiritual Remaja
Program yang dilaksanakan oleh Remaja Masjid meliputi pembinaan mental dan spiritual remaja yang dilaksanakan melalui pendekatan seni baca shalawat dan peringatan hari besar Islam, dan seni musik bernuansa islami. Tujuan dari pembinaan mental dan spiritual ini lebih diutamakan kepada menyiarkan dan mengembangkan Syiar Islam, terutama kepada kaum remaja Islam sebagai generasi penerus bangsa., termasuk di dalamnya pencegahan terhadap tindak kenakalan dan ketunaan sosial lainnya.
III. PENUTUP
 Kesimpulan           
-         Terlihat bahwa kehidupan kelurga sedang mengalami masa transisi dari kehidupan keluarga besar menjadi keluarga inti, dari budaya tradisional pedesaan menjadi budaya modern perkotaan. Karena itu, kehidupan mereka ini sangat rentan terhadap setiap kondisi, perubahan dan pengaruh lingkungan yang terjadi.  Selain itu, pendapat mereka kurang dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan keluarga.  Tentu faktor ini juga menjadi faktor penyebab percepatan perubahan dalam kehidupan keluarga tersebut.  Mungkin suatu saat mereka akan melakukan apa saja untuk menghidupi keluarga karena tuntutan kebutuhan dan perubahan yang terjadi.
-          Dalam pola asuh keluarga terhadap anak, pihak orang tua atau keluarga mulai memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak.  Jelas hal ini akan memberikan akses interaksi sosial yang semakin luas terhadap anak untuk bergaul dengan teman-temannya.  Sesungguhnya akses ini akan memberikan peluang kepada anak untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian dan wawasan anak, bilamana dapat diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik.  Namun, sebaliknya bila keluarga tidak dapat mengontrolnya, tidak mustahil akan terjadi perilaku-perilaku yang a-sosial terhadap anak.  Karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan-pemberdayaan terhadap keluarga.
-          Lama waktu yang dihabiskan anak berada di tempat-tempat hiburan tersebut sebagian besar antara 1-3 jam; digunakan untuk berkunjung ke tempat-tempat tersebut adalah pada malam hari antara 19.00 – 21.00; dan sebagian lagi pada siang hari antara 13.00 – 17.00 WIB, sisanya tidak tentu, mungkin pada siang hari, sore hari, malam hari, atau larut malam.  Waktu-waktu ini sesungguhnya merupakan waktu yang sangat rawan bagi kehidupan anak.  Namun ini dapat terjadi karena fungsi keluarga dan lingkungan sosial tidak dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
-          Terlihat adanya kesamaan persepsi antara orang tua dengan anak dalam melihat beberapa variabel sikap dan perilaku sebagai perilaku nakal, seperti ; membolos sekolah, melawan guru, mejeng di pertokoan, bergadang di jalanan, pulang larut malam, tidak pulang ke rumah, berkelahi tawuran, minuman keras, narkotika, seks bebas, mencuri, memeras, membajak atau merampok.  Namun, beberapa variabel sikap dan perilaku tidak dilihat sebagai perilaku nakal baik oleh anak maupun orang tua itu sendiri, seperti : berbohong, merokok, terlambat sekolah, dan tidak mau belajar.  Pemandangan seperti ini akan menjadi titik masuk yang memberikan peluang ke pada anak untuk menjadi nakal.
-          Menurut para remaja ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan anak, seperti: pengaruh media massa khususnya TV dan film, faktor teman sebaya dan masyarakat sekitar, kurangnya perhatian orang tua dan tidak adanya kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan anak di rumah.
-          Beberapa upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah kenakalan remaja, yaitu anak harus dilatih tertib dan disiplin, kerukunan dan kehangatan dalam keluarga harus tetap dibina, anak harus dianjurkan untuk tetap  melakukan kewajiban-kewajiban ibadah, orang tua harus dapat menjadi tauladan bagi anak, orang tua harus lebih memperhatikan kehidupan anak dan anak harus diberikan kegiatan-kegiatan positif dalam keluarga yang dapat mencegah anak berbuat nakal.
-          Program-pogram yang ditawarkan kepada masyarakat khususnya dari pihak pemerintah dalam rangka mencegah sikap dan perilaku tindak tuna sosial belum sepenuhnya dapat menjawab permasalahan keluarga yang sesungguhnya.  Program yang ditawarkan belum mampu merubah aspek kognitif, efektif dan psikomotorik dari masyarakat tersebut, program yang ditawarkan lebih banyak menekankan pada aspek bantuan fisik.  Sedangkan program dari pihak LSM atau organisasi sosial dapat dikatakan lebih masuk pada aspek kognitif, efektif dan psikomotorik kemudian diikuti oleh bantuan oleh bantuan fisik. Namun, frekuensinya masih terbatas karena dana terbatas.    
Rekomendasi
-          Sebelum mereka lebih jauh larut dalam perubahan kota yang mungkin terjadi, dan mereka kurang mampu mengontrol perubahan yang terjadi, maka sangat diperlukan pemberdayaan-pemberdayaan yang dapat menjawab tuntutan perubahan yang terjadi.
-          Pemberdayaan yang diberikan perlu menekankan: (a)  terjadinya perubahan aspek kognitif, afektif dan aspek psikomotorik yang diikuti dengan bantuan fisik; (b) perlu adanya koordinasi di antara  instasi terkait termasuk LSM atau Orsos; (c) perlu adanya keterpaduan program dalam hal perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan sehingga hasilnya lebih maksimal dan frekuensinya lebih sering; dan (d) belum melibatkan secara penuh partisipasi masyarakat dan potensi-potensi yang ada dalam masayrakat tersebut.
-          Berangkat dari hasil penelitian dan kerangka teoritik yang ada  maka pola pemberdayaan keluarga guna mencegah terjadinya tindak tuna sosial dapat diarahkan pada:
Ø  Pemberdayaan harus melihat keluarga sebagai sistem yang tidak terpisahkan satu sama lain. Artinya bila anak yang bermasalah, maka harus dilihat dalam konteks keluarga tersebut
Ø  Pemberdayaan kelurga diarahkan pada penguatan struktur dan pengembalian fungsi keluarga yang sesungguhnya. Ayah harus berfungsi sebagai ayah, sebagaimana layaknya sebagai seorang ayah, demikian juga dengan ibu dan anak. Hendaknya jangan suatu kebutuhan keluarga harus dicari diluar rumah karena di dalam keluarga tidak terpenuhi. Bila itu didapatkan di luar rumah, tentu karena kesepakatan bersama..
Ø  Pemberdayaan diarahkan pada pengembangan identitas individual yang merupakan ciri individu tersebut, namun tetap dalam kebersamaan dan kesatuan dengan keluarga tersebut.
Ø  Pemberdayaan keluarga harus diarahkan pada pengembangan komunikasi horizontal yang semakin kondusif di antara anggota keluarga yang dapat memperkuat ikatan batin di antara anggota keluarga yang ada.
Ø  Guna memantapkan fondasi ekonomi-sosial keluarga yang semakin mantap maka perlu pemberdayaan dalam bidang usaha-usaha ekonomis produktif.

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, 1977, Social Learning Theory, Princetice – Hall, Inc.
Cole,L., 1963. Psychology of Adolescence. New York : Rinehart and Compny, Inc.
Corey, Gerald, 1996. Theory and Practice of Councelling and Psychotherapy. Fifth edition. Pacific Grove, Brook/Cole Publishing Company.
Departemen Sosial RI, 2002. Standarisasi Bimbingan Kesejahteraan Sosial Keluarga, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga.
Goldenberg, Herbert and Irene Goldenberg, 1990. Counselling Today’s Family. Pacific Grove, Brook/Cole Publishing Company.
Goldstein,J., Freud, A., dan Sonit, A.J., 1973, Beyond The Best Interest of The Child, New York : The Free Press.
Heru Nugroho, 2000. Struktur-struktur Mediasi sebagai Sarana untuk Memberdayakan Rakyat: Sebuah Telaah Sosiologis Kebijakan Publik, dalam Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Magnis Suseno dkk, Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hettherington, E.M.,S Parke, R.D., 1986. Child Psychology : a Contemporary View Point. (3rded.). Tokyo : Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd.
Hurlock, E.B. (1973) Personality Development. New Delhi : Tata Mc Graw Hill.
Hurlock, E.B. (1997). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan, Jakarta : Erlangga.
Koentjoro. 1997. Kontradiksi Power Motif dalam Prostitusi : Sebuah Upaya Pemahaman Keluarga. Makalah Simposium. Yogyakarta : Kongres Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia.
Meichati, S., 1974. Laporan Penelitian Tentang Tanggapan Remaja Mengenai Diri Dan Kehidupan. Laporan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Mönk. F.J., Knoers, S.M.P., S Hadotono, S,R. 1991. Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Muhari, 1983, Suasana Rumah dan Prestasi Belajar. Suatu Studi Tentang Pengaruh Suasana Rumah Terhadap Prestasi Belajar Para Pelajar SMU Tingkat Pertama di Jawa Timur. Disertasi Yogyakarta Universitas Gajah Mada.
Mulyana, E. 2000. Studi Pola Asuhan Orangtua di Beberapa Komunitas Sumber Utama Pelajardan Komunitas Bukan Sumber Utama Pelajar. Thesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM
Mussen, P.H., Conger, J.J., 1979, Essential of Child Development and Personality, New York :  Harper & Row Publisher.
Nuryoto, S., 1995. Psikologi Prkembangan. Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Pikunas, J., 1976, Human Development. An Emergent Science. 3rd.ed., Tokyo : Mc Graw – Hill Kogakusha Ltd.
Santoso, F.H. 1995. Minat terhadap Film Kekerasan di televisi terhadap Kecenderungan perilaku Agresif Remaja. Jurnal Psikologi UGM No.2.30 – 35.
Sukadji, S & Badingah, S. 1994. Pola Asuh Perilaku Agresif Orangtua dan Kegemaran Menonton Film Kekerasan sebagai Prediktor Perilaku Agresif (Studi pada Remaja Kodya Bandar Lampung). Jurnal Psikologi No 1.25 – 29.
Susilastuti, E. 1986. Pengaruh Pola Asuhan Orangtua Terhadap Sikap Mandiri  Pada Remaja Siswa Kelas 1 SMA Muhammadiyah I Yogyakarta, Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Suwarsiyah, A. 1987. Pengaruh Persepsi Remaja terhadap Pola Asuhan Orangtua  pada tingkahlaku Agresif ditinjau dari urutan kelahiran dan jenis kelaminnya, Thesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Tetrawanti. R. 1989. Hubungan Antara Family Relationship dengan Kompetensi Sosial Remaja pada Siswa – Siswi SMA BOPKRI II di Yogyakarta. Thesis (tidak dipublikasikan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM.
Yaumil C. Agoes Achir, 1994. Pembangunan Kesejahteraan Keluarga: sebagai Wahana Pembangunan Bangsa, dalam Prisma, no. 6-1994, Jakarta: LP3ES.















BAB 2

PENGEMBANGAN UJI COBA MODEL PEMBERDAYAAN REMAJA MELALUI
KARANG TARUNA



I.  PENDAHULUAN


Remaja adalah generasi penerus perjuangan dan cita-cita bangsa, sehingga remaja yang mempunyai potensi yang cukup besar ini perlu didukung sepenuhnya baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, agar tetap dalam posisi sebagai sumber daya manusia yang berkualitas.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara remaja mempunyai posisi yang strategik, baik dalam hal usaha pengembangan remaja itu sendiri maupun masyarakat pada umumnya, dalam hal ini berarti remaja mempunyai posisi yang strategik dalam membangun bangsa dan negara ini. Sedemikian besarnya peran dan tanggungjawab remaja terhadap bangsa ini, namun mereka masih dihadapkan pada permasalahan sosial yang akhir-akhir ini semakin banyak, berat dan kompleks, sehingga lembaga-lembaga pengembangan sumber daya manusia  (remaja) semakin dibutuhkan.
Salah satu wadah yang mempunyai komitmen terhadap pengembangan generasi muda diasumsikan telah dimiliki oleh setiap desa/kelurahan adalah organisasi Karang Taruna. Karang Taruna mempunyai posisi yang strategik dalam pengembangan remaja secara umum, manajemen organisasi, teknik profesional dalam usaha kesejahteraan sosial, kaderisasi dan keberlanjutan kegiatan karang taruna masih memerlukan pembinaan secara optimal. Pendayagunaan potensi dan posisi strategik untuk pengembangan potensi generasi muda relatif belum optimal. Kondisi ini tercermin dari jumlah Karang Taruna yang dikategorikan maju dan percontohan baru mencapai 20,35%. Hasil penelitian penjajagan tentang kondisi Karang Taruna oleh Balatbang Sosial (2002) yang menyatakan bahwa salah satunya adalah Manajemen Organisasi tidak berjalan dengan baik, kegiatan yang dilaksanakan lebih bersifat sporadis. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah bagaimana model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kualitas Karang Taruna sehingga dapat berfungsi efektif membantu remaja mengatasi masalah dan kesulitan yang dihadapinya baik secara pribadi maupun dialami secara kolektif.
 Penelitian ini bertujuan  untuk memperoleh  satu model pemberdayaan  remaja melalui  karang taruna  yang dapat diterapkan  sehingga dapat  meningkatkan  kualitas remaja dan pengurus karang taruna  yang berfungsi  efektif dan terbinanya  kontinuitas kegiatan karang taruna. Penelitian ini dilaksanakan di 3 lokasi yaitu Propinsi Nusa Tenggara Barat, Bengkulu dan Sulawesi Utara. Penelitian ini menggunakan metode partisipatif yaitu metode pendekatan yang memungkinkan  responden untuk bersama-sama menganalisis yang ada, dalam rangka  merumuskan kebijakan secara nyata, yang berarti  responden dipandang sebagai  subjek dan objek penelitian, dengan sasaran substansi  adalah sikap partisipasi masyarakat, motivasi remaja dan pengurus karang taruna, potensi remaja dan  pengurus karang taruna sehingga dalam perlakuan yang dilaksanakan  adalah membangun sikap dan partisipasi masyarakat dengan cara persamaan persepsi tentang karang taruna dan sosialisasi program kelompok kerja; membangun motivasi  remaja dan pengurus dengan cara memotivasi  remaja dan pengurus karang taruna; dan peningkatan potensi remaja  dan pengurus karang taruna dengan memberikan pengetahuan  tentang manajemen penyusunan program, monitoring dan evaluasi kegiatan, dan analisa SWOT dalam penyusunan program; dan kemitraan.

II.   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 Karakteristik Responden

Anggota Karang Taruna
Anggota karang taruna yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah  anggota karang taruna yang tergabung dalam kelompok  kerja dan dibina selama proses uji coba. Setiap karang taruna mempunyai 2 kelompok kerja yang terdiri dari masing-masing kelompok 10 orang anggota. Usia responden paling muda adalah 15 tahun dan yang tertua adalah 35 tahun, kondisi ini menunjukkan bahwa  mereka masih dalam kategori  usia anggota karang taruna (usia anggota karang taruna dalam buku panduan adalah 15 – 45 tahun) dari rentang usia tersebut  dapat dikelompokkan  menjadi 3 kelompok yaitu kelompok remaja (15-21 tahun) 35 %, remaja dewasa (22-28 tahun) 41,7% dan kelompok  usia dewasa (29-39 tahun) 23,3%. Sedangkan pendidikan responden sebagian besar (90 %) adalah  menengah ke bawah yaitu dari pendidikan  SD sampai SLTA, selebihnya (10 %) adalah pendidikan  sarjana muda/D3 dan S1.
Masyarakat
Responden masyarakat  yang dimaksud dalam penelitian ini adalah  orang  tua atau orang yang ditunjuk untuk mewakili keluarga, hal ini didasari pemikiran bahwa sikap orang tua dan atau keluarga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kiprah anak di dalam kegiatan organisasi karang taruna.
Usia responden sebagian besar (77,1%)  dapat dikategorikan  pada usia produktif yakni antara 30-50 tahun. Dengan keadaan yang seperti ini diharapkan adanya kemungkinan dukungan  yang akan diberikan  oleh orang tua relatif besar, dalam arti tidak hanya  terbatas pada dana tetapi kemungkinan dukungan pikiran, tenaga dan keterampilan.
Sedangkan pendidikan  responden masyarakat  adalah tidak tamat SD (3,6%),  tamat SD (21,7%), tamat SLTP (12,0%), tamat SLTA (43,9%) dan perguruan tinggi/sarjana Muda/Diploma dan Sarjana  sebanyak 19,3 %. dan jenis pekerjaan responden  adalah  pegawai swasta (31,3%), wiraswasta 19,3 %, PNS 13,3 %, pertukangan 7,2%, pensiunan dan penjahit masing-masing 4,8 %, pengrajin 3,6%, buruh 1,2 % dan selebihnya tidak bekerja.
Tokoh Masyarakat.
Tokoh masyarakat dari NTB (desa midang) adalah aparat desa, wakil dari  lembaga pengembangan masyarakat (LPM), dan tokoh yang mewakili  badan perwakilan desa dan guru. Sedangkan tokoh masyarakat dari Sulawesi Utara (kelurahan girian) adalah tokoh masyarakat yang ditentukan oleh masyarakat dan karang taruna atas kesepakatan bersama antara pengurus karang taruna, pendamping dan  peneliti. Sedangkan tokoh masyarakat  dari Bengkulu (kebun tebeng) adalah  tokoh yang dipilih atas dasar pilihan masyarakat  dan remaja yaitu salah satu ketua RT, dan orang yang mempunyai komitmen  tinggi dalam pengembangan masyarakat di desa kebun tebeng yaitu salah satu direktur perusahaan di Bengkulu, dan salah satu anggota DPRD dan pengusaha jasa pelayanan pesta.
Legislatif Desa
Legislatif desa dalam hal ini adalah penentu kebijakan  desa masing-masing lokasi karang taruna. Responden yang dapat di wawancara dalam penelitian ini kepala desa midang (NTB), sekretaris kelurahan girian (Sulawesi Utara) dan lurah kebun tebeng (Bengkulu). Disatu sisi mereka berperan sebagai penentu kebijakan dan disisi lain mereka adalah orang yang relatif memahami  situasi dan kondisi  potensi dan sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam maupun sosial yang ada di lingkungan wilayahnya.
Pembinaan Karang Taruna di Daerah
Keberhasilan dari program pemberdayaan  remaja  melalui karang taruna pada dasarnya  sangat dipengaruhi  oleh kondisi  organisasi karang taruna. Dalam kerangka ini, eksistensi organisasi  sebagai  lembaga  pemberdayaan perlu memperoleh  dukungan  terutama dari instansi sektor yang terkait  dengan pembinaan dan pengembangan organisasi maupun legislatif lokal (kepala desa/lurah), maka kebutuhan data  dan informasi tentang pembinaan  karang taruna di daerah ditelusuri dari responden  dinas sosial (khususnya berkaitan dengan program), kepala desa dan tokoh masyarakat (program desa) dan anggota karang taruna. Berdasarkan data dan informasi  yang terhimpun maka pembinaan terhadap karang taruna dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu penyuluhan dan bimbingan, dan pelatihan. adapun wujud yang diberikan kepada karang taruna adalah :
¨    manajemen organisasi.
¨    kewirausahaan.
¨    bimbingan dan penyuluhan.
¨    pelatihan keterampilan.
¨    bantuan stimulan.
secara rinci  program pembinaan karang taruna dimasing-masing daerah adalah :
Nusa Tenggara Barat
Program pembinaan yang dilakukan adalah program penyuluhan dan motivasi, peningkatan sumber daya manusia, sedangkan bentuk kegiatannya adalah:
¨    penyuluhan sosial dalam  rangka pencerahan masyarakat terhadap peran karang taruna.
¨    pembinaan karang taruna melalui pelatihan pengurus/aktivitas karang taruna, baik dalam bidang  usaha ekonomis produktif, usaha kesejahteraan sosial, maupun rekreatif disertai pemberian bantuan/stimulan.
¨    kemah bhakti karang taruna.
¨    penilaian karang taruna guna memotivasi perkembangan karang taruna.
Pembinaan yang dilakukan bersifat pengembangan usaha atau kewirausahaan, dan jenis usaha yang telah dilakukan  meliputi pangkas rambut, sablon dan perbengkelan sepeda motor. Sedangkan dalam penyuluhan  sosial informasi yang diberikan antara lain permasalahan narkoba dan HIV/AIDS, tentang cara-cara berorganisasi dan peran pemuda dalam pembangunan, serta penjelasan  tentang kegiatan-kegiatan  karang taruna sesuai dengan bidang masing-masing.

Sulawesi Utara
Program pembinaan  yang dilakukan meliputi penyuluhan tentang HIV/AIDS, narkoba, pergaulan bebas/bahaya penyakit menular seksual dan pelatihan keterampilan berupa pelatihan pertukangan dan peternakan. Usaha ekonomis produktif dengan membentuk  kelompok usaha bersama (KUBE) karang taruna.

Bengkulu
Program  pembinaan karang taruna putra pendawa yang dilakukan meliputi peningkatan  manajemen organisasi, usaha kesejahteraan sosial, manajemen kewirausahaan dan jaringan kemitraan karang taruna dengan dunia usaha.  Sedangkan  jenis pelatihan  keterampilan yang sudah dilakukan adalah pelatihan dasar las, pengembangan unggas dan sapi dan pengembangan industri kecil.
  Dari berbagai jenis  pembinaan  yang sudah dilakukan  terhadap karang taruna baik oleh instansi  sosial  maupun dari  pihak desa/kelurahan dan instansi yang berkomitmen  terhadap pengembangan  remaja dan karang taruna, menurut remaja yang paling sering memberikan pembinaan secara terus menerus  adalah aparat desa/kelurahan, sedangkan pembinaan yang dilakukan oleh instansi  sosial belum berjalan secara rutin terutama di daerah Sulawesi Utara. Sedangkan materi yang disampaikan dalam pembinaan tersebut menurut remaja dan tokoh masyarakat sudah cukup bagus dan menyentuh permasalahan atau sasaran yang dibutuhkan oleh karang taruna.
Penerapan Model
Pendekatan yang digunakan dalam penerapan model bahwa “remaja dan karang taruna” sebagai sasaran penelitian  dipandang sebagai  subjek dan objek penelitian. Berperan sebagai objek berarti  aktivitas yang mereka laksanakan di dalam penerapan model  merupakan fenomena (gejala) yang diamati dalam penelitian. Sedangkan peran sebagai subjek  berarti kelompok kerja yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan dalam penerapan model  (penguatan potensi). Kelompok  kerja mempunyai wewenang sepenuhnya untuk menentukan alternatif pilihan kegiatan mereka berperan sebagai perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai evaluator (pelaksana monitoring dan evaluasi pada akhir kegiatan). Pendekatan ini yang dipandang mempunyai relevansi dalam penerapan model dimaksud. Penerapan pendekatan ini di dasari pemikiran  bahwa mereka adalah pelaksana yang paling  mengetahui kondisi lingkungan tempat  tinggalnya (khususnya berkaitan dengan  permasalahan, potensi, kekuatan dan peluang) dan mereka adalah calon pemanfaat  dari hasil kegiatan yang akan dilaksanakan. Diharapkan dengan pendekatan  semacam ini mempunyai nilai  praktis hasil riilnya mempunyai manfaat yang dapat diaplikasikan  secara berkesinambungan.
Tahap Persiapan
Langkah awal yang ditempuh adalah  sosialisasi model yang dilaksanakan di pusat dan di daerah. Sosialisasi di tingkat pusat  dilaksanakan dalam  bentuk seminar maupun diskusi, dengan tujuan untuk memperoleh persamaan persepsi  tentang model yang akan diuji cobaka dan membangun koordinasi  antara Balatbang Sosial  dengan unit teknis  dalam penentuan kebijakan alternatif yakni kebijakan  yang ditempuh dalam pembinaan  karang taruna  dan dalam pembinaan generasi muda.
Sosialisasi model di lokasi penelitian merupakan pengenalan  model kepada  instansi yang mempunyai komitmen  terhadap aktualisasi generasi muda  dan  eksistensi  karang taruna. Kegiatan ini dimaksudkan untuk membangun koordinasi antara  peneliti dengan instansi sosial setempat, aparat desa/kelurahan, karang taruna serta ORSOS/LSM dalam pelaksanaan uji coba. Langkah-langkah yang dilakukan adalah :
¨    Penjelasan tentang model yang diujicobakan.
¨    Penentuan lokasi uji coba.
¨    Penentuan petugas pendamping yang diharapkan dapat membantu kegiatan penelitian.
¨    Penentuan jadwal kegiatan dengan tokoh masyarakat dan pengurus karang taruna.
¨    Penentuan jadwal pertemuan dengan kelompok kerja untuk pembahasan rencana (program), monitoring dan evaluasi kegiatan.

Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan adalah tahap penerapan masing-masing substansi yang terkandung dalam model yang terdiri dari  membangun sikap partisipasi masyarakat, peningkatan pengetahuan dan motivasi serta penguatan potensi karang taruna.
a. Membangun Sikap Partisipasi Masyarakat
Langkah awal yang dilakukan adalah membangun kesamaan  pandangan  tentang eksistensi  karang taruna dilingkungan masyarakat (anggota karang taruna, tokoh masyarakat serta aparat pemerintah desa/kelurahan).Persamaan pandangan atau persepsi yang dibangun adalah: 1) karang taruna merupakan  organisasi/lembaga independen milik masyarakat yang  berada di tingkat  desa/kelurahan yang berfungsi sebagai wahana pembinaan generasi muda; 2) karang taruna dikembangkan untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tidak untuk kepentingan pihak tertentu, baik Departemen Sosial, Dinas Sosial maupun salah satu organisasi politik. Teknik yang digunakan   dalam membangun kesamaan persepsi adalah dialog. peserta dialog terdiri  dari pengurus dan anggota karang taruna, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa/kelurahan serta petugas dari dinas sosial (Propinsi dan Kota/ Kabupaten).
Terbangunnya kesamaan pandangan/persepsi masyarakat  dimaksud pada dasarnya  merupakan modal dalam rangka menggugah tanggung jawab sosial (sikap partisipatif) tokoh dan warga masyarakat dalam pembinaan remaja melalui karang taruna
b. Peningkatan Pengetahuan Dan Motivasi
Dalam rangka peningkatan pengetahuan  dan motivasi  kepada remaja, setiap karang taruna uji coba dibentuk  2 kelompok kerja, masing-masing kelompok terdiri dari unsur remaja dan aktivis karang taruna, hal ini dimaksudkan untuk menanggulangi kesenjangan antara pengurus dan remaja yang sekaligus mempunyai makna  pengkaderan. Dalam konteks ini akan terbangun proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (baik pengetahuan maupun keterampilan dalam mengelola organisasi), keberlanjutan kegiatan dan optimalisasi hasil yang akan dicapai.
Peningkatan Pengetahuan
Kegiatan yang dilakukan, penyampaian materi kepada kelompok kerja meliputi  informasi  tentang karang taruna  mencakup bahasan tentang keanggotaan dan kepengurusan organisasi dan kegiatan. Pengertian tentang partisipasi meliputi bahasan tentang pengertian partisipasi  dan bagaimana pengukurannya, dan informasi tentang manajemen yang lebih menekankan pada  penerapan analisis swot (strength = kekuatan, weakneses = kelemahan-kelemahan, opportunity = peluang-peluang, threten= hambatan) untuk melihat permasalahan, potensi dan sumber yang ada di lingkungan karang taruna untuk dituangkan dalam perencanaan  program, monitoring dan evaluasi.
Peningkatan Motivasi
Yang perlu ditanamkan  pada remaja (kelompok kerja) adalah mereka merupakan bagian dari desa/kelurahan, sehingga apapun yang mereka lakukan kegiatan seluruh warga  sehingga mereka tidak sendiri dalam melaksanakan tugasnya, karena harus didukung oleh masyarakat. Penanaman motivasi ini  perlu didukung oleh  sosialisasi (pengenalan) program yang disusun oleh kelompok kerja  kepada masyarakat, guna mempertemukan aspirasi remaja dengan masyarakat, dengan tujuan mewujudkan suasana lingkungan sosial yang kondusif untuk perkembangan remaja dan organisasi karang taruna. Kegiatan ini didasari  pemikiran bahwa sadar atau tidak, keberhasilan  program yang telah disusun kelompok kerja sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakat luas dan pemikiran utama yang melandasi pola pembinaan remaja melalui karang taruna  berorientasi pada azas  swadaya.
Pada proses peningkatan pengetahuan dan motivasi, dilakukan pre test dan posttest kepada setiap anggota kelompok kerja. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kondisi (pengetahuan dan  motivasi) kerja selama uji coba berlangsung. Di sisi lain apakah informasi yang diberikan tersebut mempunyai pengaruh terhadap motivasi mereka dalam pelaksanaan kegiatan organisasi karang taruna.
Penguatan Potensi
Penguatan potensi di sini merupakan suatu langkah untuk optimalisasi sumber daya manusia, dalam hal ini adalah pelaksana  kegiatan karang taruna yaitu kelompok kerja yang sudah terpilih untuk memanage aset (intelektual, ideologi dan material) yang dimiliki dan peluang yang dapat diakses untuk pengembangan aset dimaksud. Dalam penerapan model ini  kelompok kerja mempunyai wewenang  sepenuhnya untuk menentukan/memutuskan alternatif pilihan kegiatan, mereka berperan sebagai perencana, pelaksana dan evaluator.
Teknik yang digunakan untuk menggali informasi/data berkenaan dengan kegiatan dimaksud adalah diskusi kelompok (FGD).  Prinsip dasar  dalam teknik FGD adalah setiap anggota mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pandangan, pendapat dan terlibat secara penuh (partisipatif). Langkah awal FGD adalah mengajak kelompok kerja karang taruna untuk selalu mengidentifikasi kekuatan (strength), kelemahan-kelemahan (weakneses), peluang-peluang (opportunity) dan hambatan (threten) yang ada pada  masing-masing lingkungan karang taruna  yang akan diaplikasikan pada setiap tahapan yaitu perencanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan.
Pokok bahasan dalam perencanaan program adalah  permasalahan, potensi, kegiatan  dan target.  Pada tahap ini peneliti mengajak kelompok kerja untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di daerah (di lingkungan karang taruna) dan potensi yang dapat dikembangkan  untuk mengatasi masalah tersebut. Hasil identifikasi dari kedua aspek tersebut sebagai upaya untuk memperoleh acuan dalam penentuan alternatif kegiatan (penyusunan program) untuk mengatasi salah satu atau beberapa permasalahan dimaksud, serta target yang akan dicapai dari kegiatan tersebut. Sedangkan monitoring ditujukan untuk memastikan apakah langkah-langkah kegiatan yang telah disepakati pada saat pemberian perlakuan berjalan sesuai dengan rencana dan apakah sumber daya yang telah ada dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Dalam rangka memperoleh data yang lebih akurat pelaksanaan monitoring, kelompok kerja mempunyai kewenangan penuh dalam penilaian atas hasil kerja yang telah dicapai, asumsinya pelaksana yang terlibat secara langsung akan lebih mengetahui sejauh mana kegiatan telah dilaksanakan, faktor apa yang berpengaruh serta bagaimana mengatasi masalah/hambatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan. Kemudian evaluasi  merupakan penilaian akhir kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh jawaban bagaimana realisasi hasil kegiatan yang telah dicapai dan faktor-faktor apa yang turut mempengaruhi  dalam proses pencapaian hasil tersebut.

Analisa Hasil Penelitian
Sikap Partisipasi Masyarakat
  Cerminan sikap dan perilaku masyarakat terhadap organisasi karang taruna dilihat dari beberapa aspek yakni apakah organisasi karang taruna dipahami oleh masyarakat, bagaimana masyarakat merespon organisasi tersebut, dan dukungan apa yang diberikan masyarakat untuk pengembangan organisasi dan kegiatannya.
a. Pemahaman Masyarakat Tentang Karang Taruna
Hal ini dikaji dari pengetahuan masyarakat  terhadap organisasi karang taruna, siapa yang seharusnya menjadi pengurus dan anggotanya, serta bagaimana aktivitas kepengurusannya.
Pemahaman tentang pengertian organisasi karang taruna, pada dasarnya relatif baik, dimana 91,6 % responden memiliki statemen  bahwa organisasi karang taruna adalah ORSOS yang bergerak di bidang pembinaan generasi muda  terutama dibidang kesejahteraan  sosial, selebihnya 4,8% memilih jawaban karang taruna sebagai ORSOS perkumpulan remaja, sedangkan 3,6% lagi memilih karang taruna adalah ORSOS untuk mengisi waktu luang.
Pengetahuan masyarakat yang relatif baik juga tercermin pada pertanyaan siapa yang seharusnya menjadi pengurus karang taruna, statemen yang dipilih sebagian besar responden (57%) adalah remaja /pemuda yang dipilih oleh mereka sendiri, 19,3 % menyatakan siapa saja dapat menjadi pengurus, 10,8% memilih pernyataan orang yang ditunjuk oleh kepala desa/lurah, selebihnya adalah orang yang berasal dari tokoh masyarakat/aparat desa dan memilih jawaban remaja/pemuda yang berpendidikan tinggi masing-masing 6%.
Kemudian menurut pengamatan sebagian besar responden (57,8%) adalah sebagian besar pengurus karang taruna aktif melaksanakan kegiatannya. dan selebihnya responden  (27,7%) mengatakan seluruh pengurus aktif menjalankan kegiatannya. Hal ini mengindikasikan  bahwa pengurus karang taruna mempunyai komitmen yang relatif tinggi.
Kemudian sebagian besar responden (96,4%) mengetahui rapat/ pertemuan yang diselenggarakan oleh pengurus dan sebagian besar responden (71,1%) juga mengatakan  sebagian besar remaja aktif mengikuti kegiatan karang taruna.
Hal ini juga dapat dilihat perolehan skor dari masing-masing komponen yang menunjukkan bahwa rata-rata skor yaitu dari 3,23 –4,88, ini dapat diinterpretasikan  bahwa pemahaman  responden relatif baik sampai sangat memahami. Dari data diatas menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat terhadap organisasi karang taruna relatif baik  dan dapat diartikan juga bahwa :
¨    Masyarakat tidak hanya sekedar mengetahui  apa organisasi dan apa    yang seharusnya menjadi anggota dan pengurusnya tetapi masyarakat juga turut memantau kiprah perkembangan organisasi yang ada di lingkungannya. Secara implisit dapat dikemukakan bahwa pemahaman masyarakat bahwa karang taruna tidak hanya sebatas keterampilan fisik, tetapi mereka juga mengetahui proses pelaksanaan kegiatan dimaksud.
¨       interaksi sosial antara pengurus karang taruna  dan remaja telah terbangun.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat  telah mempunyai kesamaan  persepsi  tentang organisasi karang taruna.
Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap terbangunnya  kesamaan persepsi masyarakat tentang organisasi karang taruna. :
¨       Sosialisasi karang taruna  telah dijadikan sebagai salah satu  program kegiatan organisasi  dengan tujuan  membangun persepsi masyarakat bahwa karang taruna bukan kebutuhan dari  salah satu organisasi politik tertentu.
¨       Pengurus dan generasi muda mempunyai semangat dalam pengembangan kegiatan karang taruna. Kondisi ini tercermin dari interaksi sosial yang relatif baik diantara pengurus  dan  anggota karang taruna.
¨       Kegiatan organisasi karang taruna di tengah masyarakat relatif bermanfaat.
b. Respon Masyarakat Terhadap Pengembangan Organisasi  Karang Taruna
hal ini akan dilihat dari beberapa  aspek :
¨       Respon masyarakat  terhadap keinginan  anak untuk ikut aktif dalam organisasi karang taruna. Secara umum kegiatan karang taruna telah mendapat  respon positif dari masyarakat.  Sebanyak 48,2% responden masyarakat memberikan alasan bahwa karang taruna  merupakan tempat penyaluran bakat remaja. Kemudian  32,5% menyatakan bahwa selain  penyaluran  bakat remaja  tetapi juga dapat merubah  perilakunya ke arah  yang lebih baik dan selebihnya  menanggapi  bahwa remaja mengikuti  kegiatan karang taruna hanya sekedar pengisian waktu luang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa  kegiatan  karang taruna  bermanfaat  sebagai upaya  pencegahan  dan penanganan masalah-masalah yang dialami  para remaja, bahkan dapat menyalurkan bakat dan minat yang dimilikinya untuk dikembangkan ke arah yang positif.
¨       Respon masyarakat terhadap keterlibatan remaja dalam karang taruna adalah relatif baik. Hal ini ditunjukkan 18,1% responden  memberikan kebebasan kepada anaknya untuk menentukan pilihan, 33,7% responden mendorong anak untuk ikut aktif di dalam organisaasi dan 48,2% responden akan berusaha untuk membantu dan mengarahkan anak di dalam kegiatan karang taruna.
¨       Sedangkan respon masyarakat terhadap statemen pengembangan kegiatan karang taruna di dukung oleh seluruh  warga masyarakat desa. Sebagian besar responden (56,6%) menyatakan sangat setuju dan 38,6%  setuju. Walaupun penekanan pernyataannya berbeda, kondisi ini dapat dikonotasikan 96,2 % responden menyetujui statemen tersebut. Kemudian  pada umumnya (98,8%) menyatakan bersedia memberikan dukungan/bantuan untuk pengembangan kegiatan karang taruna, walaupun dalam bentuk yang berbeda. mereka yang bersedia memberikan dukungan/bantuan, sebagian (54,2% ) bersedia memberikan bantuan seperlunya, dan selebihnya ada yang memberikan bantuan  yang bersifat insidental/kadang-kadang (922,9%), kemudian  16,9% sering memberikan bantuan dan selalu memberikan bantuan apabila diminta bantuan (4,8%).
Hal ini juga dapat dilihat dari perolehan skor rata-rata  yaitu 2,70–4,46, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa  dukungan masyarakat terhadap pengembangan  organisasi karang taruna relatif besar. Respon positif masyarakat terhadap beberapa komponen pengembangan merupakan dukungan besar yang mampu memberikan ketenangan  dan kenyamanan beraktifitas  dan sangat kondusif  untuk peningkatan produktifitas kerjanya. Keinginan remaja untuk ikut berperan aktif  di dalam kegiatan karang taruna merupakan salah satu faktor yang cukup bepengaruh  terhadap keberlanjutan  organisasi (kaderisasi). Informasi tersebut mengindikasikan  bahwa fungsi karang taruna  yakni sebagai wadah pemberdayaan generasi muda (remaja) telah dapat dijalankan.
c.  Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Karang Taruna
Partisipasi masyarakat pada dasarnya merupakan faktor yang relatif besar pengaruhnya terhadap keberlanjutan dan pengembangan  organisasi karang taruna. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat  dalam penelitian ini akan ditinjau dari bentuk dukungan  yang diberikan, frekuensi dukungan yang diberikan, kehadiran dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan pengurus karang taruna dan keterlibatan masyarakat  dalam kegiatan karang taruna.
 Sebagian besar responden (96,4%) mendukung kegiatan karang taruna di wilayahnya, sedangkan bentuk dukungan yang diberikan responden berupa sumbang saran/bimbingan (45,8%), sumbang saran/bimbingan dan tenaga (21,7%), sumbang saran/bimbingan, tenaga dan materi/barang (13,3%). Sedangkan responden yang memberikan dukungan secara total sebanyak 15,7%. Kemudian setiap kegiatan karang taruna ternyata  responden tidak selalu memberikan dukungan terhadap karang taruna. frekuensi dukungan  yang  sering diberikan  dinyatakan oleh 38,6% responden dan selebihnya kadang-kadang (34,9%) dan  selalu memberikan dukungan 16,9% sedangkan 3,6% menyatakan belum pernah memberikan dukungan.
 Kemudian secara umum (91,6%) masyarakat pernah menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh karang taruna.  Namun demikian dari responden yang pernah menghadiri pertemuan tersebut tidak semuanya selalu menghadiri setiap pertemuan tersebut, ada yang hanya kadang-kadang dapat menghadiri (45,8%), sering menghadiri (31,3%) dan selebihnya selalu menghadiri dan hanya 1-2 kali menghadiri. kehadiran responden dalam  pertemuan tersebut  disesuaikan dengan tingkat kesibukan mereka. Apabila pertemuan remaja  diadakan pada malam hari biasanya masyarakat yang hadir cukup banyak dan sebaliknya tidak semua masyarakat bisa hadir apabila pertemuan diadakan pada siang hari.
Sedangkan keaktifan responden dalam kegiatan karang taruna sebagian besar responden (60,2%) menyatakan tidak bisa ikut aktif dalam kegiatan karang taruna. Sedangkan mereka yang aktif dalam kegiatan karang taruna pada umumnya adalah responden yang ikut terlibat dalam kepengurusan wilayah maupun kepengurusan karang taruna. Keterlibatan responden ini membuktikan bahwa eksistensi karang taruna didukung sepenuhnya oleh komponen masyarakat setempat. Mereka yang  tidak terlibat langsung juga bukan berarti tidak mendukung kegiatan karang taruna, karena kegiatannya mampu mengurangi permasalahan sosial remaja di wilayahnya.
Pengetahuan Dan Motivasi Remaja  Dan Pengurus Karang Taruna
Tujuan yang hendak dicapai dari aplikasi model pemberdayaan remaja melalui karang taruna adalah terjadinya respon/sikap remaja dan pengurus yang tergabung dalam kelompok uji coba terhadap organisasi dan kegiatannya. Respon/sikap remaja terhadap organisasi karang taruna pada dasarnya merujuk pada pemahaman dan motivasi remaja terhadap karang taruna, dan bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan oleh remaja terhadap kegiatan yang diprogramkan oleh organisasi.
Pemahaman  remaja dan pengurus karang taruna pada dasarnya  dapat ditelusuri  dari pandangan  kelompok kerja tentang pengertian karang taruna dan kepengurusan dalam organisasi karang taruna.  Berdasarkan hasil skoring data dan informasi  dapat dikemukakan bahwa  pandangan remaja terhadap karang taruna relatif baik. Dalam kerangka ini mereka telah mempunyai pengetahuan tentang  apa yang dimaksud dengan karang taruna, siapa saja yang dapat menjadi pengurus karang taruna dan apa saja yang menjadi konsentrasi kegiatan karang taruna. Dalam keseharian aktivitas pengurus karang taruna  tidak terlepas dari pengamatan mereka. Informasi ini mengindikasikan  adanya kepedulian remaja  terhadap pengejawantahan organisasi karang taruna. Kepedulian mereka tidak hanya terbatas pada pengamatan saja, tetapi mereka secara partisipatif telah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi.
Untuk mengkaji perubahan yang terjadi  pada proses uji coba  dapat dilihat dari hasil pretest dan postest. Dari hasil postest terlihat 3 komponen yang mengalami peningkatan, masing-masing komponen tentang pengertian tentang organisasi karang karuna (dari 4,75 – 4,78), kemudian komponen jenis kegiatan karang taruna yang diikuti oleh remaja (4,02 menjadi 4,08), dan  komponen siapa yang menjadi pengurus karang taruna ( (3,48 menjadi 4,27) serta tujuan responden mengikuti kegiatan (dari skor 4,93 menjadi 4,95). Satu komponen yang mengalami penurunan yaitu dari skor 4,48 menjadi 4,02 pada saat postest, hal ini terjadi pada komponen pandangan terhadap aktivitas pengurus. Sedangkan rata-rata skor total dari komponen yang membangun  pemahaman dan motivasi  kelompok kerja  tentang karang taruna  (baik pretest maupun posttest) tidak mengalami perubahan yang ekstrim, yakni dari skor rata-rata 4,33 pada saat preetest menjadi skor rata-rata 4,42 saat postest. Skor tersebut dapat dikategorikan tinggi sekali.  Hal ini ada beberapa kemungkinan yang dapat diinterpretasikan yakni:
¨       Kiprah karang taruna ditengah masyarakat relatif baik, dan manfaat kegiatannya telah dapat dirasakan  oleh masyarakat, artinya organisasi ini telah dikenal dan dipahami dengan baik oleh masyarakat (khususnya kelompok kerja).
¨       Pertanyaan dalam instrumen penelitian pada saat pretest masih dalam ingatan kelompok kerja  sehingga jawaban yang diberikan pada saat postest relatif sama. Informasi ini mengindikasikan intelektual kelompok kerja relatif baik.
Bila dilihat pada masing-masing komponen maka  dapat diartikan bahwa responden remaja telah mengerti betul tentang fungsi dari organisasi karang taruna di daerahnya, dan  pengetahuan remaja  tentang jenis kegiatan yang diselenggarakan  organisasi relatif baik, hal ini tercermin dari jawaban  95 % responden  menyebutkan lebih dari 3 jenis kegiatan yang diselenggarakan. Sedangkan pada komponen siapa yang seharusnya  menjadi pengurus karang taruna  terjadi peningkatan skor dari level tinggi ke tinggi sekali. Perubahan tersebut dapat diinterpretasikan  bahwa remaja  sudah memahami bahwa karang taruna adalah benar-benar untuk generasi muda, mereka  semakin mengetahui dan menyadari  posisinya dalam organisasi  karang taruna. Kondisi ini tercermin juga dari keinginan sebagian responden remaja (46,7%) yang mengehendaki adanya proses demokratisasi dalam penentuan pengurus.
Perubahan hasil skoring yang perlu dicermati adalah  pada penurunan skor, yakni dari kategori tinggi sekali ke kategori tinggi, hal ini terjadi pada pandangan remaja terhadap aktivitas pengurus. Penurunan angka tersebut terkesan seolah-olah kinerja pengurus karang taruna mengendor, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Penurunan angka ini dapat diinterpretasikan bahwa selama proses ujicoba telah terjadi peningkatan wawasan pada kelompok kerja dalam hal penggunaan standar pengukuran kinerja organisasi. Penurunan penilaian terhadap kinerja pengurus karang taruna juga dapat diinterpretasikan sebagai indikasi mulai terbangunnya motivasi remaja. Bahwa pada saat pretest mereka memandang aktivitas pengurus di mata remaja  adalah sangat  sarat pekerjaan dan sibuk sekali. Sementara mereka belum mempunyai pengalaman  dan atau keterampilan dalam berorganisasi, sehingga mereka akan memberikan penilaian terhadap kinerja pengurus relatif tinggi. Berbeda dengan penilaian kelompok kerja pada saat postest, bahwa mereka telah mempunyai acuan untuk mengamati  kinerja  pengurus, yakni pengalaman dan keterampilan mereka dalam mengelola kegiatan pada saat proses uji coba berjalan.
Terbangunnya motivasi remaja tersebut diperjelas dengan angka hasil skoring tentang tujuan mereka  mengikuti kegiatan karang taruna (khususnya mengikuti kegiatan kelompok uji coba).  Kenaikan rata-rata skor dari saat preetest (4,75) menjadi 4,78 pada saat postest yang dikategorikan tinggi sekali. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa semangat  dan gairah kelompok kerja  selama proses uji coba berlangsung sangat tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi kelompok kerja relatif baik, bahkan selama proses uji coba telah terjadi peningkatan. Hal ini juga tercermin dari jawaban responden yang pada umumnya (95%) mengemukakan bahwa tujuan mengikuti kegiatan karang taruna  adalah  untuk belajar berorganisasi.

Penguatan Potensi Remaja dan Pengurus Karang Taruna.
Adapun materi yang diberikan dalam penguatan potensi remaja dan pengurus ini meliputi informasi tentang partisipasi, analisis SWOT, dan manajemen.
a.   Pandangan Remaja Tentang Partisipasi
Hal ini akan ditelusuri dari pandangan kelompok kerja tentang aktivitas remaja dalam kegiatan karang taruna dan dukungan yang diberikan oleh masyarakat kepada karang taruna. Remaja diajak untuk melihat kontribusi masyarakat terhadap pengembangan karang taruna.
Skor rata-rata dari seluruh komponen yang membangun pandangan remaja terhadap partisipasi masyarakat dalam pengembangan karang taruna mengalami penurunan dari skor rata-rata sebesar 3,59 saat pretest menjadi 3,47 pada saat posttest, skor rata-rata yang mengalami peningkatan hanya terjadi pada satu komponen yaitu kegiatan yang diikuti oleh remaja.
Dalam  menginterpretasikan penurunan angka hasil preetest dan postest tersebut perlu kecermatan dan kehati-hatian. Pengamatan secara sepintas terhadap penurunan angka  tersebut mempunyai kesan bahwa selama proses ujicoba partisipasi masyarakat berangsur turun. Jika realitas ini terjadi maka dalam kasus uji coba terjadi pengulangan    permasalahan klasik yang dialami oleh karang taruna. Yaitu kegiatan karang taruna  lebih bersifat sporadis  dan insidental. Konotasinya model yang diujicobakan tidak mampu membangun kontinuitas partisipasi masyarakat, padahal yang terjadi justru sebaliknya. Penurunan angka pada skor rata-rata pada penilaian kelompok kerja  tersebut pada dasarnya  merupakan salah satu indikasi keberhasilan dari sosialisasi informasi tentang  partisipasi. Informasi  tersebut diberikan untuk membangun  pemahaman  tentang pengertian partisipasi dan bentuk-bentuk partisipasi kepada kelompok kerja yang disampaikan setelah dilakukan pretest dari aplikasi informasi tersebut, mereka telah menggunakan standar yang berbeda, sehingga hasil penilaian terhadap bentuk-bentuk dukungan dari masyarakat pada saat preetest akan berbeda dengan penilaian pada saat posttest. Mereka tidak hanya memandang partisipasi dari segi kuantitas tetapi  sudah lebih mengarah pada kualitas.
b.  Aplikasi Manajemen
Informasi yang diberikan dalam proses pembelajaran manajemen yang dibangun lebih mengarah pada manajemen sederhana, yang unsur-unsurnya  terdiri dari penyusunan/perencanaan program dan evaluasi kegiatan.
c.  Perencanaan Program
Secara implisit  remaja dan pengurus karang taruna  yang tergabung dalam kelompok kerja telah mampu mengaplikasikan  analisis SWOT. Artinya mereka telah mampu membangun suatu program yang diharapkan mempunyai nilai atau makna, baik bagi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat banyak (khususnya remaja) maupun peningkatan instansi sektor. Target yang hendak dicapai dari program kelompok kerja telah mengarah pada substansi pemberdayan yang telah tercermin dari  program yang  mereka bangun yaitu :
¨       Peningkatan penguasaan aset intelektual yaitu peningkatan SDM di bidang peternakan, konsultasi dengan instansi sektor untuk mengakses buku, informasi manajemen dan peternakan, bimbingan kewirausahaan, pertemuan anggota kelompok.
¨       Peningkatan penguasaan aset ideologi yaitu berupa kegiatan sosial spiritual yang dilakukan secara insidentil (pemanfaatan acara ritual yang ada di masing-masing daerah), dan yang bersifat kontinyu (mingguan dan bulanan), menghubungi tokoh-tokoh agama.
¨       Peningkatan penguasaan aset material yaitu UEP peternakan, penyewaan peralatan perkawinan, batako, sosialisasi usaha di lingkungan remaja, kerjasama dengan pengusaha yang mempunyai keterkaitan dengan usaha kelompok kerja, dan mencari dukungan masyarakat untuk pengembangan usaha.
Mencermati capaian hasil susunan program tersebut ada beberapa hal yang dapat diungkapkan yakni :
¨       Selama proses penyusunan program tersebut telah terjadi interaksi sosial yang relatif kondusif antara remaja dan pengurus karang taruna.
¨       Sadar ataupun tidak interaksi sosial yang terjadi pada tahap perencanaan program kelompok karang taruna merupakan proses awal kaderisasi pengurus karang taruna dan aktualisasi potensi remaja.
d.    Monitoring
Berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil FGD dapat dikemukakan, bahwa informasi yang disampaikan tidak hanya sebatas pada capaian hasil yang dipandang positif dan persentasenya mencapai 80 % lebih, bahkan melampauai target sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja kelompok kerja yang dibangun selama uji coba model relatif  baik dan mereka telah mampu menentukan tindak lanjut kegiatan dari hasil yang dia miliki baik dari keberhasilan maupun dari kegagalan pelaksanaan kegiatan (terutama UEP) dari hasil yang dicapai yang melampaui target, maka  ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu, pada tahap perencanaan terjadi kekurang akuratan dari penaksiran penentuan target (under estimate). yang berarti target yang ditentukan relatif rendah sementara potensi yang diamati luput dari perhatian kelompok kerja, sehingga aset yang dimiliki (intelektual, ideologi dan material) belum didayagunakan secara optimal. Kemudian terjadi peningkatan kemampuan dan kinerja kelompok kerja yang sangat tinggi.
Melihat capaian hasil  kegiatan pada saat monitoring ada beberapa hal yang dapat diungkapkan  terutama pada kemampuan  kelompok kerja  dalam mengaplikasikan model. Walaupun di satu sisi menampakkan keberhasilan kegiatan dan di sisi lain terjadi kegagalan, ada satu hal yang perlu dicermati  dari kasus kegagalan ini adalah bagaimana mereka melakukan tindak lanjut dari hasil monitoring. Seperti kegagalan yang terjadi pada UEP peternakan ayam (NTB), bukan semata karena ketidak mampuan kelompok kerja dalam melaksanakan kegiatannya, tetapi ada keterkaitannya dengan penyakit  endemik ayam, kegagalan ini telah membuahkan kegiatan baru sebagai tindak lanjut  dari kegagalan tersebut, yang mempunyai prospek yang lebih baik dan resiko lebih ringan, yakni UEP peternakan itik dan lele dumbo. Situasi ini mengindikasikan bahwa mereka telah mampu mengadopsi nilai-nilai yang diinformasikan (penerapan analisis SWOT) untuk mencari solusi dari suatu masalah, mereka  mampu melihat permasalah (hambatan dan tantangan) secara jelas, potensi yang dapat dikembangkan dan peluang yang dapat diakses.
e.   Evaluasi
  Persentase kegiatan yang telah dicapai oleh kelompok kerja (baik kegiatan sosial maupun UEP) dapat dikategorikan  sangat baik, yakni hasil kegiatan rata-rata mencapai ­lebih besar atau sama dengan ­80% dari target, bahkan ada beberapa jenis kegiatan yang telah dilampaui target yang ditentukan dalam program. Informasi ini mengindiksikan  adanya motivasi dan kinerja yang relatif besar dari kelompok kerja yang dibangun pada masa ujicoba dan informasi ini juga mengungkapkan terjadinya penguatan penguasaan asset pada karang taruna.
Berdasar hasil evaluasi ini dapat dikemukakan  beberapa hal sebagai berikut :
¨       Selama proses penelitian ini berlangsung telah terbangun interaksi sosial yang kondusif diantara remaja.
¨       Materi informasi untuk penguatan potensi  yang disampaikan oleh peneliti mempunyai manfaat dalam penguatan potensi kelompok kerja.
¨       Selama proses ujicoba berjalan telah terjadi penguatan potensi remaja dan pengurus dalam aspek keterampilan memanage kegiatan riil.
¨       Capaian hasil yang telah dikerjakan oleh kelompok kerja selama proses ujicoba telah memberikan nilai positif bagi peningkatan kesejahteraan sosial di lingkungan karang taruna, terutama dalam pengembangan  dan aktualisasi remaja.
Respon dan Dukungan Masyarakat Terhadap Model Yang Diujicobakan
Secara umum respon atau tanggapan yang diberikan oleh masyarakat luas terhadap aplikasi model relatif baik (positif). Hal ini tercermin dari kehadiran  dan antusias  masyarakat pada setiap pertemuan pada proses ujicoba, pendapat/pandangan yang dikemukakan untuk pengembangan organisasi karang taruna, dan dukungan yang diberikan  tidak hanya selama proses ujicoba berjalan. Berdasar informasi yang terhimpun melalui penelitian ini, maka tanggapan yang diberikan masyarakat luas terhadap model yang diujicobakan dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Respon Instansi Sektor
Respon instansi sektor terhadap model relatif baik, hal ini terlihat dari  tanggapan-tanggapan dan dukungan yang diberikan  dalam kegiatan ujicoba model, bahkan ada yang ingin memprogramkan  pengembangan karang taruna seperti model yang diujicobakan, terutama dari segi pendekatannya yaitu pendekatan partisipatif. Bahkan ada beberapa saran  yang diberikan yaitu ujicoba model seperti ini tidak hanya dilakukan di tiga karang taruna ini tetapi dilaksanakan juga di karang taruna lain di lokasi  yang berbeda, bahkan ada yang langsung menunjuk lokasi tertentu di Propinsi yang sama yang memungkinkan untuk dilaksanakan ujicoba model seperti ini, karena ujicoba model pemberdayaan seperti ini, menurut instansi sektor cukup efektif dalam usaha menggali kebutuhan dan potensi remaja, dan perlu dikembangkan pada karang taruna lainnya.
Kemudian beberapa saran dari aplikasi model yang diujicobakan bahwa hasilnya harus ditindak lanjuti oleh direktorat, dalam kerangka karang taruna dapat dijadikan mitra kerja pada realisasi program-program yang digulirkan di tingkat desa beberapa instasi sektor bukan hanya memberikan tanggapan tetapi sudah menindak lanjuti dengan memberikan kontribusi untuk pengembangan kegiatan yang telah diprogramkan yaitu dinas sosial Bengkulu dan dinas koperasi.
b. Respon Karang Taruna
Tanggapan karng taruna terhadap model yang diujicobakan , dapat dikemukakan sebagai berikut :
¨       Formulir yang diberikan dipandang mempermudah penyusunan program dan pemantauan hasil yang dicapai, disisi lain kejelasan program dan capaian hasil dalam formulir tersebut dapat dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mempertanggung jawabkan kegiatan yang telah dilaksanakan kepada masyarakat.
¨       Karang taruna dari desa luar lokasi uji coba menaruh perhatian besar terhadap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok kerja. perhatian ini diwujudkan dalam bentuk kunjungan untuk mengetahui lebih dalam tentang kegiatan yang dilaksanakan.
c. Respon Tokoh Masyarakat
beberapa respon positif tokoh masyarakat yaitu :
¨       Kesediaan tokoh agama untuk memberikan pelayanan rohani kepada remaja baik selama ujicoba dan pasca ujicoba.
¨       Ungkapan lain yaitu, jika  karang taruna sudah menunjukkan kegiatannya, akan memberikan bantuan untuk mendukung kegiatan karang taruna dan  hal ini telah dibuktikan dalam bentuk  bantuan barang berupa meja prasmanan 4 buah dan piring 750 buah
¨       Kemudian ada tokoh masyarakat yang mengatakan bahwa ujicoba ini cukup bermanfaat  dalam rangka peningkatan pengetahuan remaja khususnya dalam menyusun program kegiatan sekaligus melaksanakan monitoring dan melakukan evaluasi kegiatannya sendiri.
¨       Kesediaan tokoh masyarakat untuk memberikan bimbingan manajemen dalam pengelolaan UEP.

III. PENUTUP

Kesimpulan
Dari Uraian hasil penelitian dan analisa terdahulu maka capaian fungsional model yang diujicobakan dapat disimpulkan sebagai berikut:
-       Dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan karang taruna, informasi yang perlu disampaikan adalah informasi tentang: (a) Organisasi Karang Taruna; (b) Keanggotan dan Pengurus Karang Taruna; (c) Aktivitas Karang Taruna; (d) Permasalahan dan Potensi Remaja
-       Dalam rangka peningkatan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan karang taruna di lingkungannya merupakan modal dasar untuk membangun sikap partisipasi masyarakat dalam pembinaan, pengembangan dan keberlanjutan program organisasi.
-       Terbinanya kemandirian organisasi karang taruna dalam pelaksanaan peran dan fungsi organisasi semakin mampu mengembangkan potensi dan mengatasi permasalahan remaja yang akhir-akhir ini cenderung meningkat.
-       Pengetahuan dan pemahaman remaja tentang organisasi karang taruna mempunyai kaitan yang erat terhadap motivasi remaja dalam pelaksanaan kegiatan karang taruna.
-       Materi tentang karang taruna, partisipasi dan manajemen yang disampaikan dalam proses ujicoba memberikan kontribusi dalam peningkatan pemahaman kelompok kerja untuk memanage informasi ke dalam kegiatan organisasi.
-       Adanya tanggapan atau respon yang positif terhadap model yang diujicobakan baik dari instansi sektor, masyarakat maupun remaja, sehingga model yang diujicobakan dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan remaja melalui organisasi karang taruna pada daerah lain dengan karakteristik yang sama.
Rekomendasi
-       Prinsip dasar dalam rangka membangun sikap partisipasi masyarakat adalah kesadaran dan tanggungjawab sosial atas suatu kegiatan yakni mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatan hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat, membangun persepsi masyarakat merupakan langkah awal yang sebaiknya dilakukan mengacu prinsip-prinsip community organization. Pada tahap ini perlu di dukung dengan program sosialisasi karang taruna secara intensif oleh lembaga yang mempunyai komitmen terhadap pembinaan karang taruna.
-        Mengingat bahwa karang taruna merupakan salah satu pilar partisipasi masyarakat , maka organisasi ini perlu diposisikan sebagai suatu lembaga yang mempunyai posisi yang strategis. Oleh karena itu, muatan atau substansi yang membangun model perlu dilengkapi dengan  substansi kemitraan dalam kerangka ini karang taruna mempunyai peluang untuk melakukan kegiatan bersama dengan masyarakat luas baik secara individu maupun kelembagaan.
-       Dalam konteks kelembagaan karang taruna dapat menjalin kemitraan dengan seluruh unit yang berada di Departemen Sosial dan atau instansi lain (baik pemerintah maupun swasta/dunia usaha) yang mempunyai jangkauan program sampai ke tingkat desa/kelurahan.













DAFTAR PUSTAKA




Achmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial., Rineka Cipta Jakarta.
Asmara, Hendra. 1986. Perencanaan dan Pembangunan di Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Clark, John. 1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi, (Judul Asli: Democratizing Development The Role Of Voluntary Organization: Godril Dibyo Yuono), Tiara Wacana, Yogyakarta..
Davis, Keith, 1967. Human Relation at Work The Dynamics Of  Organizational Behavior. Mc. Grow Hill Book Company.
Departemen Sosial RI. 1999, Buku Panduan Pedoman Dasar Karang Taruna, Jakarta.
Direktorat Peningkatan Peran Kelembagaan Sosial dan Kemitraan, 2003, Dinamika Generasi Muda di Akar Rumput (Sejarah Kelahiran, Pertumbuhan dan Perkembangan Karang Taruna), Jakarta.
Hawari, Dadang, 2000, Penyalahgunaan dan Ketergantungan Napza, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hadist, Fawazia Aswin, 1991, Perilaku Menyimpang Remaja Ditinjau Dari Psikologi Perkembangan, Dalam Kumpulan Makalah Seminar Problematika Remaja Kita dan Tantangan Masa Depannya. Direktorat Kesehatan, Ditjen Matfas-Jasa Departemen Hankam, Bekerjasama dengan Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI), Jakarta.
Iskandar, Jusman, 1993, Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat, Bandung: Koperasi Mahasiswa STKS.
Mar’at, 1998. Sikap Manusia, Perubahan, Serta Pengukurannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Mulyono, Bambang, 1993, Mengatasi Kenakalan Remaja, Dalam Perspektif Pendekatan: Sosiologis-Psikologis-Teologis, Yayasan Andi, Jakarta.
Nuryoto, Sartini, 1995, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta, 1995.
Pranarkaka A.M.W. dan Moeljanarto Vidhyandika, 1995, Pemberdayaan (Enpowerment) dalam Prijono S, Onny dan Pranarka A.M.W. (Penyunting), Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan implementasinya, Centre For Strategic And International Studies, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1977, Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan ke enam, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Sulastri, Melly Ari, 1987, Psikologi Perkembangan Remaja, Surabaya: Bina Aksara.
Santoso S, 1999, Mengolah Data Statistik Secara Profesional, SPSS, Gramedia, Jakarta.
Simanjuntak, 1988, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung.
Talzdu nDraha, 1990, Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Rineka Cipta, Jakarta.
Tjokrominoto, Moeljarto, 1996, Pembangunan, Dilema dan Tantangan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wirawan, Sarlito, S, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta: raja Grafindo Persada











BAB 3

PETA MASALAH ANAK JALANAN
DAN ALTERNATIF MODEL PEMECAHANNYA
BERBASIS PEMBERDAYAAN KELUARGA

 



I.   PENDAHULUAN
Latar  Belakang Masalah
Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang komplek.  Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.  Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif.  Padahal mereka adalah saudara kita.  Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan.  Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,  dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child  (Konvensi tentang hak-hak Anak).  Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection).
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak.  Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak.  Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002).  Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-anak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa.  Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan.  Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga.  Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak.  Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas.  Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka.
Menurut pengamatan kami, penanganan anak jalanan di seluruh wilayah Indonesia pada umumnya belum mempunyai model dan pendekatan yang tepat dan efektif.  Keberadaan Rumah Singgah misalnya, menurut hasil penelitian Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Depsos (2003), dinilai kurang efektif karena tidak menyentuh akar persoalan, yaitu kemiskinan dalam keluarga “(Kompas, 26 Pebruari 2003).  Pembinaan dan pemberdayaan pada lingkungan keluarga tempat mereka tinggal tampaknya belum banyak dilakukan, sehingga penanganannya selama ini cenderung “tambal sulam” dan tidak efektif.  Sementara itu, keluarga merupakan “pusat pendidikan, pembinaan dan pemberdayaan pertama” yang memungkinkan anak-anak itu tumbuh dan berkembang dengan baik, sehat dan cerdas.  Pemberdayaan keluarga dari anak jalanan, terutama dari segi ekonomi, pendidikan dan agamanya, diasumsikan merupakan basis utama dan model yang efektif untuk penanganan dan pemberdayaan anak jalanan.
Anak jalanan di DKI Jakarta, sebagai salah satu kasus, berjumlah 31.304 anak, sedangkan Panti Pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan 1 Panti Remaja Putus Sekolah.  Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak.  Sementara itu, Panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada anak di luar panti sebanyak 3.200 anak.  Secara akumulatif jumlah yang  yang mendapat pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak (Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2002).
Persebaran anak jalanan di DKI Jakarta juga cukup merata.  Data yang diterbitkan oleh Dinas Bina Mental Spiritual dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta menyebutkan bahwa setidaknya ada 18.777 orang anak jalanan di DKI pada tahun 2003 ini.
Data tersebut  cukup memperihatinkan kita semua, karena idealnya sebagai “kota percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah di seluruh propinsi di Indonesia.  Selama ini, penanganan anak jalanan melalui panti-panti asuhan dan rumah singgah dinilai tidak efektif.  Hal ini antara lain terlihat dari “pola asuh” yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara keluarga mereka tidak diberdayakan.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, Tim Peneliti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bekerjasama dengan Balatbangsos Departemen Sosial RI, menilai penting dan strategis dilakukan penelitian mengenai: “Upaya Pencarian Model Yang Efektif  Dalam Penanganan Anak” di JABODETABEK dan Surabaya yang Berbasis Pada Pemberdayaan Ekonomi Keluarga.

Tujuan Penelitian 

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peta permasalahan anak jalanan dan alternatif model penanganannya di JABODETABEK dan Surabaya yang berbasis Keluarga.
Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang: Profil (potret) anak jalanan dan keluarganya; Faktor-faktor penyebab munculnya anak jalanan; Peta permasalahan anak jalanan; Pandangan masyarakat tentang anak jalanan; dan Beberapa model alternatif yang mungkin dapat diterapkan dalam penanganan anak jalanan yang berbasis keluarga. 

Kajian Pustaka

Konsep Anak

Konsep “anak” didefinisikan dan dipahami secara bervariasi dan berbeda, sesuai dengan sudut pandang dan kepentingan yang beragam. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 21 tahun dan belum menikah. Sedangkan menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Untuk kebutuhan penelitian ini, anak didefinisikan sebagai  seorang manusia yang masih kecil yang berkisar usianya antara 6–16 tahun yang mempunyai ciri-ciri fisik yang masih berkembang dan masih memerlukan dukungan dari lingkungannya.
Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup : kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh.
Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak.   Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah  berkewajiban untuk memenuhi hak anak  tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut. Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan  anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan,  kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan  upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal.
Berbagai upaya telah dilakukan dalam merumuskan hak-hak anak. Respon ini telah menjadi komitmen dunia international dalam melihat  hak-hak anak. Ini terbukti dari lahirnya konvensi internasional hak-hak anak. Indonesiapun sebagai bagian dunia telah meratifikasi konvensi tersebut.  Keseriusan Indonesia melihat persoalan hak anak juga telah dibuktikan dengan lahirnya Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tanpa terkecuali, siapapun yang termasuk dalam kategori anak Indonesia berhak mendapatkan hak-haknya sebagai anak.  

Konsep Anak Jalanan

Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan atau di tempat-tempat umum. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian  tidak terurus, mobilitasnya tinggi
Konsep Keluarga
Keluarga adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal dalam satu atap rumah dan diikat oleh tali pernikahan yang satu dengan lainnya memiliki saling ketergantungan. Secara umum keluarga memiliki fungsi (a) reproduksi, (b) sosialisasi, (c) edukasi, (d) rekreasi, (e) afeksi, dan (f) proteksi.
Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayan Barat utamanya Eropa. Secara umum pemberdayaan keluarga dipahami sebagai usaha menciptakan  gabungan dari aspek kekuasaan distributif maupun generatif sehingga keluarga memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya.
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Paradigma  Pem-bangunan
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “People Centered, participatory, empowering and sustainable” (Chamber, 1995, dalam Kartasasmita, 1996).
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan kepustakaan, undang-undang dan peraturan yang terkait dengan anak dan keluarga. Hasil telaah kepustakaan dijadikan sebagai kerangka pemikiran atau landasan teori dalam operasionalisasi penelitian ini.
Dari segi data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis, penelitian juga merupakan perpaduan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif, karena mengandalkan pada kekuatan hasil wawancara, Focus Group Discussion (FGD), studi dokumentasi, observasi dan dikombinasi dengan hasil olah-statistik yang didasarkan pada hasil penyebaran angket kepada responden.
Dari segi tujuannya, penelitian ini cenderung deskriptif, analitis dan eksplanatif yang akan dideskripsikan adalah profil keluarga dan anak jalanan di JABODETABEK dan Surabaya. Sedangkan yang dianalisis adalah potret kehidupan anak jalanan  dengan berbagai persoalannya dan faktor-faktor yang melingkupinya.
      Sumber data penelitian ini pada dasarnya ada dua. Pertama adalah data pustaka yang bersifat normatif. Data ini dihimpun dari literatur, buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar-surat kabar, dokumentasi-dokumentasi, undang-undang, website, dan sebagainya. Kedua adalah data lapangan yang bersifat empiris. Data ini dikumpulkan melalui observasi, wawancara, FGD dan penyebaran angket kepada responden.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga teknik atau instrumen sebagai berikut:
-  Studi Dokumentasi dan Pustaka
Berbagai dokumen penting mengenai penanganan anak jalanan, baik dari Departemen Sosial dan Pemda DKI, artikel dalam surat kabar, tulisan dalam majalah atau jurnal, dan buku-buku yang relevan akan dikaji, dipadukan dan dijadikan sebagai kerangka teori dari penelitian ini. Program kerja instansi pemerintah dan organisasi sosial di masing-masing wilayah mengenai penanganan anak jalanan juga ditelaah secara kritis dan mendalam guna diperoleh informasi kunci mengenai tingkat partisipasi masyarakat dalam penanganan anak terlantar melalui pemberdayaan ekonomi keluarga.
-  Observasi Lokasi
Agar penelitian lapangan ini membuahkan hasil yang optimal, dipandang penting dilakukan observasi langsung terhadap obyek penelitian, yaitu JABODETABEK dan Surabaya dan masyarakat sekitar. Observasi ini bertujuan untuk melihat “potret” kehidupan anak terlantar dan keluarganya, mobilitas sosial-ekonomi masyarakat sekitar dan sebagainya, sehingga hasil observasi ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam pengumpulan data selanjutnya dan dalam mendalami persoalan anak jalanan di masing-masing wilayah.

-  Angket
Penyebaran angket ini diperlukan untuk mengungkap: (1) pola hidup keluarga dari anak terlantar, (2) pola asuh keluarga terhadap anak-anak mereka, (3) pola kerja sehari-hari, (4) manajemen keluarga anak terlantar, (5) cara penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan pendidikan dalam keluarga anak terlantar, dan (6) respon masyarakat sekitar terhadap kehidupan mereka.
-  Wawancara dan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD)
Wawancara dan diskusi kelompok  terfokus (FGD) dilakukan secara terbatas, baik kepada informan yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu keluarga dari anak-anak terlantar maupun informan pendukung, yaitu aparat desa/kelurahan setempat, dan warga masyarakat sekitar. Adapun yang hendak diungkap dan dieksplorasi dari informan adalah: (1) alasan memilih hidup di JABODETABEK dan Surabaya, (2) lama tinggal di JABODETABEK dan Surabaya, (3) alasan berkeluarga, (4) kondisi sosial-ekonomi keluarga, (5) persoalan-persoalan yang dihadapi selama berkeluarga, (6) cara menyelesaikan masalah, (7) pola pengasuhan dan pendidikan anak, (8) pola interaksi sosial, (9) upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga, dan (10) cita-cita atau masa depan yang diharapkan.
-  Prosedur dan Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan melalui empat instrumen tersebut akan dianalisis dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan normatif-kualitatif dan pendekatan empiris-kuantitatif.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan  di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Surabaya. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai dengan Oktober 2003.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
      Profil Anak Jalanan
-     Kegiatan yang dilakukan anak jalanan di jalan
Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 15,6% (14 orang) menggunakan jalan sebagai tempat tinggal dan hidup, 34,4% (31 orang) untuk bermain, dan 50% (45 orang) untuk berjualan. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 20% (2 orang) menggunakan jalan sebagai tempat tinggal dan hidup, 20% (2 orang) untuk bermain, dan 60% (6 orang) untuk berjualan.
      -     Tempat tinggal anak jalanan
Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 3,3% (3 orang) tinggal di Taman Kota, 4,4% (4 orang) tinggal di emper toko, dan 92,2% (83 orang) tinggal di rumah. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya seluruhnya tinggal di rumah.

-     Sumber memperoleh makanan
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 78,9% (71 orang) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, 15,6% (14 orang) meminta-minta, dan 5,6% (5 orang) mendapatkan uluran tangan dari dermawan. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 90% (9 orang) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, 10% (1 orang) dengan cara meminta-minta.
-     Lama anak jalanan tinggal di jalan
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 25,6% (23 orang) lama berada di jalan kurang dari 12 jam, 52,2% 47 orang) berada di jalan lebih dari 12 jam, dan 22,2% (20 orang) berada di jalan selama 24 jam. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 10% (1 orang) lama berada di jalan kurang dari 12 jam, dan 90% (9 orang) berada di jalan lebih dari 12 jam.
-     Sumber mendapatkan uang
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 23,3% (21 orang) sumber mendapatkan uang dengan cara meminta-minta, 45,6% (41 orang) dengan cara berjualan, dan 31,1% (28 orang) dengan cara mengamen. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 20% (2 orang) sumber mendapatkan uang dengan cara meminta-minta, 40% (4 orang) dengan cara berjualan, dan 40% (4 orang) dengan cara mengamen.
-     Penggunaan Pendapatan
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 21,1% (19 orang) menggunakan pendapatan habis dipakai sendiri, 46,7% (42 orang) untuk membantu keluarga, dan 32,2% (29 orang) untuk ditabung. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 10% (1 orang) menggunakan pendapatan habis dipakai sendiri, 70% (7 orang) untuk membantu keluarga, dan 20% (2 orang) untuk ditabung.
-     Pertemuan dengan orang tua
       Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 20% (18 orang) sering bertemu dengan orang tua, 65,6% (59 orang) jarang bertemu dengan orang tua, dan 14,4% (13 orang) tidak pernah bertemu. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 10% (1 orang) sering bertemu dengan orang tua, 60% (6 orang) jarang bertemu dengan orang tua, dan 30% (3 orang) tidak pernah bertemu.
-     Mendapat kesulitan selama tinggal di rumah
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 50% (45 orang) sering mendapatkan kesulitan selama tinggal di rumah, 48,9% (44 orang) kadang-kadang, dan 1,1% (1 orang) tidak ada. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, seluruhnya mendapatkan kesulitan selama tinggal di rumah.
-     Kebetahan tinggal di rumah
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 31,1% (28 orang) betah tinggal di rumah, dan 68,9% (62 orang) kurang betah tinggal di rumah. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, seluruhnya kurang betah tinggal di rumah.
-     Pihak yang diminta tolong ketika mengalami kesulitan
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 41,1% (37 orang) menyatakan pihak yang diminta tolong ketika mengalami kesulitan adalah orang tuanya, 54,4% (49 orang) meminta tolong kepada saudaranya, dan 4,4% (4 orang) meminta tolong kepada pihak lain. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, seluruhnya meminta tolong kepada saudaranya.
-     Pihak yang dinilai paling dekat dengan anak jalanan
      Dapat dikemukakan bahwa anak jalanan di Jabodetabek, 37,1% (33 orang) menyatakan pihak  yang dinilai paling dekat dengan anak jalanan adalah orang tuanya, 52,8% (47 orang) dengan saudaranya, dan 10,1% (9 orang) dengan pihak lain. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, seluruhnya paling dekat dengan saudaranya.
      Profil keluarga anak jalanan
-  Status pernikahan orang tua
Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 68,9% (31 orang) status pernikahan orang tuanya menikah, 22,2% (10 orang) tidak menikah, dan 8,9% (4 orang) kumpul kebo. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 80% (4 orang) status pernikahan orang tuanya menikah, dan 20% (1 orang) tidak menikah.
-  Jumlah anaknya yang bekerja di jalanan
Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 6,7% (3 orang) jumlah anaknya yang bekerja di jalanan sebanyak 1–2 orang, 57,8% (26 orang) 3 – 4 orang, dan 35,6% (16 orang) 5 – 6 orang. Selanjutnya keluarga anak jalanan di Surabaya, seluruhnya 3 – 4 orang anaknya bekerja di jalanan.
      -   Sikap mendukung anaknya bekerja di jalan
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek, 86,7% (39 orang) mendukung anaknya bekerja di jalan, dan 13,3% (6 orang) kadang-kadang mendukung anaknya bekerja di jalan. Selanjutnya orang tua anak jalanan di Surabaya, 60% (3 orang) mendukung anaknya bekerja di jalan, dan 40% (2 orang) kadang-kadang mendukung anaknya bekerja di jalan.
-  Sikap mendukung bila anaknya bersekolah
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek maupun di Surabaya seluruhnya mendukung bila anaknya bersekolah.
-  Pernah mendapatkan penyuluhan tentang usaha bersama
Dapat dikemukakan bahwa keluarga anak jalanan di Jabodetabek, 8,9% (4 orang) pernah mendapatkan penyuluhan tentang usaha bersama, 40% (18 orang) kadang-kadang, dan 51,1% (23 orang) tidak pernah. Selanjutnya keluarga anak jalanan di Surabaya, seluruhnya kadang-kadang mendapatkan penyuluhan tentang usaha bersama.


-  Pernah mengikuti program usaha bersama
Dapat dikemukakan bahwa keluarga orang tua anak jalanan di Jabodetabek, 11,1% (5 orang) pernah mengikuti program usaha bersama, dan 88,9% (40 orang) tidak pernah. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 20% (1 orang) pernah mengikuti program usaha bersama, dan 80% (4 orang) tidak pernah.
-  Pendapat tentang usaha bersama membantu perekonomian keluarga
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek, 6,7% (3 orang) menyatakan program usaha bersama membantu perekonomian keluarga, 6,7% (3 orang) kadang-kadang, dan 86,7% (39 orang) tidak membantu perekonomian keluarga. Selanjutnya orang anak jalanan di Surabaya, seluruhnya tidak membantu perekonomian keluarga.
-  Pekerjaan orang tua
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek dan Surabaya seluruhnya bekerja di sektor non formal.

-  Status rumah tinggal keluarga
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek, 4,4% (2 orang) memiliki rumah sendiri, 57,8% (26 orang) menyewa, dan 37,8% (17 orang) menempati tanah negara. Selanjutnya anak jalanan di Surabaya, 20% (1 orang) menyewa, dan 80% (4 orang) menempati tanah negara.
-  Pendapatan keluarga
Dapat dikemukakan bahwa orang tua anak jalanan di Jabodetabek dan di Surabaya seluruhnya tidak mempunyai pendapatan yang tetap.
Peta Persoalan  dan faktor penyebab Anak  Jalanan di JABODETABEK dan Surabaya
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dikemukakan bahwa sesungguhnya faktor penyebab anak turun ke jalan di JABODETABEK adalah sebagai berikut; mencari uang, main-main, hidup di jalan.
Anak jalanan pada umumnya mempunyai keluarga yang berada di lingkungannya yang biasanya keluarganya adalah keluarga dari golongan yang kurang mampu secara materi, sehingga anak-anak mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan keluarga akan tetapi sesungguhnya peran orang tua anak jalanan tidak berperan secara maksimal, hal ini dapat dilihat manakala orang tua sangat mendukung untuk anaknya bekerja.
Berdasarkan dari peta permasalahan anak jalanan baik yang berada di JABODETABEK dapat dipetakan permasalahan sebagai berikut :
-          Anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan untuk keluarga. Hal ini terjadi karena ketidak berfungsian keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
-          Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidak betahan anak berada di rumah, sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.
-          Rendahnya pendidikan orang tua anak jalanan sehingga mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga ketidaktahuannya mengenai hak-hak anak.
-          Belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik kebijakan dari kepolisian, Pemda, maupun Departemen Sosial.
-          Belum optimalnya social control di dalam masyarakat
-          Belum berperannya lembaga-lembaga organisasi sosial, serta belum adanya penanganan yang secara multi sistem base.
Pandangan Masyarakat Dalam Penanganan Anak Jalanan
     Aparat Keamanan
Pandangan aparat keamanan mengenai anak jalanan di JABODETABEK  dinilai bahwa  selama ini anak jalanan tidak pernah melakukan tindakan kriminal. Pada siang hari mereka pergi mengamen mengikuti jalur bus kota. Sedangkan hasil  wawancara dengan penegak hukum (Pak Hasanuddin Ahzim) sebagai berikut: bahwa kejahatan yang paling sering  dilakukan oleh anak jalanan yaitu berkelahi diantara mereka karena meributkan daerah operasi atau mencuri tetapi yang paling banyak adalah berkelahi diantara mereka. selaku penegak hukum, kami hanya melakukan penahanan sesuai dengan Undang– undang yang berlaku karena belum ada hukum khusus mengenai  anak– anak jalanan, dengan demikian masih dirasa cukup sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak–anak tersebut tidak melakukan kejahatan, adapun yang saat ini telah dilakukan  adalah dengan cara membatasi areal  operasi anak jalanan atau jalur–jalur  yang diperbolehkan untuk menjadi daerah operasinya. Sedang pada malam hari mereka berkumpul dan tidur di taman kota. Sedangkan anak jalanan di Surabaya tingkat kriminalitas sangat tinggi dari mulai pencurian, pembunuhan, penganiayaan. Selanjutnya aparat keamanan juga sudah mengadakan beberapa upaya untuk mengentaskan anak jalanan dengan cara merazia anak jalanan untuk diberi penyuluhan akan tetapi cara ini tidak berhasil karena  anak jalanan kemudian banyak yang melarikan diri.
Selain itu juga upaya yang telah dilakukan oleh aparat keamanan selain merazia adalah mengawasi secara terus-menerus, jangan sampai anak jalanan melakukan tindak kriminal atau tersangkut dengan penyalahgunaan narkoba.
      Tokoh Agama
Partisipasi tokoh agama sangat berperan dalam pengentasan anak jalanan. Sesungguhnya Islam memiliki konsep pembinaan keluarga. Islam juga mengajarkan betapa besar tanggungjawab orang tua dalam mendidik anak. Maka kalau anak-anak disibukkan dengan pendidikan, mereka tidak turun ke jalan.
Tentang pandangan agama (Islam) terhadap perilaku anak jalanan adalah:  Bahwa sesungguhnya setiap orang itu mulia, kecuali jika dia telah berperilaku tidak baik. Nah, selama mereka berperilaku baik, tidak mencuri, menodong, maka mereka tetap orang baik di mata agama.
Sedang model yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga anak jalanan adalah: Perlu diperbanyak lembaga- lembaga sosial yang dapat menampung mereka. Kemudian untuk keluarganya perlu diberikan penyuluhan mengenai peningkatan penghasilan (ekonomi keluarga).
Mengenai pelibatan tokoh agama dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarganya menurut saya: Tokoh agama harus ikut mendorong mereka melalui penyuluhan dan pengajian akan pentingnya peningkatan ekonomi keluarga melalui usaha produktif.
Dukungan yang dapat diberikan dalam rangka mendorong pemberdayaan ekonomi keluarga anak jalanan menurut saya: Pengucuran modal yang berbunga rendah, dan sistem pengembalian yang ringan.
Hasil wawancara dengan tokoh agama (Bapak H. Isa Abdullah, S.Pd) tentang bagaimana penanganan anak jalanan yang baik. Menurutnya, paling tidak harus ada wadah yang dikelola secara profesional dan didukung oleh pendanaan yang cukup. Adapun bentuk wadah itu bisa saja berupa yayasan atau pesantren yang diintegrasikan dengan kegiatan belajar di dalamnya.
Hal ini menjadi penting karena anak itu memiliki tugas utama yaitu belajar. Selain itu, si anak dan orang tua harus disadarkan dengan tugas dan kewajibannya masing-masing yaitu, si anak belajar dan orang tua mencari nafkah untuk anak isterinya.
Pertimbangan lainnya adalah, bahwa anak jalanan yang meminta-minta misalnya, sesungguhnya ia telah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma agama, bahkan bisa merusak agama itu sendiri, khususnya agama Islam. Padahal, betapa besarnya potensi dana zakat baik zakat mal atau zakat fitrah yang bersumber dari umat Islam sendiri. Kenapa ini tidak dikelola secara baik? Kalau umat Islam mengurus umatnya saja tidak bisa, bagaimana menghadapi dakwah di tengah-tengah orang non muslim? Bersamaan dengan itu, orang-orang yang berkecukupan dari segi materi (kaya) juga harus diingatkan, bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menolong sesama. Sebaliknya para mustahik (melalui amil yang profesional), harus aktif mencari dana zakat tersebut dan dikelola serta diberdayakan sebaik mungkin.
Adapun bentuk pembinaannya haruslah komprehensif dan semua pihak harus terlibat. Pihak pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, pondok pesantren, takmir masjid yang punya akses pada kemasyarakatan semuanya harus aktif, turut mengontrol proses pembinaan serta perkembangan anak jalanan. Selain itu, pembinaan juga bukan saja dari sisi moral, akan tetapi juga harus bersifat jangka panjang. Misalnya, mereka seyogyanya diberi bekal keterampilan agama, ke depan mereka dapat mandiri dan hidup terarah sesuai cita-citanya masing-masing.
Selain itu, pemerintah seharusnya memiliki data yang konkrit (data base) mengenai anak jalanan ini, sehingga mudah ketika akan melakukan penataan serta penanganan. Jadi intinya, untuk menangani anak jalanan ini perlu organisasi yang kuat dengan menyediakan fasilitas yang memadai, seperti perlengkapan sarana pendidikan, lembaga ekonomi umat, balai latihan kerja dan lain sebagainya. Bahkan jika perlu, libatkan pondok pesantren yang tersebar di setiap daerah, atau mungkin perlu bekerjasama dengan takmir masjid yang banyak sekali jumlahnya di DKI ini, sehingga takmir masjid kemudian tugasnya bukan hanya ritual menyelenggarakan ibadah, tetapi memiliki fungsi pembinaan yang bersifat sosial seperti anak jalanan ini.
     Tokoh Akademisi
Dalam pandangan akademisi penanganan anak jalanan baik yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah  belum memperhatikan akar persoalan sesungguhnya, program-program yang dilakukan bersifat parsial bahkan tumpang tindih, hampir semua Departemen mempunyai program untuk pengentasan anak jalanan tetapi tidak didasari oleh satu jaringan kerjasama yang terkoordinir dengan baik.
Polisi misalnya tidak berani mengambil tindakan pada perilaku anak jalanan karena memandang tidak memiliki dasar hukum yang kuat padahal tugas mereka adalah menjaga ketertiban lalu lintas. Jika ada koordinasi yang baik dengan kepolisian maka dari sisi ketertiban lalu lintas seharusnya di jalan tidak ada bertebaran anak jalanan.
Departemen Sosial sebagai ujung tombak  penanganan masalah ini juga tidak memperhatikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan anak di jalanan. Secara lebih tegas persoalan struktural itu dapat dilihat pada ketiadaan koordinasi antara pemerintah daerah di perkotaan dengan daerah penyangga. Masalah anak jalanan di DKI Jakarta misalnya, sebetulnya adalah persoalan ekonomi di daerah-daerah penyangga seandainya daerah penyangga DKI Jakarta dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakatnya maka sangat kecil kemungkinannya mereka lari ke kota untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Jadi sesungguhnya diperlukan suatu networking diantara semua institusi yang menangani kesejahteraan masyarakat. Pemda DKI dapat saja mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan ekonomi penduduk di daerah-daerah penyangga.
      Aktivitas LSM
Salah  seorang pengurus LSM  ( Ibu ETTI ) yang mengelola rumah singgah  di dapat sebagai berikut : bahwa anak jalanan tersebut harus tetap sekolah dengan cara  sekolah di waktu senggang  hal ini dilakukan agar anak tersebut tetap mendapat pendidikan yang layak dan memadai walaupun untuk menyadarkan anak-anak untuk sekolah masih sulit tetapi semakin hari semakin bertambah yang berminat untuk sekolah. Tidak kalah beratnya  juga untuk menyadarkan orangtua agar anak-anak mereka tetap sekolah  dengan berbagai penjelasan  sehingga orang tua anak tersebut mendukung anaknya untuk sekolah. Untuk menangani anak jalanan, lembaga tersebut belum ada kerjasama dengan lembaga pemerintahan atau lembaga lainnya,  dalam soal dana lembaga tersebut mencari donatur-donatur yang bersedia membantunya.
Sementara Pak Ihsan, pernah mendapatkan penyuluhan dan sempat bergabung dengan LSM Fakta (Forum Warga Kota) yang bekerjasama dengan LBHI dan IISJ (Istitut Ilmu Sosial Jakarta), tetapi pihak LSM sifatnya hanya menjembatani saja, dan hingga kini tidak ada realisasi dan tindak lanjutnya.
     Tokoh Masyarakat
Salah satu tokoh masyarakat di Koja Tj. Priok Jakarta Timur ini berpendapat bahwa kurangnya perhatian dari orang tua merupakan penyebab utama timbulnya anak jalanan. Di samping itu, perlu dibangun tempat khusus untuk mereka berkumpul agar mereka sibuk dan tidak berkeliaran. Tentu di tempat khusus ini dilakukan pembinaan mental dan keterampilan sehingga mereka memiliki kegiatan yang positif.
Ade Enjang juga berpendapat bahwa kuncinya tetap pada orang tua. Jika orang tua memberi perhatian dan memenuhi kebutuhan mereka, mereka tidak akan hidup di jalanan seperti sekarang ini. Hanya saja yang menjadi persoalan, para orang tua itu juga menghadapi kendala ekonomi.
Bagi Ade Enjang, di samping keluarga, wadah yang tepat menampung mereka adalah Pemerintah, dan termasuk juga LSM bidang anak. “Saya dengar sudah ada rumah singgah yang dibangun LSM-LSM. Menurut saya, tempat seperti itu perlu ditambah dan ditingkatkan mutunya”, demikian tutur Ade Enjang selanjutnya.
Tentang pandangan masyarakat sekitar menurut saya, ya biasa saja. Mungkin karena himpitan ekonomi, sehingga mereka terpaksa hidup seperti itu. Tetapi mereka bersikap biasa saja.
Sedang tentang pelibatan warga dalam peningkatan ekonomi keluarga anak jalanan saat ini, memang belum ada. Mungkin mereka berpendapat yang paling bertanggungjawab terhadap anak jalanan itu adalah pihak pemerintah, di samping orang tua.
Meski demikian, upaya yang perlu dilakukan oleh warga dalam membantu ekonomi anak jalanan menurut saya adalah warga harus memberi kesempatan kepada mereka untuk membuka usaha produktif. Sedangkan dukungan yang perlu diberikan kepada keluarga anak jalanan adalah dukungan modal usaha.
Model Alternatif Pemberdayaan Anak Jalanan Berbasis Pemberdayaan Keluarga
Dengan bertitik tolak dari kondisi tersebut, kajian ini menganggap penting untuk menemukan beberapa alternatif model yang mungkin dapat digunakan untuk menangani permasalahan anak jalanan dan perlu diuji coba, tentunya dengan tidak lupa mengkaji ulang berbagai model yang telah pernah ada dalam permasalahan anak jalanan, seperti rumah singgah misalnya. Mengacu kepada kondisi yang demikian, ternyata upaya yang patut dikembangkan terus. Adapun alternatif model yang mungkin dapat di gunakan adalah sebagai berikut : Family base, Instutional base, Multi-system base.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah diungkap pada bagian sebelumnya dapat dikemukakan pembahasan sebagai berikut.
Pertama,  dilihat dari profil anak jalanan terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar anak jalanan melakukan aktifitas berjualan di jalan, (b) tempat tinggal mereka di rumah, (c) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, (d) lama tinggal di jalan dalam satu hari di atas 12 jam, (e) memperoleh uang dari hasil berjualan dan mengamen, (f) uang yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga, (g) jarang bertemu orang tua, (h) sering mendapat kesulitan di rumah, (i) kurang betah tinggal di rumah, (y) meminta tolong pada saudaranya ketika mengalami kesulitan sebagai pihak yang dianggap paling dekat.
Kedua, dilihat dari profil keluarga anak jalanan, terdapat beberapa kecenderungan, yaitu (a) sebagian besar keluarga anak jalanan orang tuanya menikah, (b) jumlah anaknya 3-4 orang, (c) bersikap mendukung anaknya bekerja di jalan, (d) bersikap mendukung bila anaknya sekolah, (e) pernah mendapat penyuluhan tentang usaha bersama tetapi tidak pernah mengikuti kegiatan tersebut  karena berpandangan bahwa kegiatan tersebut tidak membantu perekonomian keluarga, (f) bekerja di sektor non-formal dengan pendapatan tidak tetap, dan (g) menempati rumah dengan status sewa atau tanah Negara. 
Ketiga, Peta permasalahan anak jalanan di Jabodetabek dan Surabaya dapat dikategorikan menjadi enam, yaitu (1) anak jalanan turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga, (2) rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan, (3) rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui fungsi dan peran sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak, (4) belum adanya payung kebijakan mengenai anak yang turun ke jalan baik dari kepolisian, Pemda maupun Departemen Sosial menyebabkan penanganan anak jalanan tidak terkoordinasi dengan baik, (5) peran masyarakat dalam memberikan kontrol sosial masih sangat rendah, dan (6) lembaga-lembaga organisasi sosial belum berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat menangani masalah anak jalanan.
Keempat, Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan ia membentuk sebuah lingkaran yang berujung (the vicious circle) yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Perda, Perpu atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Selanjutnya tokoh agama berpandangan bahwa munculnya masalah anak jalanan merupakan wujud dari tidak optimalnya pengelolaan zakat baik zakat mal, zakat fitrah, dan lainnya. Mereka mengharapkan agar dana zakat dapat dikelola sebaik mungkin agar disalurkan kepada mustahik dan  dapat dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh mereka. Disamping itu, kalangan akademisi memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang berkaitan dengan bagaimana hubungan antara pemerintah kota dengan daerah penyangga. Menurut mereka, penanganan masalah anak jalanan harus melibatkan juga aparat pemerintah pada daerah penyangga. Pemda DKI, misalnya, juga harus mengalokasikan dana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di Tangerang, Bekasi, dan daerah penyangga lainnya. Terakhir, aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memandang bahwa penanganan anak jalanan harus dilakukan dengan melibatkan institusi sekolah, rumah singgah, dan pemberdayaan keluarga dengan memberikan modal usaha keluarga.
Kelima, alternatif model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system base. Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam  membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan.
- Institutional base, adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.
- Multi-system base, adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak ,akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.  

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian “Peta masalah anak jalanan dan alternatif model pemecahannya yang berbasis pemberdayaan keluarga“ maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
-  Secara umum profil anak jalanan di Jabodetabek dan Surabaya berasal dari keluarga yang menikah. Mereka menjadi anak jalanan disebabkan karena  rendahnya kondisi sosial ekonomi keluarga. Di samping itu, sebagian besar anak jalanan menggunakan uang hasil usahanya untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka jarang bertemu dengan orang tuanya dan tidak betah di rumahnya. Mereka rata-rata menghabiskan waktunya di jalan selama lebih dari 12 jam. Aktivitas  paling menonjol yang dilakukan oleh anak jalanan di Jabodetabek adalah berjualan seperti asongan dan menyemir sepatu; sedangkan di Surabaya lebih banyak yang berjualan dan mengamen di bis-bis kota. Menarik dicatat bahwa tingkat kriminalitas anak jalanan di Surabaya lebih tinggi daripada di Jabodetabek. Hal ini disebabkan oleh budaya “bonek” yang cukup tinggi.
-  Dilihat dari profil keluarga rata-rata jumlah anaknya 3-4 orang sangat mendukung anaknya bekerja di jalan dan mendukung pula untuk anaknya bersekolah. Keluarga mereka pernah mengikuti penyuluhan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) tetapi tidak mengikuti program tersebut dengan alasan program tersebut tidak mendukung perekonomian keluarga. Keluarga mereka tidak memiliki pendapatan yang tetap dan tinggal di rumah sewa atau menempati tanah negara.
- Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya anak jalanan antara lain (a) rendahnya pendapatan keluarga, (b) keluarga disharmonis, (c) rendahnya pendidikan orang tua, (d) keluarga urban yang tidak memperoleh sumber-sumber ekonomi di daerah asalnya, (e) persepsi orang tua yang keliru tentang kedudukan anak dalam keluarga.
-  Di samping itu rendahnya kontrol sosial terhadap permasalahan anak jalanan juga menyebabkan permasalahan anak jalanan semakin menjamur, dan diperparah oleh adanya  eksploitasi anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
-  Peta permasalahan anak jalanan dapat dikatagorikan menjadi 6 (enam) yaitu (a) desakan ekonomi keluarga, (b) rumah tinggal yang kumuh membuat anak tidak betah di rumah (c) rendahnya pendidikan orang tua (d) tidak adanya payung kebijakan penanganan anak jalanan, (e) lemahnya kontrol sosial dan (f) tidak berperannya lembaga-lembaga sosial.
-  Berdasarkan profil dan peta masalah dapat dirumuskan tiga jenis alternatif model penanganan anak jalanan yaitu: family based, institutional based dan multi-system based.

Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas diajukan  rekomendasi sebagai berikut :
-  Mengingat bahwa fenomena masalah anak jalanan berada dalam kompleksitas persoalan yang luas dan tidak berdiri sendiri, maka  berbagai pihak perlu melaksanakan program integratif yang diarahkan tidak saja bagi anak jalanan, tetapi juga keluarga dan lingkungan di mana mereka tinggal. Bagi anak jalanan, mereka perlu dilibatkan dalam program pendidikan khusus  yang dapat membuka wawasan mereka mengenai masa depan. Bagi keluarga, terutama orang tua, perlu diberikan penyuluhan yang dapat meluruskan persepsi mereka mengenai kedudukan anak di dalam keluarga, lingkungan dan masyarakat. Di samping itu program pengembangan sentra ekonomi di daerah asal mereka perlu dikembangkan agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan tidak memposisikan kota sebagai satu-satunya tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
-  Potensi dana masyarakat seperti zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) juga dapat digunakan untuk menangani masalah anak jalanan.  Pengelolaannya perlu  melibatkan organisasi sosial keagamaan. Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan life skill, modal usaha  industri rumah tangga,  beasiswa, dan program-program pemberdayaan lainnya melalui manajemen ZIS yang modern, profesional dan terbuka.
-  Untuk memberikan payung hukum penanganan anak jalanan perlu diterbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai implementasi Undang-undang  tentang penggelandangan,  yang mengatur  teknis pelaksanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi penanganan anak jalanan serta tanggung jawab keluarga dan masyarakat.    
-  Perlu dikembangkan model pengembangan penanganan anak jalanan yang terkoordinasi, jelas tujuannya, dan tepat sasarannya dengan melibatkan  berbagai lembaga pemerintah maupun masyarakat, serta  memaksimalkan sumber-sumber yang ada.
-          Perlu dilakukan uji coba salah satu dari ketiga  model tersebut yang telah dikemukakan dengan membentuk pilot project yang bersifat lintas sektoral.


DAFTAR PUSTAKA




Anarita, Popon, dkk, Baseline Survei untuk Program Dukungan dn Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Bandung), Bandung: Akatiga-Pusat analisis sosial, 2001.
Arief, Armai, “ Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan Dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dan Stabilitas Nasional”, Dalam Jurnal Fajar, LPM UIN Jakarta, Edisi 4, No.1, November 2002.
Arijanto, Juniardi, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Masjid Sebagai Usaha Mereposisi Fungsi Masjid”, dalam Jurnal Etikonomi, Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidayatullah, Edisi 1, Desember 2002.
Basoeki, Badjuri, Modul 1: Pelatihan Pelatih Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah, Jakarta: Depsos bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999.
--------, Modul 2: Pelatihan Pelatih Pendampingan Orang Tua Anak Jalanan, Jakarta: Depsos bekerjasama dengan  Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999.
--------, Pelatihan Pelatih Monitoring dan Evaluasi Pemberdayaan Anak Jalanan dan Orang Tua, Jakarta: Depsos bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, 1999.
Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Dirjen Pemberdayaan Sosial, Standarisasi Pemberdayaan Peran Keluarga, Jakarta: Depsos, 2002.
--------, Pedoman Bimbingan Keluarga Melalui Kelompok Usaha Keluarga Muda Bina Mandiri (KUBE-KMM), Jakarta: Depsos 2002.
Endang WD, BM, Kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta dalam Penanganan Anak Terlantar, Makalah dalam seminar Nasional “Penanganan Anak Terlantar Berbasis Keluarga”, Jakarta: UMJ, 12 April 2003.
Goode, William J, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, Cet IV, 1995.
Kencana, Gita dkk, Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Medan), Medan: Warung Sahiva USU Medan, 2001.
Moleong, Alex, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Pramono, Herry, dkk, Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Jakarta), Jakarta: Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UNIKA Atma Jaya, 2001.
Sarmanu, dkk, Baseline Survei Untuk Program Dukungan dan Pemberdayaan Anak Jalanan di Perkotaan (Surabaya), Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 2001.
Sunarto, Agus, dkk, Buku Pedoman Pelaksanaan Santunan Keluarga, Asuhan Keluarga dan Panti Asuhan di Lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah/A’isyiah, Jakarta: PP Muhamadiyah Majelis Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU), 1989.
Sunusi, Makmur, Anak Terlantar Dalam Perspektif Pekerjaan Sosial, Endang WD BM, Kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta Dalam Penanganan Anak Terlantar, Makalah Dalam Seminar Nasional ‘Penanganan Anak Terlantar Berbasis Keluarga”, Jakarta: UMJ, 12 April 2003.
Zadeh, LA, From Computing With Numbers To Computing With Words-From Manipulation Of Measurements To Manipulation Of Perceptions. Berkeley Initiative In Soft Computing (BISC), University Of California, Berkeley, CA 94720-1776, U.S.A, 2002.




BAB 4
KEMISKINAN DAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL

Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia





I.   PENDAHULUAN

Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial yang krusial. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 persentase mereka menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization  (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002).
Dalam rangka penanganan kemiskinan, hampir semua kajian masalah kemiskinan masih berporos pada paradigma modernisasi (the modernisation paradigm) dan the product cantered model yang kajiannya didasari teori pertumbuhan ekonomi capital dan ekonomi neoclasic ortodox (Elson, 1977, Suharto, 2002). Hal ini tercermin dari tolak ukur yang digunakan untuk melihat garis kemiskinan pada beberapa pendekatan seperti Gross National Product (GNP), Human Development Index (HDI) dan Human Poverty Index (HPI), Social Accounting Matrix (SAM), Physical Quality of Life Index (PQLI).
Jika dicermati, pendekatan yang dipergunakan masih melihat kemiskinan sebagai individual poverty dan bukan structural and social Poverty. Sistem pengukuran serta indikator yang digunakan terpusat untuk meneliti “kondisi” atau keadaan kemiskinan berdasarkan variabel sosial-ekonomi yang dominan. Pendekatan dimaksud belum menjangkau variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan dan berporos pada outcomes sehingga kurang memperhatikan aktor atau pelaku kemiskinan serta sebab-sebab yang mempengaruhinya.
In its standardised conception of poverty, for example, the poor are seen almost as passive victims and subjects of investigation rather than as human beings who have something to contribute to both the identification of their condition and its improvement (Suharto, 2002: 68).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang komprehensif, yang dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan yang fokus utamanya membantu orang untuk dapat membantu dirinya sendiri. Dalam pertolongannya, pekerja sosial berpijak pada nilai, pengetahuan dan keterampilan yang menekankan pada prinsip keberfungsian sosial (Siporin, 1975; Zastrow, 1982; 1989; Morales, 1989; Suharto, 1997). Konsep keberfungsian sosial pada intinya menunjuk pada kapabilitas (capabilituies) individu, keluarga atau masyarakat dalam peran-peran sosial di lingkungannya. Konsep ini mengkedepankan nilai bahwa klien adalah subjek pembangunan; klien memiliki kapabilitas dan potensi yang dapat dikembangkan dalam proses pertolongan; klien memiliki dan atau dapat menjangkau, memanfaatkan, dan memobilisasi aset dan sumber yang ada disekitarnya. Dalam konteks ini yang menjadi persoalan adalah:
¨       Bagaimana karakteristik dan permasalahan kemiskinan ditinjau dari konsep keberfungsian sosial
¨       Bagaimana penanganan kemiskinan yang efektif
¨       Bagaimana waktu dan biaya yang diperlukan dalam mengatasi kemiskinan
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah  untuk mengetahui
¨       Kapabilitas keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar
¨       Kapabilitas keluarga dalam melaksanakan tanggung jawab dan peranan sosialnya
¨       Kapabilitas keluarga dalam menghadapi goncangan dalam kehidupannya
¨       Efektivitas program anti kemiskinan yang pernah ada di lokasi penelitian
¨       Model kelembagaan penyelenggara program-program anti kemiskinan
¨       Merancang model pengentasan kemiskinan yang bermatra keberfungsian sosial sehingga diketahui :
§  Strategi pengentasan kemiskinan yang sensitif karakteristik dan potensi keluarga miskin
§  Kriteria pendamping program
§  Lembaga pendukung program
§  Waktu dan biaya yang diperlukan.
Fokus penelitian ini adalah keberfungsian sosial penyandang masalah kemiskinan. Keberfungsian sosial dilihat dari keberfungsian individu dan keberfungsian institusional, hal ini didasari konsep kemiskinan yang terdiri atas dimensi internal dan eksternal. Keberfungsian individu diukur dengan pemenuhan kebutuhan dasar, pelaksanaan peran sosial dan strategi penanganan terhadap goncangan kehidupan. Hal ini merupakan gabungan dari berbagai konsep dan dikembangkan peneliti. Sementara itu keberfungsian institusional diukur dari program-program anti kemiskinan yang sudah dan sedang berjalan sebagai bahan masukan dalam merumuskan kriteria dan kualifikasi, tenaga pedamping dan lembaga pendukung sebagai pelaksana model pengentasan kemiskinan  yang dirumuskan peneliti.
Kemiskinan dan keberfungsian sosial merupakan penelitian kasus dengan rapid assesment, yaitu metode riset yang menggunakan strategi pengumpulan data mutakhir untuk memperoleh pemahaman tentang suatu realitas atau situasi sosial yang spesifik di dalam konteks sosial budaya tertentu. Metode ini merupakan perpaduan dari pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Temuan yang dihasilkan berupa deskriptif, analitik dan statistik tergantung pada tujuan khusus dari penelitian secara akurat dan dapat mewakili permasalahan yang ditelitinya (generalize), bahkan dapat diulang dengan tingkat hasil yang relatif memadai.
Analisis data yang akan digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Data dalam bentuk angka-angka akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel distribusi frekuensi dan diperkuat dengan analisa yang bersifat kualitatif terhadap temuan-temuan yang menonjol yaitu data yang ditafsirkan dan dipahami dalam bentuk narasi atau pernyataan yang logis.
Sasaran lokasi terdiri dari 17 propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara). Setiap propinsi diambil dua tipe wilayah (pasangan administratif dan geografis, yaitu: Desa, Kelurahan, Pesisir kota, Pesisir desa), maka diperoleh pasangan tipe wilayah sebagai berikut: (1) Desa dan Kelurahan (2) Desa dan Pesisir Desa, (3) Desa dan Pesisir Kota (4) Kelurahan dan Pesisir Desa, (5) Kelurahan dan Pesisir Kota, (6) Pesisir Desa dan Pesisir Kota. Jumlah sampel pada masing-masing tipe lokasi sekurang-kurangnya 20 responden. LSM dan Aparat Pemerintah yang menangani kemiskinan  diambil secara purposif minimal 5 orang perwakilan untuk mendapatkan gambaran efektivitas program anti kemiskinan dan harapan di masa mendatang.
Sumber data terdiri dari (1) Sumber data primer (keluarga miskin, baik yang berada di wilayah perkotaan maupun di pedesaan, dan pesisir kota serta pesisir desa) dan (2) Sumber data sekunder. Untuk menambah keabsahan dan keluasan data, juga dilakukan pengambilan data sekunder, yaitu pihak-pihak yang terkait dalam masalah penanganan masalah kemiskinan di tiap wilayah yaitu tokoh masyarakat (guru, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan aparat pemerintahan lokal). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah: (1) Wawancara untuk responden keluarga miskin di pedesaan dan perkotaan, serta pesisir sebagai sumber data primer. (2) Focused Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus) untuk berbagai unsur terkait (aparat pemerintah lokal, dinas terkait, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di daerah setempat). Dan (3) Studi Dokumentasi, dengan mempelajari buku dan atau literatur, hasil-hasil penelitian, catatan tertulis dan sebagainya yang relevan dengan tujuan penelitian studi kasus ini.

II.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Demografi

Berdasar data dan informasi yang terhimpun dari penelitian ini dapat di kemukakan,  bahwa karakteristik lokasi penelitian terdiri dari 9 pedesaan, 9 perkotaan, 12 desa pesisir, dan 9 kota pesisir.  Data dan informasi terhimpun dari 221 responden masyarakat terdiri dari 67,5% responden pria dan sisanya (32,5%) wanita. Rata-rata usia responden adalah 40 tahun dengan sebaran antara 26 tahun – 50 tahun (72,59%). Dari status perkawinan, mayoritas responden (88,8%) kawin, sisanya adalah janda (6,3%) belum kawin (3,1%) dan duda (1,9%). Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 5 orang. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh dan nelayan (56,71%) sedangkan sisanya bekerja di sektor lain.

Keberfungsian Matra Individu

Keberfungsian matra bermatra individu difokuskan pada tiga aspek (1) kapabilitas dalam memenuhi kebutuhan dasar, (2) kapabilitas dalam pelaksanaan peran sosial, dan (3) kapabilitas dalam menghadapi goncangan dan tekanan.
Kapabilitas Dalam Memenuhi Kebutuhan Dasar
Kapabilitas keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar merupakan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi (dilihat dari pengeluaran keluarga), kemampuan dalam memenuhi kebutuhan human capital atau kemampuan menjangkau pendidikan dasar (dilihat dari tingkat pendidikan formal yang ditamatkan; kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan security capital atau kemampuan menjangkau perlindungan dasar (yang dilihat dari kepemilikan tempat tinggal).
Dari aspek ekonomi (pengeluaran keluarga), dapat ditinjau dari ketentuan BPS (2002) yang menyebutkan bahwa Garis Fakir Miskin (GFM) di lihat dari pengeluaran sebesar Rp. 91.192,00,- perkapita perbulan atau GFM keluarga (5 jiwa) sebesar Rp.460.960,-. Berdasar angka tersebut, peneliti mengkategorikan keluarga menjadi tiga kelompok yaitu:
¨       Keluarga miskin (detitute) yaitu keluarga yang memiliki pengeluaran perkapita Rp. 91.192,- perbulan atau sebesar Rp.460.960,-  perkeluarga perbulan.
¨       Keluarga berkembang, yaitu keluarga yang memiliki perkapita  perkapita 2 x Rp.91.192,- = Rp.184.384,-perbulan atau sebesar 2 x Rp.460.960,- = Rp. 921.920,-perkeluarga perbulan.
¨       Keluarga maju yaitu keluarga yang memiliki perkapita  perkapita 3 x Rp.91.192,- = Rp.276.576,- perbulan atau sebesar 3 x Rp.460.960,- = Rp.1.382.880,- perkeluarga perbulan.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh data, bahwa rata-rata pengeluaran keluarga responden per bulan sebesar Rp.386.570,-. Jika rata-rata tiap keluarga berjumlah 5 orang, maka pengeluaran perkapita perbulan adalah sebesar Rp.77.314,-. 
Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran berdasarkan tipe wilayah rinciannya adalah: (1) Perdesaan sebesar Rp.331.000,- (2) Perkotaan : Rp.344.480,- (3) Desa Pesisir : Rp.308.310,- dan kota pesisir: Rp.533.640.
Berdasarkan angka GFM Rp.460.960,-, maka hanya rata-rata pengeluaran keluarga miskin di kota pesisir saja yang berada di atas garis fakir miskin. Namun, mereka masih berada di bawah garis miskin (poor). Bila dikaji lebih jauh, ternyata keluarga responden di daerah pedesaan, perkotaan dan desa pesisir masih berada relatif jauh di bawah garis fakir miskin. Dalam rangka mencukupi kebutuhan keluarga, 38,10% responden mencari penghasilan tambahan sementara yang lainnya tidak (61,90%).
Dari aspek kemampuan keluarga dalam menjangkau pendidikan dasar (human capital) dapat dikemukakan, bahwa sebagian besar (69,4%) responden berpendidikan rendah. Hal ini tercermin dari mereka yang Tidak sekolah (1,2%), Tidak Tamat SD (27,2), Tamat SD  sebesar 41,0%, Tamat SLTP (19,3%), Tamat SLTA (10,5%), dan tamat Perguruan Tinggi (0,7%). Apabila dilihat dari standar pemerintah (Wajib Belajar 9 tahun), kenyataan ini masih jauh dari harapan.
Aspek penjangkauan perlindungan dasar (security capital) akan dilihat dari status kepemilikan tempat tinggal atau rumah. Meskipun dari aspek GFM mereka berada di bawah garis kemiskinan, namun sebagian besar (77,1%) keluarga telah memiliki rumah sendiri (terlepas memadai atau tidaknya rumah yang mereka tempati). Selebihnya 14,8%  keluarga masih menumpang dan 5,5% keluarga menempati rumah sewa atau kontrakan.
Kapabilitas dalam pelaksanaan peran Sosial
Tinggi rendahnya kapabilitas seseorang dalam pelaksanaan peran sosial dilihat dari frekuensi pelaksanaan peran mulai dari tidak pernah (skor 1) kadang-kadang (skor 2) dan sering (skor 3).Responden yang memiliki mean mendekati skor 3 adalah tinggi dan skor jawaban yang mendekati angka 1 adalah rendah. Peran sosial kepala keluarga yang terungkap dari hasil penelitian dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: (a) Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama responden dalam mencari nafkah); (b) Peran dalam bidang pendidikan (dilihat dari dari enam peran utama dalam melaksanakan ibadah atau membimbing keluarga; menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga; mengerjakan kegiatan kerumah-tanggaan; mengasuh anak dan mendampingi anak belajar); (c) Peran dalam perlindungan (dilihat dari 3 kegiatan, yaitu melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga, dan turut serta memelihara kesehatan keluarga); (d) Peran dalam kemasyarakatan (dilihat dari 4 kegiatan yakni: mengunjungi keluarga atau tetangga; mengikuti kemasyarakatan; menghadiri rapat dan rekreasi).
Berdasarkan data dan informasi yang terhimpun dapat dikemukakan sebagai berikut: pelaksanaan fungsi ekonomi (pencari nafkah) memperoleh skor 2,79. Peran perlindungan keluarga: skor 2,70, Pemecahan masalah keluarga: skor 2,64. dan skor terendah adalah kegiatan rekreatif yaitu sebesar 1,57. Kenyataan ini merupakan suatu fenomena yang umum terjadi pada keluarga miskin. Rekreasi tidak dijadikan sebagai prioritas. Kegiatan mencari nafkah merupakan kegiatan utama yang masih perlu diperjuangkan demi keberlangsungan hidup keluarga. Angka terendah tersebut diikuti dengan peran mendampingi anak belajar dan mengasuh anak, yang tidak banyak dilakukan oleh responden sebagai kepala keluarga. Keadaan ini merata di keempat tipe wilayah.   
Dilihat dari setiap tipe wilayah, nilai terendah di daerah perdesaan adalah peran kegiatan kemasyarakatan (1,44), sedangkan nilai tertinggi adalah peran mencari nafkah (2,88). Data ini dapat dikatakan bahwa keluarga miskin di pedesaan tidak banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Sementara itu nilai terendah di perkotaan adalah peran melaksanakan ibadah (1,43), termasuk di dalamnya kegiatan keagamaan (mendidik anak tentang materi keagamaan, membaca Al-Quran dan sebagainya). Kenyataan ini cukup menarik untuk dikaji, karena bila dibandingkan dengan item yang sama di pedesaan ternyata sangat jauh berbeda, yaitu 2,62. Sebaliknya nilai item mengikuti kegiatan kemasyarakatan di perkotaan justru lebih besar (2,13) dibandingkan di pedesaan.
Di daerah desa pesisir, nilai terendah pelaksanaan peran sosial oleh kepala keluarga adalah melaksanakan kegiatan rekreatif, dan nilai tertinggi adalah item mencari nafkah (2,88). Namun, nilai item melaksanakan ibadah cukup tinggi yaitu 2,78. Keadaan ini sama dengan pelaksanaan peran sosial di wilayah kota pesisir, dimana nilai tertinggi adalah mencari nafkah (2,88) dan terendah adalah melaksanakan kegiatan rekreatif (1,57).
Kapabilitas Dalam Menghadapi Goncangan dan Tekanan
Kapabilitas keluarga miskin dalam menanggapi goncangan dan tekanan (shock and stress) merupakan aspek penting dalam menunjukkan keberfungsian sosial. Secara konseptual aspek ini didasari dari teori coping strategies. Dalam penelitian ini, strategi dimaksud dapat dipilah menjadi dua yakni strategi yang berkaitan dengan ekonomi dan non-ekonomi.
Coping Strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi terdapat 28 cara yang ditempuh oleh kepala keluarga. 28 cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:
¨       Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk  (misalnya melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitar dan sebagainya.
¨       Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya).

¨       Strategi jaringan, yaitu menjalin relasi, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan (misalnya: meminjam uang tetangga, mengutang ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya).

Coping Strategies dalam mengatasi goncangan dan tekanan non-ekonomi terdapat 12 cara yang ditempuh oleh kepala keluarga. Strategi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni:
¨       Strategi aktif, yaitu melakukan berbagai kegiatan untuk memperoleh dukungan emosional (misalnya: lebih giat dalam beribadah, mencari nasihat orang lain)
¨       Strategi pasif yaitu berusaha menghindari resiko yang diakibatkan oleh goncangan non-ekonomi (misalnya mengurangi biaya sosial, kesehatan, pendidikan, dan pasrah kepada keadaan).
¨       Strategi jaringan yaitu menjalin relasi untuk memperoleh bantuan baik secara informal maupun formal dari pihak lain (misalnya: teman, tetangga, sanak keluarga).

Keberfungsian Sosial Matra Kelembagaan

Keberfungsian matra bermatra kelembagaan difokuskan pada tiga aspek (1) efektivitas program anti kemiskinan yang pernah ada di lokasi penelitian, (2) pendamping program (petugas lapangan), dan (3) lembaga penyelenggara program anti kemiskinan yang diharapkan. Penggalian informasi dilakukan dengan Diskusi kelompok terfokus.

Efektivitas Program
Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan, namun kegiatannya tidak selalu memakai istilah kemiskinan, seperti anti kemiskinan, penanggulangan kemiskinan, pemberantasan kemiskinan dan lain sebagainya. Program anti kemiskinan (terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter) semakin menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Dari penelitian ini teridentifikasi 33 jenis (nama) program yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Dalam kaitannya dengan peningkatan pendapatan keluarga, sebagian besar (80%) peserta diskusi terfokus menyatakan dalam kategori sedang, ini dapat diartikan bahwa program belum dapat meningkatkan pendapatan keluarga secara maksimal. Sedangkan dalam kaitannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan 80% peserta diskusi menyatakan dalam kategori rendah. Alasannya adalah “hampir semua program kurang memberikan bimbingan keterampilan yang memadai, bahkan terdapat beberapa program yang tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan bimbingan keterampilan karena sesuai dengan sifat bimbingan program yang berorientasi pada pencegahan (resque). Kondisi ini tentunya berkaitan dengan informasi dari diskusi, bahwa kondisi kemandirian penerima bantuan yang masih dalam kategori rendah. Artinya secara umum, program relatif belum dapat menciptakan kemandirian penerima bantuan.
Kisah keberhasilan program pada umumnya ditunjang beberapa faktor yang saling berkaitan, secara umum dapat  diidentifikasi sebagai berikut: 
¨       Bentuk stimulan sesuai dengan kebutuhan, harapan, kemampuan dan kondisi lokasi penerima bantuan.
¨       Mekanisme kerja kelompok ditetapkan bersama sehingga setiap anggota merasa memiliki dan bertanggung jawab
¨       Pemimpin kelompok yang jujur, terbuka dan amanah serta transparan, sehingga dipercaya anggota kelompok untuk memecahkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
¨       Petugas atau pendamping program yang memperhatikan pelaksanaan program
¨       Adanya motivasi setiap anggota kelompok untuk mengubah dan meningkatkan taraf kehidupannya.
Kisah ketidakberhasilan program disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, secara umum dapat diidentifikasi sebagai berikut:
¨       Bantuan yang diterima relatif kurang sesuai.
¨       Pendataan calon penerima pelayanan belum dilakukan secara profesional; mereka tidak tahu kapan dilakukan pendataan, sehingga tidak siap untuk menerima bantuan stimulan tersebut.
¨       Sosialisasi program atau mekanisme bantuan relatif kurang, sehingga mereka kurang siap untuk mengembangkan bantuan modal usaha.
¨       Dilihat dari waktu, instruktur maupun metoda  pelatihan ketrampilan praktis kurang memadai.
¨       Tidak ada surat perjanjian akan hak, kewajiban dan sanksi bagi penerima pelayanan, hal ini menjadi titik kritis ketidakberhasilan program usaha ekonomi produktif
¨       Bimbingan dan penyuluhan setelah menerima bantuan modal usaha relatif kurang.
¨       Tidak adanya unit pengaduan bila terjadi sesuatu masalah tidak dapat segera diselesaikan atau bila penerima pelayanan akan konsultasi.
¨       Koordinasi antar pelaksana program (khusus PPK) dan tidak ditunjangnya sarana dan prasarana yang memadai, sehingga membatasi gerak pelaksana dalam menjalankan tugasnya. Kondisi ini lebih diperburuk lagi oleh jangkauan lokasi yang begitu luas yang tidak sebanding dengan sarana dan prasarana yang ada.
Pendamping Program
Pendamping program berasal dari pemerintah dan dari masyarakat. Pendamping dari pemerintah adalah: Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), Penyuluh Lapangan Koperasi, Penyuluh Lapangan Kesehatan, Penyuluh sosial (Pekerja sosial), Penyuluh Lapangan pertanian, Penyuluh Lapangan Peternakan. Sedangkan dari petugas pendamping dari unsur masyarakat terdiri dari: Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kepala Dusun, Bidan Desa, Guru, LSM.
Pendamping dimaksud adalah orang yang dikenal masyarakat dan sering memberikan bimbingan dan penyuluhan berkaitan dengan masing-masing bidangnya. Dari aspek pengetahuan, pendamping dari KB, Pertanian dan peternakan dinilai dalam kategori baik. Mereka dapat menjelaskan secara baik tentang manfaat, tujuan dan cara-cara yang harus diikuti dalam suatu program yang ditawarkan. Pendamping program dari Petugas sosial, RT, RW, Kepala Dusun  dalam kategori sedang, alasannya program yang ditawarkan belum dipahami secara maksimal.
Kriteria pendamping program yang mereka kehendaki adalah:
¨       Mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan program.
¨       Memahami permasalahan-permasalahan yang dialami oleh penerima bantuan. 
¨       Mengetahui jenis bantuan yang sesuai dengan kebutuhan.
¨       Tidak merangkap pekerjaan
¨       Warga kelurahan setempat
¨       Usia dewasa muda (minimal 18 tahun).
Sikap dan perilaku pendamping yang diharapkan antara lain:

¨       Bersikap sabar tetapi peka terhadap situasi dan kondisi

¨       Kreatif

¨       Mau mendengar dan tidak mendominasi

¨       Menghargai dan terbuka

¨       Bersikap akrab dan melebur

¨       Tidak menggurui

¨       Berwibawa

¨       Tidak memihak, menilai dan mengkritik

¨       Bersikap positif

¨       Mau belajar dari pengalaman

Kriteria lembaga yang diharapkan untuk menjadi pendamping program antara lain:
¨       Memiliki kantor/sekretariat yang jelas
¨       Memiliki sumber dana yang jelas dan memadai
¨       Memiliki sumberdaya manusia yang memadai
¨       Transparan dalam pertanggungjawaban
¨       Mudah dan cepat dalam memberikan pelayanan (tidak berbelit-belit)
¨       Bermitra dengan organisasi sosial setempat
¨       Hindarkan menggunakan organisasi sosial keagamaan, karena bisa membuat kecemburuan agama yang lain.
Bentuk bantuan yang diharapkan responden bagi responden yang berada di desa/kelurahan pesisir adalah modal usaha yang berupa alat-alat produksi, seperti  perahu, mesin pengukur kelapa, jaring penangkap ikan, sedangkan di tipe desa dan kota lebih menginginkan usaha ternak seperti domba, sapi, ayam dan lain sebagainya, tetapi yang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Sementara responden yang berada di kota lebih menghendaki bantuan modal dalam bentuk uang. Namun responden menyarankan agar sebelum menerima bantuan usaha ekonomi produktif diberikan ketrampilan  praktis agar dapat mengelola dan mengembangkan bantuan dengan baik.

III. PENUTUP

Nama Program:      Pemandirian Masyarakat Miskin   Terpadu (PEMANDU)

Tujuan Program PEMANDU

¨       Meningkatkan pendapatan keluarga fakir miskin ke atas garis fakir miskin
¨       Meningkatkan pendapatan keluarga fakir miskin ke atas GFM
¨       Memberikan perlindungan kepada anak-anak keluarga fakir miskin untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun.
¨       Memberikan perlindungan tingkat kesehatan keluarga fakir miskin untuk dapat menjalankan keberfungsian sosial secara normal.
¨       Meningkatkan komitmen Pemerintah Daerah dalam pengentasan Kemiskinan

Visi dan Misi PEMANDU

Visi  : Terwujudnya kemandirian masyarakat miskin untuk mengatasi   kemiskinannya secara berkelanjutan.
Misi :  Pemenuhan kebutuhan dasar melalui (1) penguatan economic capital, dan human capital (capacity building) keluarga miskin (2) bantuan biaya pendidikan dan (3) bantuan perlindungan kesehatan.

Prinsip PEMANDU

-            Operasionalisasi PEMANDU menggunakan prinsip-prinsip: Pemberdayaan; penyadaran, penguatan kapasitas, pembentukan jaringan kerja sasaran pelayanan secara partisipatif dengan menjunjung tinggi keadilan, kejujuran dan kesederhanaan yang menghargai kepemilikan komunitas lokal.
-            Kemitraan; semua pihak yang terlibat dalam program termasuk pemerintah daerah dan kelompok sasaran sebagai “mitra”, yang secara bahu membahu bekerja sama dalam satu tujuan untuk memerangi kemiskinan.
-            Akuntabilitas; setiap kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan kepada masyarakat.
-            Keberlanjutan; program ini akan direplikasikan di wilayah-wilayah lain secara bersinambungan, untuk mencapai hasil yang diharapkan.

Sasaran

Sasaran utama adalah fakir miskin yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
¨       Belum memiliki pekerjaan atau telah memiliki pekerjaan tetapi tidak menentu (serabutan).
¨       Pendapatan keluarga < Rp.308.310,- (untuk tipe pedesaan, perkotaan, desa pesisir), dan < Rp. 450.000,- perbulan untuk kota pesisir.
¨       Keterbatasan keterampilan.
¨       Keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan (tidak tamat pendidikan dasar 9 tahun) dan kesehatan (gizi rendah atau daya tahan tubuh rendah)
¨       Keterbatasan tempat tinggal (perumahan) :
Ø  Status menumpang pada orang lain;
Ø  Status mengontrak atau sewa;
Ø  Milik sendiri tetapi kurang layak huni (seperti luas kurang dari 40 m2, tidak permanen, kurang ventilasi dan pencahayaan).
Ø  Rumah yang ditempati tidak memiliki Sarana Air Bersih, Mandi Cuci dan Kakus (MCK) dan Saluran Pembuangan Air Limbah.
Ø  Keterbatasan hubungan sosial dan jaringan, baik dengan keluarga, lingkungan kerabat, lingkungan adat, kelompok, organisasi lokal dan pihak lain.
Sasaran Pendamping lokal adalah warga setempat dengan kriteria:
¨              Usia minimal 18 tahun
¨              Pendidikan minimal SLTA
¨      Sedang menjabat (pengurus) LPM/LKMD sekurang-kurangnya 2  tahun dan menjadi panutan masyarakat
¨    Memiliki kepedulian terhadap fakir miskin
Sasaran Pendamping Pemerintah Daerah adalah organisasi perangkat daerah yang memiliki fungsi perencanaan dan pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi program pengentasan kemiskinan.

Strategi PEMANDU

Guna mencapai visi dan melaksanakan misi diatas, PEMANDU menggunakan beberapa strategi :
      Pengembangan Masyarakat
Keluarga binaan (KABIN) yang tersebar disetiap pelosok wilayah diorganisir dan dikembangkan dalam bentuk kelompok, sehingga diperoleh kemudahan di dalam upaya pendampingannya.
     Penguatan Organisasi
LPM/LKMD dan atau organisasi sosial lainnya dalam posisinya sebagai potensi dan sumber kesejahteraan sosial pada dasarnya merupakan aset sosial yang strategis karena berperan sebagai pilar partisipasi masyarakat, diperkuat dalam bidang manajemen organisasi maupun kemampuan profesional di dalam mengatasi permasalahan sosial kemiskinan di wilayahnya.
Perguliran dan Penciptaan Lapangan Kerja.
Penyaluran dana hibah dimaksudkan hanya sebagai faktor pemicu (trigger factor) bagi penggalian dan pengembangan keswadayaan masyarakat, serta bagi terwujudnya upaya-upaya mobilisasi dana dari donatur lainnya. Dana hibah tersebut diharapkan menjadi dana bergulir diantara KABIN.
      Advokasi terhadap Kelompok Keluarga Binaan  (KEKABIN)
LPM/ LKMD sebagai wadah pembinaan masyarakat miskin dipersiapkan untuk berkomitmen terhadap upaya-upaya pemihakan terhadap orang-orang miskin yang ada di wilayahnya.
     Kemitraan dan Jaringan
KEKABIN yang dibentuk dari KABIN  tidak akan maju dan berkembang tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya baik individual maupun kolektif. Oleh karena itu brokering atau fasilitasi pembentukan jaringan usaha dan kemitraan menjadi strategi penting.
Lingkup Program
Program Langsung
¨             Pemberian bantuan modal usaha
¨             Latihan keterampilan
¨             Perlindungan pendidikan
¨             Perlindungan kesehatan
Program Tak Langsung
Program tidak langsung dilakukan untuk mendukung program di atas melalui Zona Bebas Fakir Miskin (ZBFM) yaitu (1) diseminasi program (2) penguatan kapasitas komite (3) kampanye anti kemiskinan dam (4) advokasi kebijakan penanggulangan kemiskinan daerah.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan KEKABIN mencakup 2 aspek yaitu :
¨       Aspek ekonomi, tersedianya lapangan pekerjaan bagi keluarga fakir miskin dan  meningkatnya penghasilan per kapita dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun dengan tambahan penghasilan sebesar Rp. 445.730,- per bulan, dan telah dapat menggulirkan bantuan modal usaha.
¨       Aspek Sosial, dapat terpenuhinya kebutuhan akan :
Ø  Pelayanan sosial pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anak dari keluarga miskin binaan yang menjadi anggota kelompok usaha bersama (KUBE) yang ditandai dengan kepemilikan ijazah baik dari sekolah formal maupun dari pendidikan luar sekolah (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat /PKBM).
Ø  Perlindungan bagi seluruh anggota Kabin yang ditandai dengan akses  terhadap pelayanan kesehatan dan kondisi kesehatan yang semakin baik.
Indikator keberhasilan pendampingan LPM/ LKMD mencakup dua hal,
¨       Kembalinya 75% dana bantuan selama 50 bulan
¨       Terkelolanya secara baik, akuntabel dan transparan dana bantuan oleh kelompok pengelola dana Bantuan (KPDB)
¨       berkembangnya dana KPDB melalui pengembangan usaha masyarakat.
Indikator keberhasilan pendampingan LPM/ LKMD mencakup tiga hal,
¨       Optimalisasi fungsi KPK daerah dalam monitoring dan evaluasi program Pemandu
¨       Teralokasinya anggaran Pemerintah daerah yang mendukung program Pemandu
¨       Terumuskannya peraturan/keputusan dalam mendukung program Zona Bebas miskin
Prakiraan Pembiayaan
Mengacu pada program yang direkomendasikan diatas, maka biaya yang diperlukan untuk mengentaskan fakir miskin adalah sebagai berikut:

Biaya Bantuan Langsung
Biaya bantuan langsung berupa bantuan modal usaha, bantuan perlindungan pendidikan dan bantuan perlindungan biaya kesehatan.
Bantuan modal usaha diberikan dalam bentuk pinjaman tanpa bunga yang ditunjang dengan latihan keterampilan praktis. Bentuk usaha tergantung pada pilihan Kabin.
Bantuan perlindungan pendidikan ditujukan untuk melindungi anak - anak Kabin agar dapat menyelesaikan  wajib belajar sembilan tahun. Bentuk bantuan berupa biaya pendidikan dan hanya difokuskan pada bantuan regristasi,  bantuan buku; dan bantuan  baju seragam.
Bantuan Kesehatan ditujukan kepada seluruh anggota keluarga untuk menjamin dan melindungi kesehatannya, sehingga tidak mengganggu  modal usaha yang sedang dijalankan. Bantuan kesehatan meliputi jaminan pelayanan kesehatan dan bantuan peningkatan gizi keluarga.
Besar bantuan yang diperlukan.
¨       Bantuan minimal untuk keluar dari GFM yang diperlukan dihitung dari selisih GFM  (Rp.460/960,-) dengan pengeluaran (Rp.308.310,-) yakni sebesar Rp.152.650. Menurut hasil penelitian Carter and Jones-Evans (2000), dalam keadaan normal keuntungan usaha kecil sebesar 15%., maka untuk dapat menghasilkan Rp.150.000,- dibutuhkan modal usaha   Rp, 1.000.000,- (diberikan sekali)
¨       Bantuan perlindungan pendidikan dan kesehatan selama 5 tahun sebesar: (5 jiwa x Rp.595.000,-)    = Rp. 2.975.000,-
¨       Jika diprediksi jumlah FM sebesar 15.589.733 jiwa dan setiap KK mempunyai 5 jiwa, maka sasaran PEMANDU berjumlah 3.117.947 KK. Dengan demikian besar bantuan langsung yang diberikan adalah 3.117.947 jiwa x Rp. 3.975.000,-= Rp.12.393.837.735.000,-

Biaya Bantuan Tidak Langsung
Biaya tidak langsung dipergunakan untuk mendukung program diatas melalui gerakan Zona Bebas Fakir Miskin  (ZBFM) yaitu (1) diseminasi program, (2) pembentukan komite (3) kampanye anti kemiskinan dan advokasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah. Alokasi biaya sebesar 10%  dari biaya langsung yakni = Rp.1.239.383.773.500,- selama lima tahun.
Biaya Managemen, Konsultan dan Pendampingan
Biaya managemen, konsultan dan pendampingan sebesar 40% dari jumlah bantuan langsung = Rp.4.957.535.094.000,- ditambah pajak biaya manajemen (15% x Rp.4.957.535.094.000,-) = Rp.743.630.264.100,-maka jumlah biaya manajemen konsultan pendamping sebesar Rp.5.701.165.538.100,-
Total biaya yang dibutuhkan untuk terselenggaranya program PEMANDU sebesar: Rp. 19.339.386.866.600,-
Indeks biaya pemandu per jiwa fakir miskin sebesar Rp.1.240.200,- per jiwa atau Rp.6.201.000,- per kepala keluarga.
Prakiraan Waktu Yang Dibutuhkan
Waktu yang dibutuhkan untuk mengentaskan fakir miskin dapat dijelaskan sebagai berikut:
¨       Bantuan modal sebesar Rp.1000.000,- dapat memberikan keuntungan tambahan sebesar Rp.150.000,- per bulan. Keuntungan dialokasikan untuk angsuran Rp.20.000,- per bulan dan sisanya untuk penambahan modal (30%) dan 70% untuk kebutuhan lainnya.
¨       Dikaitkan dengan hasil penelitian, bahwa pengeluaran fakir miskin sebesar Rp.386.570,- dan angka GFM sebesar Rp.460.960,- maka dalam waktu 6 bulan akan dapat mencapai diatas GFM (Rp.495.089,-)
¨       untuk menjadi keluarga berkembang (pendapatan rata-rata Rp.939.677 – Rp.1382.880,-) dibutuhkan waktu minimal 43 bulan dan untuk mencapai keluarga maju (pendapatan minimal Rp Rp.1382.880,-) dibutuhkan waktu 56 bulan.
Sebagai penutup perlu ditekankan, bahwa asumsi utama perancangan model ini adalah Ceteris paribus, yakni segala sesuatu di luar yang diformulasikan dianggap konstan. Oleh karena itu sangat disadari, bahwa model PEMANDU, khususnya yang menyangkut prediksi waktu dan biaya penanganan kemiskinan terkesan menyederhanakan masalah (reduksionisme).





























DAFTAR PUSTAKA




BPS (Badan Pusat Statistik), 1999. Penduduk Miskin (Poor Population). Berita Resmi Statistik Penduduk Miskin. No.04/Thn.II/9, Juli. Jakarta: CBS
BPS dan Depsos, 2002, Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002, BPS Jakarta Indonesia.
Carter Sara and Dylan Jones-Evans, 2000, Enterprise and Smile Business: Principles, Practice and Policy, Pearson Education, New York.
Elson, Dine, 1997, “Economic Paradigms Old and New: The Case of Human Development”, In Culpeper, Roy, Albert Berry and Frances Stewart (eds.), Global Develoment Fifty Years After Bretton Woods: Essays In Honour Of Gerald K. Helleiner, London: MacMillan Press.
ILO (International Labour Organization). 1998. Employment Challenges Of The Indonesian Economic Crisis. Jakarta : ILO
Morales, Armando And Bradford W, Sheafor. 1989. Social Work: A Profession Of Many Faces Massachusset: Allyn an Bacon
Siporin, Max. 1975. Introduction To Social Work Practice. New York: Mac Millan Pusblishing Co. Inc
Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan STKS (LSP-STKS)
---------- 2002. Coping Strategis Keluarga Miskin. Seminar Kemiskinan di IPB tanggal 17 Desember 2002.
--------- 2002, Profiles and Dynamic Of The Urban Informal Sector: A Study Of Pedagang Kakilima in Bandung, PhD Thesis, Palmerston North: Massey University.
Zastrow, Charles, 1982, Introduction to Social Welfare Institutions: Social Problems, Service and Current Issues. Illinois: The Dorsey Press
BAB 5

PENELITIAN MODEL PEMBERDAYAAN MIGRAN DI KOTA-KOTA BESAR DI INDONESIA
( Uji Coba Model Pemberdayaan Migran Di Kota D.I.Yogyakarta, Palembang dan Surabaya )




I.   PENDAHULUAN

Migrasi penduduk desa ke wilayah perkotaan   menunjukkan gejala peningkatan yang sulit dibendung, hal ini  membawa konsekuensi perkembangan penduduk di wilayah perkotaan semakin hari semakin meningkat. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat di wilayah perkotaan tanpa diimbangi dengan kesempatan kerja yang memadai akan mengakibatkan jumlah pengangguran dan pekerja di sektor informal  semakin meningkat. Kondisi demikian pada gilirannya  akan membuka peluang timbulnya benturan-benturan sosial seperti tindak pidana kriminal, kesenjangan ekonomi  dan masalah-masalah sosial lainnya. Secara empirik, gejala yang dapat dilihat telah bermunculannya daerah-daerah kumuh (Slum Area),  tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, fasilitas umum dan sosial semakin memburuk, kegiatan disektor informal semakin sulit diatur.
Di wilayah pedesaan, kondisi kehidupan sosial ekonomi dan pendidikan yang terbatas merupakan faktor pendorong (Push Factor) bagi masyarakat untuk  bermigrasi guna meraih kehidupan dan penghidupan yang lebih baik.  Pada sisi lain kehidupan kota yang menawarkan berbagai infrastruktur didukung dengan  teknologi tinggi, tersedianya sumber kehidupan yang beragam serta fasilitas unggulan merupakan faktor yang menarik (Pull Factor), sehingga orang bermigrasi ke wilayah perkotaan.
Kondisi demikian apabila tidak mendapatkan penanganan yang serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat, dikhawatirkan akan menimbulkan benturan-benturan sosial yang lebih tajam. Penanganan yang dilakukan  pemerintah   masih bersifat umum, masih bercampur  dengan penanganan kemiskinan perkotaan. Bentuk penanganannyapun masih bersifat sektoral seperti halnya penanganan anak terlantar, kemiskinan, lanjut usia dan lain-lain. Artinya sistem penanganan belum terfokus secara  spesifik. Untuk itu diperlukan suatu sistem penanganan migran perkotaan yang lebih spesifik dan terarah  dalam bentuk pemberdayaan.
Hasil penelitian tahap pertama tahun 2001  berjudul “Identifikasi Masalah Sosial Migran di Perkotaan”, telah teridentifikasi berbagai permasalahan sosial migran perkotaan, antara lain :
¨       Migran umumnya hidup dalam kondisi miskin, ditandai dengan keterbatasan  dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti kesulitan biaya pendidikan,  kesehatan dan sumber kehidupan mereka umumnya di sektor informal.
¨       Permasalahan sosial migran di lokasi pemukiman      berupa  keterlantaran, kenakalan,  tuna susila,  perumahan tak layak huni,     rawan tindak kriminal dan  sanitasi lingkungan  yang buruk.
¨       Penanganan masalah sosial migran di perkotaan yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat masih bersifat insidental dan sektoral.
Penelitian ini ditindak lanjuti dengan penelitian kedua  tahun 2002 dengan judul  Permasalahan dan Model Pemberdayaan Migran di Empat Kota Besar di Indonesia” (Merancang kembangkan konsep model pemberdayaan migran). Proses penelitian ini ditempuh melalui pendalaman  konsep model untuk mendapat tanggapan dan masukan dari para pakar dan pejabat instansi terkait, guna memperoleh suatu model yang cocok untuk diterapkan di wilayah perkotaan. Diperoleh konsep model dengan tahapan kegiatan: prakondisi kelompok, pemahaman masalah dan kebutuhan, proses pendampingan, peningkatan kemampuan dan bantuan stimulans bergulir serta evaluasi. Konsep model ini juga dilengkapi dengan kegiatan pendukung pemenuhan sarana fisik sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Hasil penelitian tersebut ditindak lanjuti dengan penelitian  Model Pemberdayaan Migran di Kota-Kota Besar di Indonesia : Uji Coba Model Pemberdayaan Migran di Kota DI Yogyakarta, Palembang dan Surabaya“  Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian  ini  dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah model pemberdayaan migran yang  tepat dan efektif untuk diterapkan di tiga wilayah penelitian ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian 
Tujuan
¨       Memperoleh suatu Model pemberdayaan migran yang  efektif  untuk diterapkan pada tiga lokasi penelitian, yaitu DI Yogyakarta, Palembang dan Surabaya..
¨       Meningkatkan kemampuan migran dalam memahami masalah, potensi, dan kebutuhan yang didihadapinya, serta memenuhi kebutuhan tersebut dengan memfasilitasi diri mereka agar dapat mandiri.
Manfaat
 Penelitian ini bermanfaat  untuk memberikan masukan kepada Depertemen  Sosial RI khususnya Direktorat Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran dalam menyusun kebijakan di bidang pemberdayaan migran di kota-kota besar.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research) yang dilakukan secara partisipatif, dikenal sebagai Participatory Action Research (PAR). Dilakukan untuk memperoleh perubahan-perubahan dalam situasi tertentu, dan menguji prosedur yang diperkirakan akan menghasilkan perubahan.
Teknik pengumpulan data yang digunakan: a).Studi Dokumentasi, dengan menelusuri berbagai referensi, b). indepth interview untuk menggali alasan bermigrasi,  kesulitan, upaya yang pernah dilakukan dalam mengatasi kesulitan, dan harapan di masa yang akan datang. c). Focus group discussion dilakukan untuk menjaring informasi dari berbagai elemen masyarakat termasuk migran tentang keberadaan migran di kotanya. d).Observasi, guna memotret kondisi migran yang sebenarnya. e). Proses Pemahaman secara partisipatif, agar mereka memahami  permasalahan yang sedang dihadapi, potensi yang dimiliki, kebutuhan usaha yang diminati serta menyusun rencana kegiatan usaha yang diminati.
Sebagai sasaran  Lokasi,  ditetapkan di 3 (tiga) kota  meliputi Yogyakarta, Palembang dan Surabaya sebagaimana hasil penelitian sebelumnya.
Sasaran responden adalah migran yang tinggal di wilayah kumuh seperti di bantaran sungai, di daerah jalur hijau, di sekitar pelabuhan, yang memenuhi kriteria yang disepakati. bersama   ( hasil penelitian 2003 ) sebagai berikut :
Jumlah migran sasaran pemberdayaan  20 anggota pada setiap kota, untuk tiga lokasi sebanyak 60 anggota.
Sasaran Program meliputi : 1). Koordinasi dengan instansi terkait, 2). Persiapan: Lokasi, responden, pendamping, fasilitator dan cooching petugas 3). Pelaksanaan  Pemberdayaan,.4). Pemberian Stimulans bergulir. 5).Proses pendampingan  dan 6). evaluasi.
Tehnik Perlakuan : a. Pemberian perlakuan kepada kelompok migran melalui PRA :  1). Dinamika kelompok, pemahaman permasalahan, potensi dan rencana kegiatan usaha.   2).  bantuan stimulan bergulir.   3). Pendampingan dan Evaluasi kinerja kelompok..
 Pengolahan dan analisis, Data dan Informasi yang diperoleh dari setiap tahapan kegiatan diolah secara manual kemudian dianalisa untuk melihat  setiap aspek perubahan  yang turut menentukan keberhasilan pemberdayaan.
II.   HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Kondisi yang dihadapi masyarakat migran miskin perkotaan adalah keterbatasan yang melekat pada diri, keluarga maupun lingkungannya. Oleh karena itu, perlu diberdayakan, agar mereka menyadari posisi mereka, kemudian bersama sama meningkatkan kesejahteraannya. Semua ini dirancang dalam model pemberdayaan yang melibatkan berbagai fihak: Instansi  sosial tingkat pusat maupun daerah, instansi terkait daerah, LSM tokoh lokal dan para migran.
Persiapan Pemberdayaan di Surabaya
 Proses Persiapan Pemberdayaan, diawali dengan koordinasi dilakukan dengan Dinas Sosial Tk I Propinsi Jawa Timur, Dinas Sosial Tk II, dan LSM Widya Dharma dan kelurahan. Hal ini agar proses pemberdayaan berjalan sesuai tugas dan tanggung jawab masing masing berdasar ketentuan dan kesepakatan bersama. Adapun isi koordinasi mencakup rencana  pemberdayaan meliputi :1).Pelaksana pemberdayaan(fasilitator dan pendamping.2).Proses pemberdayaan. 3).Materi 4). Waktu dan tempat pemberdayaan
Hasil koordinasi diketahui sejumlah kendala: surat izin daerah belum siap, penunjukan LSM, lokasi, responden, pendamping dan fasilitator. Hasil koordinasi dicapai kesepakatan: menunjuk LSM Widya Dharma sebagai patner pemberdayaan,  pengalihan lokasi dari Kali rungkut ke Kel Pakis. Menentukan sasaran pemberdayaan dengan menetapkan Rt 10 Kelurahan Pakis. Tempat kegiatan di kelurahan, termasuk sarana dan prasarana lainnya. Selain hal itu tentang  peran dan fungsi pendamping. Dinas Sosial Tk I berperan sebagai unsur koordinatif, pendamping teknis, dipercayakan ke Widya Dharma. Dinas Sosial Tk II  berpartisipasi dalam kegiatan FGD dan fasilitator masalah social dilapangan. Pembinaan  tentang ketertiban, hak dan kewajiban warga diserahkan kepada pihak lurah setempat. Untuk  yang berkaitan dengan ketrampilan/manajemen usaha oleh LSM Widya Dharma, peneliti  menyampaikan maksud dan tujuan.

Persiapan Petugas Pendamping dan fasilitator

Mengacu kepada panduan dalam modul, pendamping bertanggung jawab memberikan pendampingan, baik selama maupun sesudah masa pemberdayaan. Demikian juga dengan fasilitator, yang akan memberikan arahan dalam pemberdayaan  modul. Oleh karena itu dilakukan konsolidasi dan pemantapan petugas.

Persiapan Lokasi dan calon sasaran pemberdayaan
Kegiatan diawali dengan observasi pada beberapa lokasi seperti migran sirkuler yang menempati gubug liar dan  menutup jalan Wr Supratman.  Kelompok migran yang bermukim di atas kuburan  daerah Kembang Kuning. Ketiga migran sektor informal,  di Rt 10 , Rt V. Hasil penelusuran diperoleh  gambaran  bahwa migran di Rt 10 dinilai cukup representatif. Kegiatan penentuan calon pemberdayaan. dilakukan secara partisipatif dan diperoleh 20  calon sasaran.

Persiapan Administratif Dan Sarana Pendukung Lainnya
Belum lengkapnya izin daerah sedang waktu  penelitian yang  terbatas maka ditempuh musyawarah, sebagai konsekuensinya peneliti harus membuat  laporan tertulis kegiatan yang dilakukan selama penelitian, sebagai  laporan kepada pihak Camat.
Selain itu juga disepakati penyesuaian hari dan waktu  kegiatan, personil, tempat, sarana fisik / pendukung kegiatan dan waktu  kegiatan. Hasilnya kegiatan dapat dilakukan, tanpa prosedur formal, tempat di kantor kelurahan berikut sejumlah sarana pendukungnya. Berbagai  alat tulis pendukung telah disiapkan  peneliti.
Proses persiapan pemberdayaan di Palembang
Kooordinasi dengan instansi terkait, LSM dan kelurahan, dicapai suatu kesepakatan untuk bekerjasama dan saling mengisi tugas dan tanggung jawab masing-masing unsur yang terlibat sesuai dengan fungsi dan peran masing masing.

Seleksi Petugas Pendamping, dicapai kesepakatan bahwa 2  pendamping   dari Yayasan Bina Vitalis dan 1 (satu) orang dari Dinas Sosial Tingkat I Palembang.
Penentuan Lokasi dan Responden
Penentuan lokasi penelitian ditetapkan di Kelurahan 10 dan 13 Ilir Kota Palembang. Sementara calon sasaran  pemberdayaan ditetapkan sesuai  kriteria (hasil penelitian Th 2002)

Persiapan Administrasi dan Sarana Pendukung

Dalam persiapan administrasi, menyangkut honor pendamping, fasilitator, termasuk semua pembiayaan selama pelaksanaan PRA telah diatur secara seksama. Sementara itu sarana pendukung alat tulis telah disiapkan peneliti. Tempat pelaksanaan FGD dilakukan di aula Dinas Sosial Palembang, sedangkan pelaksanaan PRA dilakukan di Kelurahan 13 Ilir.
Proses persiapan pemberdayaan di Yogyakarta
Pertemuan Koordinasi, dengan berbagai instansi terkait yang akan terlibat dalam proses pemberdayaan warga migran. Dalam pertemuan kordinasi, materi yang dibahas adalah rencana pemberdayaan yang meliputi: 1). Pelaksana pemberdayaan (fasilitator dan pendamping.2).Proses pemberdayaan. 3).Materi 4). Waktu dan tempat pemberdayaan
Pemantapan fasilitator
Pemantapan fasilitator bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang pendekatan metode dan materi pemberdayaan serta pembagian tugas diantara pendamping dan fasilitator. Adapun pembagian tugas fasilitator dilakukan  sebagai berikut:
¨       Dinas Sosial DIY memberikan materi tentang permasalahan kesejahteraan Sosial khususnya permasalahan sosial migran dan upaya penanganannya.
¨       Camat Umbulharjo memberikan materi tentang kebijakan pemerintah daerah ditingkat kecamatan terutama dalam mengelola lingkungan.
¨       Lurah Warungboto menyampaikan masalah kependudukan dan sanitasi lingkungan.
¨       LSM memandu diskusi kelompok.
¨       Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan pemberdayaan.
Penyiapan Lokasi dan Peserta
Kesepakatan disetujui kegiatan dilakukan di  kelurahan Warungboto. Kemudian penyiapan peserta dilakukan oleh bapak Lurah beserta LSM bina Swadaya. Peserta berasal dari RT 37 dan 39, sesuai  hasil penjajakan dan pendataan yang dilakukan pada tahun 2002, namun sebagian diantaranya  orang baru yang disepakati oleh masyarakat setempat.
Proses Pelaksanaan Kegiatan  Partisipatory Action  Researh (PRA)
Proses pelaksanaan pemberdayaan diawali dengan dinamika kelompok,diikuti dengan“Proses menemukenali permasalahan, potensi, kebutuhan  dan menyusun rencana kegiatan”.
Kegiatan PRA di  Kelurahan  Pakis Surabaya

a. Menemukenali Masalah Yang Dihadapi

 Kegiatan ini merupakan langkah awal yang dilakukan para migran dalam menuju keberdayaan. Sebelum migran menentukan hidupnya di masa yang akan datang, maka mereka perlu menyadari dan mengetahui permasalahan yang mereka hadapi, yang bisa menghambat upaya keberdayaan, dengan difasilitasi fasilitator (peneliti), bersama-sama mengungkap permasalahan yang dirasakan dan dialami migran. Hasil yang diperoleh mencakup permasalahan: Perumahan, Modal, Kesehatan, Pendidikan dan Pekerjaan. Adapun prioritas   masalah, didominasi masalah modal (17 suara). Mereka juga mengeluhkan belum memiliki rumah,  tinggal di rumah kontrakan 4 x 3 meter, dihuni oleh  keluarga kadang ditambah dengan keluarga lain. MCK ada diluar, bersama-sama dengan 6 keluarga pengontrak lainnya. Satu masalah yang muncul saat FGD, umumnya migran menempati wilayah jalur hijau.
b.  Menemukenali Potensi yang Dimiliki
Potensi yang dipotret dalam penelitian ini adalah lembaga sosial, dengan asumsi organisasi lokal merupakan suatu wadah bagi kaum migran untuk ikut terlibat (partisipasi) dalam kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal mereka. Melalui fasilitasi organisasi tersebut, diharapkan migran akan memperoleh kemudahan untuk mengakses informasi yang dibutuhkannya atau mengakses dunia luar yang tidak bisa mereka jangkau secara individu.
Potensi yang berhasil dipotret oleh migran adalah Kelompok Gang Omplong mendeteksi:arisan, yasin al ichlas, kelompok arisan, Posko PDI,  YLWD. Sedang kelompok Mandiri mengenali Kelompok arisan, Majelis taklim, Posyandu dan Kelompok Senam.
Potensi  yang miliki, adalah ketrampilan dan keahlian yang dimiliki oleh para migran. Adapun potensi pribadi/individu yang bisa dipotret adalah: Keahlian bangunan, menjahit, membuat kue, perbengkelan, elektro, dan sari dele. Sedang kelompok Mandiri memiliki ketrampilan membuat kopi jagung, kacang godok, jualan sayur, mengelas,dan memotret.
 c.  Menggali Kebutuhan dan Usaha Yang Diminati
Berdasarkan kepada permasalahan dan potensi yang dimiliki,para migran menemukan kebutuhan dan menyusun usaha sesuai dengan potensinya. Usaha ini disusun secara bersama dalam suatu kelompok. Kelompok dibentuk berdasarkan potensi dan kedekatan tempat tinggal. Berdasarkan hasil pengelompokkan tersebut, maka diperoleh Kelompok Pertukangan, kelompok  Penjahit, Kelompok berjualan.
 d.  Menyusun Rencana Kegiatan Usaha
Setiap kelompok berdiskusi ditemani oleh seorang fasilitator, yang  memberi dukungan, bahwa migran itu memiliki kemampuan, kekuatan, dan mampu menyusun rencana usaha sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak luar.
Hasil diskusi munculah nama kelompok dan rencana kegiatan untuk masing-masing kelompok. Kegiatan selanjutnya ,merumuskan lingkaran sukses,untuk menghasilkan pengertian sukses dari kegiatan yang direncanakan. Hal ini diikuti, mengnganalisis kondisi objektif
Tahap ini mengidentifikasi kenyataan yang ada saat rencana dibuat, atau analisis SWOT. Kegiatan dilanjutkan dengan Membangun komitmen, atau janji hati. Hal tersebut diikuti dengan Menyusun langkah-langkah kegiatan. Langkah ini bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan, yang dibutuhkan untuk merealisasikan dan mencapai kesuksesan usaha. Apabila kegiatan sudah teridentifikasi, berarti migran telah memiliki AGENDA KEGIATAN. Kegiatan diikuti dengan.Menyusun jadwal dan kegiatan. Untuk memudahkan penyusunan jadwal dan penugasan dibuat TABEL KALENDER KEGIATAN untuk dijalankan sesuai dengan jadwal kegiatan.
Proses kegiatan PRA di Kel. 10 dan 13 Ilir Palembang
Pelaksanaan PRA dalam konteks pemberdayaan migran ada 4 faktor sbb:
a.   Menemukenali Permasalahan yang Dihadapi
Berdasarkan penggalian bersama diketahui permasalahan yang dihadapi saat ini, dalam proses menemukenali permasalahan ini terungkap berbagai permasalahan seperti anak, LU, keterlantaran atau anak putus sekolah, namun pada intinya menyangkut permasalahan sosial ekonomi.
b.   Menemukenali potensi yg dimiliki
Potensi yang ada pada diri mereka sendiri meliputi keterampilan: seperti keterampilan menjahit, berdagang dan lan-lain. Sedangkan potensi dari luar diri mereka meliputi potensi lingkungan alam,juga sistem sumber yang bisa dimanfaatkan seperti koperasi, pasar, orsos,  bank keliling dan sebagainya.
c.   Menggali kebutuhan usaha yang diminati
Pada kasus Palembang, Kelompok Sedap Malam, memiliki kegiatan usaha berdagang kue dan Kelompok Jaya Bersama  mempunyai kegiatan usaha menjahit. Langkah kedua peserta pemberdayaan membentuk lingkaran suskes  diperoleh jawaban yang  bervariasi, seperti  menabung,  menyekolahkan anak, dan kebutuhan keluarga lainnya. Selanjutnya adalah analisa SWOT, yang tercermin dari jawaban mereka berupa kemampuan dan keterampilan, Untuk peluang umumnya pemanfaatan uang bantuan stimulan  akan dimanfaatkan secara sungguh sungguh. Sementara kelemahan yang ada umumnya adalah banyaknya kesulitan dalam keluarga. Terakhir membangun komitmen atau janji hati, Jawabannya  menyumbang mesin jahit, menyumbang bahan/alat, tenaga, modal, dan lain-lain.
d.   Menyusun Rencana Kegiatan Usaha
Langkah-langkah yang ditempuh, Kelompok penjahit belajar menjahit, mencari tempat, mencari modal, mencari bahan. Bidang usaha membuat kue/dagang kue, dengan cara mencari tepung terigu, mencari modal usaha, mencari tempat dan sebagainya.
e.   Pemberian Stimulan
Proses pemberian bantuan stimulan dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama.  Dana Stimulan  Rp.10.000.000 untuk dua kelompok. Masing-masing anggota kelompok menandatangani Rp.500.000,- diperoleh kesepakatan dana stimulans  dikelola oleh Yayasan Bina Vitalis. Bantuan diserahkan oleh peneliti dalam bentuk uang cash. `          
Proses kegiatan PRA di Kel. Warung Boto Yogyakarta
Pelaksanaan pemberdayaan dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion). Diskusi difasilitasi oleh LSM dibantu oleh peneliti. Kegiatan PRA ini menggambarkam bahwa migran yang diberdayakan ikut berpartisipasi secara penuh dalam  kegiatan dinamika kelompok.
a.   Menemukenali Permasalahan Migran
Dari berbagai permasalahan tersebut diprioritaskan kepada permasalahan yang urgen dan mendesak. Dari hasil diskusi dirumuskan bahwa permasalahan yang dialami migran adalah: kekurangan modal, kekurangan alat-alat untuk usaha, kurangnya kemampuan dalam memasarkan hasil usaha dan kurangnya pengetahuan tentang manajemen usaha..
b.   Menemukenali potensi yang miliki.
hasil diskusi ditemukan potensi yang mereka miliki adalah kemampuan-kemampuan dibidang: Berdagang atau berjualan, Kerajinan (alat musik dan sepatu), Mekanik, Memasak, Menjahit dan Berternak
c.   Menggali kebutuhan usaha
Berdasarkan kemampuan yang mereka miliki, jenis usaha yang dipilih untuk dikembangkan adalah sebagai berikut : Perdagangan, Kerajinan sepatu, Perternakan, Penjahitan dan Perbengkelan
d.  Menyusun rencana kegiatan
 Dalam diskusi masing masing kelompok ditemani oleh seorang fasilitator namun fasilitator tidak boleh mengintervensi fikiran dan hasil pemikiran kelompok, Mereka bersepakat untuk melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri, sesuai keterampilan masing masing, tetapi fungsi kelompok sebagai pengelola administrasi keuangan.
e.  Pemberian Stimulan
Pembagian dana stimulan dan penggulirannya akan diatur oleh hasil musyawarah antara ketua kelompok dan pendamping. Bantuan stimulan diserahkan peneliti dalam bentuk cash.
f.   Proses Pelaksanaan Pendampingan
Pendampingan mengandung makna sejajar antara yang mendampingi maupun yang didampingi, sehingga unsur kesetaraan menjadi penting dalam pelaksanaan ini. Pendampingan juga menyatakan dekat atau kedekatan antara yang didampingi dan yang mendampingi, oleh karena itu diharapkan kehadiran pendamping untuk eksis di lapangan terutama di saat-saat anggota kelompok membutuhkan bantuan, konsultasi maupun bimbingan, agar kelompok dapat berjalan terarah dan mencapai tujuan bersama.

Pelaksanaan pendampingan di Kel.  Pakis Surabaya
Kegiatan pendampingan di Surabaya, dilakukan oleh LSM  Yayasan Widya Dharma. Selama program pemberdayaan  berlangsung,  sudah 3 (tiga) kali dilakukan pendampingan. Meski demikian tampaknya kegiatan pendampingan masih diarahkan kepada Usaha Ekonomis Produktif (UEP), sementara kegiatan yang bersifat Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), belum banyak dijangkau.
Program Usaha Kesejahteraan Sosial yang dibicarakan dalam pelaksanaan pendampingan menurut responden cukup  beragam, tetapi terbanyak menyebutkan masalah sosial dalam kehidupan sehari hari, kemudian masalah kemiskinan, bimbingan kelompok. dan bimbingan sosial. Metode atau tehnik pendampingan yang digunakan dalam program sosial adalah ceramah dan diskusi baik diberikan secara individu maupun secara kelompok.
Manfaat yang dirasakan dengan adanya program ini, dalam kehidupan para migran  adalah :
¨       .Bimbingan Individu, menambah pengetahuan tentang Masalah Individu, keluarga dan Lingkungan. Juga menambah pengetahuan tentang Simpan Pinjam.
¨       Bimbingan Kelompok, menambah pengetahuan tentang kerjasama yang baik terutama dalam penulisan laporan keuangan.
¨       Bimbingan Sosial, Menambah pengetahuan tentang kerukunan hidup bermasyarakat, paguyuban dll.
¨       Penyuluhan kebersihan dan kesehatan.
¨       Motivasi, keinginan untuk maju.
¨       Kehidupan keluarga mampu mengatasi permasalahan keluarga.
¨       Kehidupan Kelompok dapat bekerjasama dengan baik.
¨       8. Kehidupan Lingkungan terbinanya kerukunan hubungan antar tetangga.
¨       Langkah-langkah mengatasi musyawarah dengan anggota kelompok.
¨       Masalah Kemiskinan terbantu dengan adanya pengguliran dana.
Masalah kesejahteraan sosial yang ada dilingkungan migran menurut mereka cukup beragam. terbanyak permasalahan anak terlantar, berikut anak jalanan, narkoba, penyandang cacat, Wanita tuna susila, Lanjut usia dan fakir miskin. Adapun masalah yang pernah ditangani, yaitu a). Masalah Anak terlantar melalui program bea siswa b). Fakir miskin dengan pemberian makanan tambahan terutama Balita,  pengobatan gratis dan bantuan sembako/beras murah. Adapun pihak pihak yang menangani dari Pemerintah,  Dinas Sosial Propinsi, dari masyarakat LSM YWFP ( World Fund Program). Sementara Potensi dan Sumber kesejahteraan Sosial yang ada di lingkungan migran meliputi organisasi sosial dan karang taruna. Metode yang ditempuh dalam pendampingan program UKS sering memberikan penyuluhan sosial melalui ceramah dan diskusi. Tehnik bimbingan  diberikan baik secara individu maupun kelompok.
a.   Usaha Ekonomis Produktif (UEP)
Program UEP, diberikan melalui pengelolaan pembukuan kelompok, pengelolaan bantuan stimulans, kewirausahaan, peningkatan SDM dan rencana usaha. Metode yang digunakan berupa diskusi kelompok. Manfaat Bimbingan Usaha ekonomis produktif menurut sebagian besar migran adalah: menambah wawasan pengelolaan bantuan stimulan. Adapun bantuan stimulan yang diterima semua anggota dalam bentuk uang Rp.500.000,- pada setiap responden, ada  satu orang anggota yang hanya membutuhkan uang  Rp.300.000,- disimpan pada koperasi Yayasan Widya Darma.
Pelaksanaan Pendampingan di Kelurahan 11 dan 13 ilir Palembang
a.   Kondisi Awal Pendampingan
Pada awal pendampingan tidak ada masalah yang mendasar, terutama dalam memberikan motivasi kepada kelompok  dalam menjalankan usaha mereka. Yang menjadi masalah sebagian dana stimulan yang seharusnya menjadi modal usaha mereka masih tersimpan dalam kas koperasi LSM
Lain dari pada itu tampaknya para pendamping kurang mempersiapkan diri untuk melakukan tugas-tugas pendampingan akan tetapi menerima tugas tersebut. Meskipun pendamping sebulan sekali selalu memberikan pengarahan dan motivasi kepada kelompok pemberdayaan dalam menjalankan usaha mereka namun intensitas pendampingan dianggap masih belum optimal. Hal ini bisa terjadi karna berbagai faktor, antara lain rendahnya pemahaman pendamping dalam mengartikulasikan maksud dan tujuan pemberdayaan serta kurang respon dan partisipatif dalam mengikuti training pemberian materi pemberdayaan. Sehingga  pada saat  pelaksanaannya pendamping   mempersilahkan peneliti melakukannya .
b.   Perkembangan  Stimulans Bergulir
Pelaksanaan pemberian bantuan stimulan bergulir tidak berlangsung seperti apa yang dijelaskan pada konsep awal dimana masing-masing anggota kelompok pemberdayaan memperoleh sebanyak Rp.500.000, sebagai modal usaha dan menjadi dana bergulir pada waktu yang telah ditentukan ( Revolving Fund ).
  Dalam pelaksanaannya dana stimulan dimasukkan terlebih dahulu ke Koperasi Simpan pinjam, selanjutnya dibagikan kepada anggota kelompok tidak merata, dan sisanya  sisanya dimasukkan kembali ke koperasi. Pada saat monitoring diketahui dana stimulan yang diberikan terrendah  Rp.300.000, tetapi ada juga yang menerima Rp.1.500.000,-. Sampai dengan Nopember 2003 masih ada 5 anggota yang  belum menerima  stimulan dan menurut pendamping akan diberikan saat hutangnya lunas, bulan Desember 2003. 
c.   Materi, Tehnik dan Respon Terhadap Pendampingan
Materi pendampingan yang diberikan lebih banyak mengarah kepada Usaha Ekonomis Produktif ( UEP ) dari pada Usaha Kesejahteraan Sosial, Ini bisa terjadi karna pendamping bukan berlatar belakang pendidikan Pekerjaan Sosial. Tehnik yang digunakan adalah  diskusi dan sarasehan.  Melalui kunjungan langsung maupun tak langsung. Dalam hal ini pendamping belum  memperkenalkan kepada akses/ ke sumber lain  kecuali ke Yayasan Bina Vitalis  Pendamping tampaknya lebih berkonsenterasi kepada pembahasan aturan main koperasi simpan pinjam. Respon masyarakat  terhadap pendampingan ini cukup positif, mereka menghendaki  agar frekuensi dan intensitas pendampingan ditingkatkan .
d.   Perkembangan Proses Pendampingan
Dalam perkembangannya kegiatan pendampingan tidak mengalami perubahan yang berarti,  kurangnya pemahaman tentang tujuan pemberdayaan sehingga berpengaruh terhadap tugas-tugas pendampingan. Sementara itu kendala yang berasal dari kelompok pemberdayaan adalah rendahnya tingkat pendidikan anggota  sehingga sulit dan lambat menerima materi pemberdayaan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang datang dari kelompok pemberdayaan  menurut pendamping adalah terus melakukan pembinaan dan memberikan motivasi secara berulang-ulang. Faktor-faktor yang mendukung dalam kgiatan pendampingan adalah adanya kerjasama dengan aparat setempat, terutama Lurah, adanya respon dan partisipasi dari anggota kelompok dan adanya kredit simpan pinjam sebagai wadah pembinaan migran.
Pada saat evaluasi terhadap pelaksanaan pendampingan diketahui bahwa terjadinya perbedaan jumlah dana stimulans bagi kelima anggota masih mempunyai hutang di koperasi  dan akan berakhir pada bulan Desember 2003. Sejalan dengan fakta tersebut, Kepada Yayasan Bina Vitalis disarankan untuk kembali kekonsep awal.
 Pelaksanaan Pendampingan di Kel. Warung Boto Yogyakarta
a.    Kondisi awal Pendampingan
Belum mampu merumuskan kegiatan. Banyak sekali terdapat “usulan-usulan” pendapat dan keinginan yang muncul dari calon anggota. Kesepakatan yang bisa diambil bahwa mereka akan membentuk kelompok kegiatan ini berfungsi sebagai media pengembangan kegiatan usaha sebagai modal awal. Prinsip yang disepakati lainnya adalah bantuan stimulan diberikan untuk wilayah/komunitas dan penerima manfaat pertama memiliki kewajiban menggulirkan kepada warga lain, dengan mekanisme pengelolaan secara kelompok.        Agar pemberian bantuan dapat segera direalisir, maka pendampingan harus diarahkan kepada terbentuknya organisasi KUW “TRI ASTHA”. Terbentuknya susunan pengurus, adanya kesepakatan tentang aturan main yang harus dipatuhi dalam kelompok.
 Pendamping, tetap pada persepsi bahwa pendampingan sifatnya tidak mengajari atau lebih pintar sehingga pada saat sudah diserahkan kepada kelompok mereka tidak berinteraksi. Pemahamannya merupakan hak kelompok sepenuhnya, sehingga nampak kurang aktif, walaupun sudah 3 kali pertemuan anggota.  Situasi demikian membawa pengaruh bantuan stimulan dipahami sebagai hibah, tanpa pertanggung jawaban dan pengembangan sehingga pengguliran dimaknai dengan pengumpulan dana Rp. 50.000,- oleh anggota kelompok. Secara rinci disepakati sebagai berikut: bantuan kepada setiap anggota kelompok masing-masing Rp. 500.000,- disepakati aturan main penggunaan dan stimulan sebagai berikut :10 % yang diterima sebagai  cadangan KUW, 10 % untuk saham kebesertaan pada KUW, 1,5 % dari anggota kelompok untuk administrasi KUW, Iuran wajib tiap bulan anggota Rp. 5.000,-, Simpanan sukarela dan Jasa pinjaman 1 % flat/bulan. Sehingga masing-masing anggota menerima Rp. 435.000,- . yang dituangkan dalam kesepakatan tertulis dalam KUW (Kredit Usaha Warga “TRI ASTHA”)
b.   Perkembangan Pendampingan 
Sampai dengan kegiatan monitoring belum banyak disinggung tentang Peksos pendampingan masih berkisar masalah pemberian stimulan bergulir, walaupun  nampak mulai dituangkan dalam laporan bulanan. Perkembangan mulai terlihat setelah monitoring pendamping mulai aktif, mengisi kegiatan pendampingan bersama anggota  secara lebih berarti. Pelaksanaan pendampingan berupa pemberian pelayanan kepada kelompok pemberdayaan baik langsung maupun tidak langsung. Adapun strategi pendampingan, mencakup :
¨       Pelatihan perencanaan bersama.
¨       Bimbingan dan konsultasi, baik kunjungan langsung maupun tidak langsung.
¨       Pembentukan dan penguatan organisasi pengelola (CBO) Community Base Organization.
 Dalam kegiatan bimbingan dan konsultasi dilakukan secara langsung kepada kelompok maupun kepada individu. Bimbingan kelompok lebih ditekankan pada partisipasi anggota kelompok dan pelaksanaan kegiatan secara bertahap maupun kontrol intern agar berjalan sebagaimana mestinya dan tidak keluar dari relnya.
c.   Materi pendampingan
Pengembangan program pemberdayaan selanjutnya di luar panduan yang tertuang dalam modul. Pelatihan juga ditujukan kepada kelompok maupun kepada perorangan. Pelatihan kepada kelompok atau untuk fungsionaris CBO mencakup : manajemen kelompok, manajemen keuangan dan perkreditan, pengembangan usaha kecil dan administrasi pembukuan yang terkait dengan peningkatan usaha, termasuk peningkatan/mengaitkan akses kepada sumber agar usaha dapat berkembang.
d.   Hasil yang Dicapai Secara Normatif
Dalam proses pemberdayaan menurut DR.Hary Hikmat, MSi (1999), ada empat norma yang harus dilihat yaitu: 1. Partisipasi, 2. Pendelegasian wewenang, 3. Peningkatan kapasitas dan 4. Pendayagunaan potensi lokal. Keempat norma tersebut  dapat dikemukakan sebagai berikut.

¨       Partisipasi anggota warga peserta pemberdayaan nampak sangat tinggi, hal ini  dapat diamati saat dilakukan kegiatan PRA, sampai dengan kegiatan pemberian stimulan. Dalam proses pendampingan juga menunjukkan fakta yang sama, artinya partisipasi mereka sangat tinggi, walaupun terdapat beberapa anggota yang tidak hadir. Namun yang penting dalam mengerjakan pekerjaan adanya sistem saling membantu yang sudah disepakati bersama. Partisipasi juga tampak dalam kegiatan kemasyarakatan maupun dalam kegiatan kelompok pemberdayaan, sekalipun dalam bentuk bahasa yang sangat sederhana, bahkan bahasa isyarat mereka memberikan andil dalam kebersamaan dalam kelompok.
¨       Peningkatan kapasitas diperoleh melalui proses kegiatan PRA, bimbingan, pendampingan, dan kegiatan dalam kelompok yang berkelanjutan. Dalam semua proses kegiatan ini telah terjadi proses pematangan sekaligus peningkatan kapasitas baik secara pribadi maupun secara kelompok.
¨       Pendelegasian wewenang, diperoleh melalui kebersamaan dalam proses kegiatan pemberdayaan, mulai dari pemahaman tentang permasalahan yang dihadapi, potensi yang dimiliki, kebutuhan usaha, dan menyusun rencana kegiatan. Semua ini dilakukan melalui partisipasi anggota yang kemudian ditindak lanjuti melalui proses pemberdayaan selanjutnya.
¨       Pendayagunaan potensi lokal,  belum dapat dilakukan secara maksimal, nampaknya masih dibutuhkan waktu dan kerja sama dari semua fihak yang terkait dalam rangka memanfaatkan potensi masyarakat/organisasi lokal, agar migran dapat turut serta memanfaatkan fasilitas bersama yang berada di lingkungannya.

III. PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa  Model pemberdayaan yang efektif  pada hakekatnya memerlukan :
¨       Koordinasi dengan semua pihak yang terkait mulai dari tingkat pusat sampii dengan tingkat pelaksana di lapangan yang paling bawah, sebagai entri point terlaksananya proses pemberdayaan dengan baik.
¨       Pemberdayaan harus memiliki tujuan yang jelas, yang dituangkan dalam modul, dan disosialisasikan kepada semua fihak, baik pejabat dari instansi  terkait, pelaksana di lapangan termasuk anggota masyarakat yang diberdayakan. Hal ini sebagai acuan dan pegangan semua pihak sehingga proses pemberdayaan tidak keluar dari tujuan yang benar.
¨       Kriteria petugas ( fasilitator, pendamping ) harus jelas , dengan kualifikasi, tugas, hak, kewajiban dan sangsi yang jelas yang  tertulis dan disosialisasikan kepada semua fihak yang akan melakukan tugas. Kepada pendamping diberikan pelatihan  terlebih dulu  sebelum melakukan tugas pendampingan.
¨       Dalam proses pemberdayaan, program dan tahapan kegiatan disusun secara rinci dan jelas, serta mudah di pahami oleh petugas. Karena hal ini sangat membantu kelancaran pelaksanaan pemberdayaan yang melibatkan berbagai fihak yang terkait, terutama petugas di lapangan, yang bukan berlatar belakang pendidikan Pekerjaan sosial.
¨       Petugas pendamping sangat menentukan keberhasilan proses pemberdayaan. Penguasaan materi pemberdayaan secara baik sangat membantu kemajuan kelompok dalam mencapai keberdayaan.
Rekomendasi
Agar pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif, koordinasi antar instansi terkait harus dilakukan secara konsekuen dan berkelanjutan, sampai tujuan tercapai.
¨       Model pemberdayaan dapat dilakukan secara efektif bila semua tahapan yang tertuang dalam model, kriteria dan persyaratan dapat dipenuhi dan dilakukan secara bertanggung jawab.
¨       Pentingnya peran pendamping di lapangan, harus didukung dengan penguasaan materi pendampingan melalui kegiatan pelatihan pendamping.
¨       Sasaran program harus jelas, terinci  dan tepat, yang di tuangkan dalam modul dan disosialisasikan ke semua yang terkait.
¨       Kegiatan pemahaman warga yang diberdayakan seharusnya dilakukan melaui partisipasi, ( dari, oleh dan untuk mereka). Untuk mengetahui permasalahan  yang di sandang, potensi, kebutuhan, menyusun rencana kegiatan usaha, dan kesempatan untuk meningkatkan sumber daya agar mereka turut bertanggung jawab mencapai keberhasilan pemberdayaan.

   








DAFTAR PUSTAKA




Badan Litbang Kesejahteraan Sosial. (1996). Penelitian Penanganan Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta.
---------, (1996). Pengkajian Efektivitas Kelompok Usaha Bersama Pada Program Bantuan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin, Jakarta.
Balatbang Kesejahteraan Sosial dan PUS Universitas Gajah Mada. (1998/1999). Uji Coba Program Kesejahteraan Sosial Nelayan Miskin, Jakarta.
Bambang Shergi Laksono. (1996). Kebijakan Pembangunan Sosial di Indonesia (Fokus pada Program Penanganan Kemiskinan). Makalah Seminar Dampak Penyusunan Kebijakan Makro Ekonomi Terhadap Pembangunan Kesejahteraan sosial, Jakarta.
Coleman, J.W. dan Donald R. Creassy. (1984). Social Problem, New York: Harver and Ropublicer.
Chris Manning dan Tadjuddin Noor Efenddi. (1985). Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal Kota, Jakarta: Gramedia.
Dwi Heru Sukoco, (1993), Profesi pekerjaan sosial dan proses pertolongannya, STKS,Bandung.
Friedlander, Walter A dan Apte, Robert,Z,l982, Introduction to Social Welfare, Prentice-Hall of India Private Limited, New Delhi.
Harry Hikmat. (2001). Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama Press.
Indrasari Tjandraningsih. (1995). Pemberdayaan Pekerja Anak: Studi Mengenai Pendampingan Pekerja Anak, Bandung: Yayasan Akatiga.
Isbandi Rukminto Adi. (2001). Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat, dan Intervensi Komunitas, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Koesnaka Adimihardjo dan Hery Hikmat. (2001). PRA. Participatory Research Appraisal, Dalam Pelaksanaan Pengabdian Kepada Masyarakat, Bandung, Humaniora Utama Press.  
Puslitbang Kesos. (2001). Penelitian Masalah Migran di Perkotaan, Jakarta.
-----------------------. (2002). Penelitian Konsep Pola Pemberdayaan Migran di Kota-kota Besar di Indonesia, Jakarta.
Ruaningsih Djohan. (1996). Berbuat Bersama Berperan Setara, Bandung, Driyamedia.
Soetarso. (1990). Praktek Pekerjaan Sosial dan Pembangunan Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat, STKS. Bandung
Undang-undang Nomor 6 Tahun l974 tentang  Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

 

 

 

 














BAB 6


KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA

KOMUNITAS ADAT TERPENCIL



I.    PENDAHULUAN

Komunitas Adat Terpencil  (KAT) merupakan salah satu permasalahan kesejahteraan sosial di Indonesia yang memerlukan perhatian semua pihak. Jumlah mereka masih cukup besar, tersebar di lokasi yang relatif sulit dijangkau, dan pada umumnya jauh tertinggal secara ekonomis maupun sosial budaya dibandingkan warga negara lainnya. Mereka itu adalah sebagian warga negara yang memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Pada tahun 2002, Departemen Sosial mencatat jumlah KAT sebanyak 240.286 KK atau 1,3 juta jiwa yang tersebar di 25 propinsi. Dari jumlah tersebut yang sedang dalam proses pemberdayaan sebanyak 5.668 KK di 23 lokasi. Dengan demikian jumlah seluruh KAT yang belum diberdayakan sebanyak 236.618 KK. Khusus pada tiga lokasi penelitian, di Jawa Barat 927 KK (4.635 jiwa) termasuk di dalamnya Suku Naga di Tasikmalaya sebanyak 104 KK (1520 jiwa); di Jawa Tengah sebanyak 1.930 KK termasuk 174 KK (624 jiwa); dan di Jawa Timur sebanyak 622 KK atau 3.110 jiwa, termasuk di dalamnya 162KK/810 jiwa Suku Osing di Banyuwangi  (Ditjen Dayasos - Depsos, 2002).
KAT menjalani kehidupan dalam kekhasan secara sosial budaya, sehingga mudah dibedakan dengan masyarakat yang relatif lebih maju. Karakteristik umum yang melekat pada mereka ini, yaitu berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen; pranata sosial bertumpu pada kekerabatan, terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau, hidup dengan sistem ekonomi subsisten, menggunakan peralatan dan teknologi sederhana, ketergantungan pada lingkungan alam setempat relatif tinggi, dan terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik (lihat Keppres No. 111/99).
Untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan, maka diperlukan upaya pemberdayaan sosial bagi KAT tersebut. Oleh karena KAT memiliki kekhasan, maka diperlukan studi kasus dalam rangka mendalami kehidupan sosial budaya KAT (Suku Osing). Melalui studi ini, maka akar permasalahan, potensi dan sumber dalam sistem kehidupan sosial budaya Suku Osing dapat diperoleh, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam merancang model pemberdayaan yang sesuai kebutuhan bagi mereka.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, permasalahan penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, yaitu (1) bagaimana substansi unsur-unsur kebudayaan Suku Osing? dan (2) bagaimana implikasi unsur-unsur perubahan sosial terhadap keberfungsian sosial Suku Osing? Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, tujuan penelitian adalah (1) diperolehnya deskripsi tentang substansi unsur-unsur kebudayaan Komunitas Adat Terpencil (bahasa, religi, nilai/adat istiadat,  mata pencaharian, kesenian, dan politik) dan (2) diperolehnya deskripsi tentang implikasi unsur-unsur perubahan dengan keberfungsian sosial Komunitas Adat Terpencil.
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu (1) manfaat praktis, memberikan masukan bagi instansi sosial pusat (Depsos – Ditjen Dayasos) dan daerah (propinsi dan kabupatan/kota), sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan dan program pemberdayaan sosial Komunitas Adat Terpencil; dan (2) manfaat teoritis, menambah kepustakaan (konsep-konsep) tentang Komunitas Adat Terpencil, khususnya tentang Suku Osing di Jawa Timur.

Metode Penelitian
Penelitian ini sifatnya deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dengan memperhatikan karakteristik responden yang homogen, maka untuk masing-masing Propinsi ditentukan sebanyak 20 orang (KK) sebagai sampel yang diperoleh melalui teknik random sampling. Dalam penelitian sampel ini akan digunakan data demografi yang tersedia di RT/RW, Dusun atau Kantor Desa. Selain itu, dipilih sumber data dari unsur tokoh masyarakat setempat, tokoh adat dan tokoh agama  sebanyak 5 orang, serta unsur pemerintah desa 2 orang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pekerjaan sosial, yang memusatkan pada aspek keberfungsian sosial KAT. Implementasi dari pendekatan pekerjaan sosial ini adalah mensinergikan perspektif antropolgi budaya, sosiologi dan ilmu sosial lain yang relevan.  Karena itu, unsur-unsur kebudayaan dan interaksi sosial serta situasi sosial yang mempengaruhi kehidupan KAT akan digunakan sebagai alat analisis dalam mendeskripsikan kehidupan sosial budaya mereka.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.  Selanjutnya teknis analisis datanya secara kualitatif, yaitu bentuk naratif tentang unsur-unsur kebudayaan dan deskripsi implikasi unsur-unsur perubahan terhadap keberfungsian sosial.
II.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dua variabel yang menjadi perhatian di dalam penelitian tentang Komunitas Adat Terpencil ini, yaitu “pemenuhan kebutuhan” dan “pertisipasi KAT dalam kegiatan sosial kemasyarakatan”.  Sehubungan dengan itu, dalam analisa dan pembahasannya akan dipusatkan pada kedua variabel tersebut. Di samping kedua variabel tersebut, penelitian juga mencoba mendeskripsikan unsur-unsur kebudayaan  pada tiga komunitas adat terpencil. Studi terhadap unsur-unsur kebudayaan dalam upaya memperoleh gambaran utuh tentang karakteristik komunitas adat terpencil di tiga lokasi. Dengan mengenali unsur-unsur kebudayaan ini, maka akan diperoleh informasi potensi mereka dalam upaya perubahan.

     Unsur-Unsur Kebudayaan

Secara antropologis bahwa manusia dengan kebudayaan ini bagaikan dua sisi dari mata uang. Karena itu, ketika membahas manusia, maka tidak dapat dilepaskan dengan kebudayaannya. Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan konseptual, bahwa secara universal manusia memiliki unsur-unsur kebudayaan yang terdiri dari :
¨       Sistem teknologi dan peralatan,
¨       Sistem mata pencaharian hidup,
¨       Kesenian,
¨       Bahasa,
¨       Sistem pengetahuan,
¨       Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
¨       Sistem religi dan upacara keagamaan.
Tata urut penulisan tersebut menggambarkan tingkat kemudahan untuk berubah. Dengan demikian sistem teknologi sebagai unsur kebudayaan yang paling mudah berubah atau dirubah, kemudian sistem mata pencaharian, kesenian dan seterusnya. Unsur kebudayaan yang paling sulit berubah atau dirubah, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan
Unsur-unsur perubahan tersebut secara antroplogis direduksi ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu (1) ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, (2) aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia. Kemudian di dalam perspektif sosiologis, yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, unsur-unsur kebudayaan tersebut direduksi ke dalam tiga unsur-unsur perubahan, yaitu menjadi (1) teknologi, (2) interaksi sosial dan (3) nilai-nilai. Dalam penelitian ini, unsur-unsur perubahan ini dikaitkan dengan variabel keberfungsian sosial KAT, sehingga akan diperoleh informasi sejauhmana implikasinya dalam kehidupan sosial budaya KAT.
Dilihat dari sistem teknologi dan peralatan, sebagian besar KAT baru mengenal teknologi sederhana, baik untuk aktivitas nafkah (pertanian sawah, kerajinan tangan, ladang) maupun untuk aktivitas kerumah tanggaan (alat memasak, alat penerangan dll). Meskipun di Gebang Sewu sudah dikenal traktor, namun hanya sebagian kecil warga yang mampu menggunakan (sewa). Untuk peralatan rumah tangga, KAT pada tiga lokasi sudah mulai mengenal peralatan memasak dan peralatan makan dari plastik dan aluminium (panci, gelas, piring, timba, penggorengan dll).  Analisis mendalam mengenai teknologi dan peralatan ini akan disajikan pada pembahasan tentang pemenuhan kebutuhan.
Jenis mata pencaharian KAT pada tiga lokasi, yaitu pertanian dan untuk Suku Naga di samping pertanian juga kerajinan tangan dari bambu. Untuk komunitas Gebang Sewu dan Suku Naga, mereka mengolah sawah, sedangkan Suku Osing mengolah tanah darat atau ladang (yang pada umumnya sebagai penggarap).  Aktivitas nafkah mereka, tidak mampu memenuhi kebutuhan sosial dasar, sehingga mendorong para pemudanya untuk merantau ke luar wilayah. Bahkan para pemuda dari Komunitas Gebang Sewu banyak yang merantau ke luar Jawa (Kalimantan dan Sumatra). Pendidikan yang rendah pada para pemuda perantau tersebut menempatkan mereka pada pekerjaan yang secara ekonomis kurang memberikan imbalan yang layak. Antara lain mereka bekerja sebagai buruh bangunan, buruh perkebunan dan buruh lainnya. Karena itu, kontribusi ekonomis para pemuda yang merantau tersebut tidak banyak merubah kondisi sosial ekonomis  keluarga di daerah asalnya.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat di luar komunitas, tampaknya cukup kuat memberikan pengaruhnya pada kesenian asli atau kesenian lokal. Kesenian khas seperti rebana (Osing dan Gebang Sewu), terbang gidur (Naga) saat ini sudah kurang dipelihara. Sebaliknya, masyarakat apabila melaksanakan hajatan menyewa “musik dari kaset recorder” atau “VCD”.  Karena itu, pendatang dari luar yang berharap dapat menyaksikan kesenian asli pada komunitas tersebut akan kecewa. Fenomena ini menggambarkan, kekayaan KAT yang khas pada tiga lokasi sudah diambang kepunahan. Musik tradisional yang sarat dengan syair-syair yang bersisi petuah-petuah tentang hakikat hidup dan kehidupan, sudah tidak terdengar lagi.  Karena itu, kepunahan kesenian tradisional, bukan semata-mata hilangnya kesenian masyarakat lokal, tetapi makin berkurangnya potensi sosial budaya masyarakat lokal secara luas. Pada Suku Osing di luar KAT, dikembangkan berbagai jenis kesenian, baik tarian maupun musik yang sudah dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan dunia musik.
Pada ketiga KAT, dalam percakapan sehari-hari masih sangat kuat menggunakan bahasa ibu. Untuk Suku Naga menggunakan bahasa Sunda, Komunitas Gebang Sewu menggunakan bahasa Jawa dan Suku Osing menggunakan bahasa Osing. Khusus untuk Suku Osing, berbeda dengan dua Kat lainnya, dalam percakapan sehari-hari tidak mengenal tingkatan bahasa. Dengan demikian, percakapan antara anak-orang tua dan sebaliknya menggunakan bahasa yang sama.
Pembahasan mengenai pengetahuan dilihat dari pendidikan masyarakat.  Pada umumnya, generasi tua KAT memiliki tingkat pendidikan sangat rendah. Sebagian kecil yang menamatkan SD, dan selebihnya tidak pernah sekolah. Sedangkan bagi anak-anak mereka, sudah mulai ada perkembangan dalam dunia pendidikan, di mana tidak jauh  dari permukiman mereka sudah di bangun  SD (+ 2 Km) dan SLTP (5 – 8 Km). Pada umumnya mereka memperoleh pengatahuan baru dari tokoh masyarakat (biasanya tokoh agama), aparat desa/dusun dan petugas lapangan dari instansi pemerintah (PLKB, PPL dll).
Sistem dan organisasi kemasyarakatan terkait dengan adat istiadat (hukum adat dan kebiasaan) yang sudah berlangsung sejak lama. Pada Suku Osing dan Komunitas Gebang Sewu, sudah tidak dikenal lagi ketua adat, lembaga adat dan hukum adat. Urusan terkait dengan kependudukan, sanksi dan aturan dalam kehdiupan masyarakat, sepenuhnya menjadi tugas dan kewenangan aparat desa. Sedangkan pada Suku Naga, masih terdapat lembaga adat, hukum adat dan ketua adat. Dengan demikian, masyarakat Suku Naga di samping mentaati aturan dan hukum serta hal-hal lainnya yang berasal dari pemerintah (desa/dusun), juga mentaati aturan dan hukum adat yang berlaku.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa KAT di tiga lokasi menganut agama Islam. Namun demikian, selain melaksanakan ibadah ritual wajib (sholat, pusat dll), mereka juga melaksanakan ritual yang dikaitkan dengan kepercayaan lokal. Pada Komunitas Gebang Sewu, pada waktu-waktu tertentu menyelenggarakan do’a bersama di bawah pohon Sepat. Demikian halnya dengan dua komunitas lainnya, mereka juga menyelenggarakan upacara selamatan dalam pendirian rumah, kelahiran, panen, dan tolak bala.  

Pemenuhan Kebutuhan
Dalam tinjauan konseptual, variable “pemenuhan kebutuhan”, di turunkan ke dalam sub-variabel, yaitu pemenuhan “kebutuhan pokok”, “kebutuhan psiko-sosial” dan “kebutuhan pengembangan”.
Secara ekonomis, komunitas di tiga lokasi masih terbatas dalam memenuhi kebutuhan sosial dasar, terutama untuk pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Hal ini berdasarkan temuan penelitian, dimana dilihat dari frekuensi  dan menu makanan yang dikonsumsi, jumlah pakaian yang dimiliki dan kondisi rumah tinggal,   belum mencerminkan kondisi yang layak. Kemudian terkait dengan permsalahan kesehatan, pada umumnya mereka belum membuang kotoran di WC. Mandi, cuci dan kakus (MCK) dilaksanakan di sungai dan atau sawah/ ladang. Kondisi ini menggambarkan, bahwa komunitas di tiga lokasi masih relatif rendah kesadarannya akan kesehatan keluarga dan lingkungannya.     
Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok ini, penelitian ini mencoba mencermati aspek teknologi, interaksi sosial dan nilai-nilai.  Khusus untuk peralatan memasak, Suku Naga dan Komunitas Gebang Sewu sudah mengenal kompor minyak. Dengan demikian, untuk keperluan memasak, mereka sudah mengkombinasikan antara bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar. Sedangkan pada Suku Osing masing menggunakan “pawonan” dengan bahan bakar kayu.
Peralatan lain, seperti untuk keperluan mencuci, menyimpan pakaian, merawat pakaian (termasuk setrika), pada Suku Naga dan Komunitas Gebang Sewu lebih maju dibandingkan dengan Suku Osing. Suku Osing, sebagaimana kedua komunitas lainnya sudah mengenal sabun mandi, sabun cuci (deterjen, rinso, dan untuk Suku Osing ada biji biru) dalam upaya perawatan pakaian. Namun demikian, pada umumnya mereka belum mengenal setrika.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok tersebut, pada umumnya mereka mengembangkan komunikasi dan interaksi sosial dengan komunitas dari luar atau etnis lain. Bentuk komunikasi dan interaksi sosial tersebut, dalam bentuk jual beli, atau bekerja pada etnis lain. Mereka sudah mulai menerima pengetahuan baru tentang kesehatan, pertanian dan keterampilan ekonomis dari instansi pemerintah terkait. Dengan demikian, mereka relatif sudah terbuka terhadap budaya orang luar. Hal ini, memungkinkan mereka untuk mengalami proses belajar sosial mengenai budaya dan pengetahuan baru dari komunitas luar. Keterbukaan terhadap budaya luar ini, merupakan kondisi yang dapat mendukung upaya perubahan pada komunitas. 
Pada komunitas di tiga lokasi, tidak ditemukan nilai lokal yang menghambat upaya pemenuhan kebutuhan pokok. Tidak ada pantangan atau aturan khusus bagi komunitas untuk mengkonsumsi makanan, memakai pakaian (pola, warna) membangun rumah (model). Begitu pula dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan, meskipun pada umumnya mereka memanfaatkan jasa dukun, tidak terkait dengan nilai lokal. Mereka memanfaatkan dukun, karena biayanya lebih murah dan mudah menjangkau karena dukun tersebut tinggal di lingkungannya. Sementara itu memperoleh pelayanan medis, mereka menempuh jarak yang cukup jauh. Karena tenaga medis tinggalnya di luar permukiman mereka.  
Dari analisa dan pembahasan temuan penelitian pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok ini,  diperoleh informasi bahwa “keterpencilan geografis” pada komunitas di tiga lokasi, menyebabkan mereka mengalami keterbatasan dalam mengakses pelayanan sosial dasar. Keterpencilan geografis ini juga menyebabkan potensi dan sumber daya lokal yang ada belum dapat dibudidayakan secara optimal. Akibatnya, komunitas pada tiga lokasi berada dalam lingkaran keterbatasan secara ekonomis maupun sosial budaya secara turun temurun.
Apabila memperhatikan unsur kebudayaan dan unsur perubahan yang ada pada mereka, upaya perubahan bagi mereka tidaklah sulit. Karena semua unsur yang ada pada umumnya cukup mendukung ke arah terjadinya perubahan. Untuk itu, perlu ditemukan sebuah celah masuk yang tepat bagi masing-masing komunitas disesuaikan dengan kondisi lokal.
Jenis kebutuhan kedua adalah kebutuhan sosial-psikologis. Jenis-jenis kebutuhan ini, yaitu pendidikan, rekreasi, transportasi dan interaksi sosial. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa pada umumnya untuk generasi tua pendidikannya sangat rendah. Sesuai dengan tingkat perkembangannya, pendidikan bagi mereka belum menjadi perhatian penting. Sebaliknya, mereka lebih berorientasi pada mencari nafkah. Namun demikian, sebagai akibat dari proses interaksi sosial dengan dunia luar, dan nilai lokal yang mendukung terhadap pendidikan formal, saat ini sudah mulai ada kemajuan dalam bidang pendidikan. Anak-anak mereka sudah disekolahkan pada lembaga pendidikan formal yang berada di luar dusun.
 Kemudian untuk kebutuhan rekreasi, yang paling sering dilakukan oleh komunitas di tiga lokasi, yaitu berkumpul bersama anggota keluarga. Bersama anggota keluarga, mereka dapat mencurahkan berbagai permasalahan, sehingga beban psikologis dapat dikurangi. Sebaliknya, bersama keluarga mereka dapat membagi kegembiraan. Meskipun, bentuk rekreasi yang dilakukan mereka relatif sederhana, namun bagi mereka nilai dan manfaatnya dapat mengurangi tekanan psikologis.
Kemudian mengenai transportasi, pada umumnya mereka tidak memilikinya. Untuk bepergian jarak dekat atau dalam lingkungan atau dusun, mereka berjalan kaki. Sedangkan itu, bepergian di luar dusun mereka menggunakan angkutan pedesaan roda empat atau ojek sepeda motor.
Selanjutnya mengenai interaksi sosial komunikasi, baik di dalam keluarga maupun dengan tetangga dan masyarakat luar pada umumnya baik. Untuk kepentingan ini, komunitas mengembangkan perkumpulan sosial lokal sebagai media untuk melaksanakan aktivitas bersama. Komunikasi dengan orang luar (etnis lain) pada umumnya baik, selama orang luar tersebut bermaksud baik. Mereka mau menerima pengetahuan baru dari masyarakat luar, meskipun berbeda etnis dan agama. 
Jenis kebutuhan terakhir adalah kebutuhan pengembangan, yang di dalamnya meliputi tabungan dan aksesibilitas terhadap informasi. Sebagian besar komunitas belum memiliki perhatian akan pentingnya tabungan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dengan kondisi ekonomis mereka yang sangat terbatas. Mereka tidak dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk tabungan, karena untuk mencukup kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah mengalami kesulitan. Karena itu, penghasilan mereka dikonsumsi habis, meskipun menurut mereka tabungan itu diperlukan pada situasi darurat.
Kemudian mengenai akses terhadap informasi, media yang paling banyak digunakan adalah pertemuan warga. Dalam pertemuan warga (seperti pada saat arisan, pengajian/ yasinan, undangan selamatan dll), terjadi penyampaian informasi dari warga atau tokoh masyarakat. Khusus untuk komunitas Gebang Sewu, selain pertemuan warga mereka memperoleh informasi dari media elektronik seperti TV dan radio. Hal ini menggambarkan, bahwa pada umumnya komunitas memanfaatkan media komunikasi tradisional. Dengan media ini, di samping lambatnya lalu lintas informasi sampai ke komunitas, juga terbatasnya informasi yang diperoleh oleh komunitas tersebut. Karena itu, informasi tentang kegiatan pembangunan dan hasil-hasil yang sudah dicapai dari aktivitas pembangunan itu, tidak banyak yang diketahui oleh komunitas pada tiga lokasi penelitian.
Partisipasi Masyarakat
Aspek atau variabel kedua dari konsep keberfungsian sosial  yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu partisipasi masyarakat (KAT) dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Partisipasi sosial masyarakat ini selanjutnya di turunkan ke dalam aspek atau sub variabel (1) pemeliharaan sumber daya alam, (2) pemeliharaan persatuan dan kesatuan, (3) kontrol sosial, (4) keamanan lingkungan, dan (5) pemeliharaan identitas komunitas.  
Komunitas Adat Terpencil (KAT) di tiga lokasi, memperlihatkan adanya ketergantungan pada sumber daya alam lokal. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini teramati dari jenis mata pencaharian penduduk di sektor pertanian. Khusus untuk Suku Naga, di samping bertani, mereka juga memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin anyaman bambu. Karena hidup dari alam sekitarnya, maka mereka berupaya untuk memelihara lingkungannya antara lain dengan mengolah sawah atau ladang dengan tanaman produktif, penghijauan, mempertahankan mata air sebagai sumber air utama yang dilakukan secara gotong royong.  Bagi mereka alam perlu terus dipelihara kelestariannya, karena telah memberikan kehidupan secara turun temurun.
Dilihat dari pola permukiman, pada umumnya mereka membangun tempat tinggal bergerombol yang terdiri dari 4 – 6 rumah, dan sebagian kecil yang terpencar-pencar.  Meskipun sebagian mereka tinggal berjauhan dengan yang lain, persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dengan baik. Bahkan dengan orang dari luar etnis mereka, persatuan dan kesatuan senantiasa terpelihara dengan baik. Berbagai instrumen yang sebagai mekanisme untuk memelihara persatuan dan kesatuan ini, seperti upacara barikan pada komunitas Gebang Sewu, majelis taklim dan selamatan dan pertemuan warga secara berkala pada ketiga komunitas. Dengan adanya berbagai instrumen tersebut, permasalahan yang bersumber dari kesalahpahaman antar warga masyarakat dapat diselesaikan secara kekeluargaan atau jalan damai.
Hidup di wilayah pedesaan yang tidak luas, dengan penduduk yang relatif homogen, baik dari segi etnis maupun agama dan bahkan sebagian dari mereka masih satu keturunan (trah), merupakan kondisi alamiah yang menjadi alat kontrol terhadap perilaku warga masyarakat lokal. Dalam kondisi demikian ini, kejadian “baik atau buruk” yang dilakukan oleh seorang warga masyarakat dengan cepat diketahui oleh masyarakat luas. Karena itu, bagi warga yang melakukan perbuatan “buruk” ia dan keluarganya akan dikenal oleh masyarakat, sehingga bagi keluarga tersebut menjadi “aib”.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan kontrol sosial ini sudah baik, yaitu dengan mengajarkan agama dan tradisi mulai dari dalam keluarganya. Kemudian, untuk kegiatan yang melibatan semua warga masyarakat, dilakukan berbagai kegiatan sebagaimana pada upaya pemeliharaan persatuan dan kesatuan, yaitu pertemuan warga, majelis taklim, selamatan atau kondangan, upacara adat (barikan) dan sebagainya. Kondisi ini menggambarkan adanya nilai kesetaraan dan kerukunan yang dijunjung tinggi oleh semua warga masyarakat. Khusus untuk komunitas Suku Naga, dimana mereka di samping memiliki perangkat desa juga memiliki perangkat adat (ketua adat, lembaga adat dan hukum adat), mereka menjaga betul perilaku sosialnya karena di samping mendapatkan sanksi secara hukum formal juga mendapatkan sanksi dari lembaga adat.
Meskipun masyarakat telah melaksanakan berbagai aktivitas dalam upaya memelihara persatuan dan kesatuan serta kontrol sosial, masyarakat secara bergotong royong melakukan kegiatan untuk memelihara keamanan lingkungannya. Seperti pada Suku Osing, gangguan keamanan datang dari komunitas   luar, seperti pencurian ternak dan serangan dari komunitas luar (kasus Ninja pada tahun 1999). Sedangkan pada komunitas Gebang Sewu dan Suku Naga sampai saat ini belum ada ganggung keamanan, baik dari dalam maupun dari komunitas luar. Namun demikian, sebagai upaya memelihara keamanan lingkungan, ketiga komunitas melakukan ronda malam secara bergantian. Hal ini menggambarkan, bahwa masyarakat tetap merasa bertanggung jawab untuk memelihara keamanan dan kenyamanan teritorialnya dari berbagai macam gangguan.
Dewasa ini arus globalisasi tidak dapat dihindari, dan dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat di manapun. Masuknya teknologi di bidang eletronik misalnya, telah menjadikan kebudayaan lokal tergeser ke pinggiran dan terancam punah.  Maka tidak mengagetkan, kalau mereka yang dikategorikan sebagai komunitas adat terpencil, dengan bangga memutar musik dari tape recorder, VCD atau layar tancap ketika mengadakan syukuran atau hajatan. Sementara itu musik asli seperti rebana, terbang genderung, berjanzi dan tarian lokal tidak lagi diminati. Kondisi ini menggambarkan, bahwa masyarakat cenderung mulai mengalami kemerosotan dalam memelihara identitasnya.  Upaya pemeliharaan identitas sebagai komunitas yang masih menonjol, adalah penggunaan bahasa ibu untuk percakapan sehari-hari, baik di dalam lingkungan keluarga maupun dengan warga masyarakat setempat; dan melaksanakan tradisi seperti selamatan dan upacara keagamaan.
Adanya kecenderungan makin memudarnya upaya pemeliharaan kesenian asli, dan sebaliknya mengembangkan seni dari luar, merupakan salah satu gejala memudarnya potensi lokal. Hal ini juga bisa dipahami sebagai makin memudarnya kebanggaan masyarakat terhadap kekayaan dan warisan leluhurnya.
Informasi yang dapat diperoleh dari pembahasan temuan penelitian pada Suku Naga, Komunitas Gebang Sewu dan Suku Osing adalah :
Pertama, dalam pemenuhan kebutuhan yang meliputi kebutuhan pokok, sosial-psikologis dan pengembangan, mereka masih dihadapkan oleh keterbatasan untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Di sisi lain masyarakat memiliki potensi alam, kelembagaan lokal dan kearifan lokal.
Kedua, partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial kemasyarakatan pada umumnya sudah mendukung terhadap kebijakan pembangunan.  Dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya nilai sosial budaya lokal yang tidak mendukung terhadap kebijakan pemerintah dalam pembangunan. Namun demikian, ada kecenderungan mulai memudarnya kebanggaan masyarakat terhadap kekayaan sosial budaya lokal.   
III. PENUTUP
Hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, keluarga, kelompok dan komunitas masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Kemudian dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan integrasi sosial melalui peningkatan ketahanan sosial dalam tata kehidupan dan penghidupan bangsa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, pembangunan kesejahteraan perlu memberikan sumbangan yang nyata dan bermakna terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional tersebut, yaitu “mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, materil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
 Memperhatikan hakikat pembangunan kesejahteraan sosial tersebut, temuan penelitian tentang kehidupan sosial budaya Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu Suku Naga, Komunitas Gebang Sewu dan Suku Osing, ada implikasi bagi kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial. Perundang-undangan yang ada (Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Menteri Sosial) kiranya sudah mencukupi sebagai landasan pelaksanaan pemberdayaan sosial KAT. Selanjutnya, bagaimana perundang-undangan tersebut dioperasionalkan ke dalam program dan kegiatan terencana yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan akan pelayanan sosial dasar KAT pada saat ini. 
Sejumlah aspek yang teridentifikasi dalam penelitian ini, sebagai bahan pertimbangan dalam merancangkembangkan program pemberdayaan sosial KAT, yaitu :
¨       Aspek sosial, yang di dalamnya meliputi :
Ø  Kearifan lokal dan kelembagaan lokal.
Ø  Kesejahteraan keluarga.
Ø  Sosial kemasyarakatan.
Ø  Mental-spiritual.
Ø  Kesehatan dan reproduksi.
Ø  Pelestarian SDA.
Ø  Kekayaan sosial budaya lokal.
¨       Aspek ekonomis, yang di dalamnya meliputi :
Ø Teknologi baru (Teknologi Tepat Guna).
Ø Usaha ekonomis dengan mekanisme kelompok.
Ø Jaringan pemasaran produksi.
Ø Manajemen usaha dan pemanfaatannya.
Ø Stimulan bergulir.
¨       Aspek darurat, yang di dalamnya meliputi :
Ø  Kesehatan dan gizi anak.
Ø  Bantuan natura.
Ø  Pemugaran rumah.
Ø  MCK umum.
Sebagaimana acuan konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, bahwa ada tiga unsur perubahan yang dikaitkan dengan pemberdayaan masyarakat, yaitu aspek teknologi, interaksi sosial dan nilai-nilai. Sehubungan dengan itu, maka aspek aspek, ekonomi dan darurat tersebut di atas, dalam implementasinya perlu mempertimbangkan unsur-unsur perubahan ini.  Berdasarkan tingkat kemudahannya untuk berubah, teknologi merupakan aspek yang paling mudah berubah, kemudian aspek interaksi sosial dan aspek nilai-nilai.
Kemudian dalam implementasinya, program pemberdayaan sosial KAT perlu mengembangkan prinsip praktek maupun prinsip etis yang berlaku di dalam pekerjaan sosial. Di dalam pekerjaan sosial dikenal dengan adanya prinsip praktek, bahwa pertolongan itu diberikan agar seseorang atau komunitas dapat menolong dirinya sendiri (help people, help them self).  Kemudian ada prinsip etis, seperti individualisasi (individualization) dan penentuan diri sendiri (self-determinination). Prinsip-prinsip ini menempatkan KAT sebagai subyek dalam pemberdayaan diri dan lingkungannya. Sehubungan dengan itu, sejak proses assesmen, merencakan kegiatan, melaksanakan rencana dan evaluasi, KAT perlu dilibatkan. 
Prinsip praktek maupun prinsip etis tersebut, menempatkan pihak luar dalam proses pemberdayaan KAT ini dalam fungsi fasilitasi, mediasi dan informasi.  Pihak luar mendatangi KAT bukan sebagai “pembawa obat mujarab” yang dapat menyembuhkan pasien. Tetapi ia datang untuk bersama-sama dengan KAT menemukan “resep” yang tepat dengan kebutuhan KAT tersebut. 



DAFTAR PUSTAKA



Departemen Sosial, (2001), “ Pedoman Umum Pelaksanaan Pemetaan Sosial Komunitas Adat Terpencil”, Jakarta : Departemen Sosial.
------------------------, (2002), “Panduan Umum Pendataan Komunitas Adat Terpencil”, Jakarta : Departemen Sosial.
-----------------------,     (2002), Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil”, Jakarta : Departemen Sosial.
Harsojo, (1993),         “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan Phubliser.
Haryanto, Rahardi dan Amrin Amal Tomagola, (1997), “Indikaator Keluarga Sejahtera : Instrumen Pemantau Keberdayaan Keluarga untuk Mengentaskan Kemiskinan”, Jakarta : ISI.
Irawan Suhartono, (1999), Metode Penelitian Sosial, Bandung : Rineka Cipta.
Kodiran, (1993), “Kebudayaan Jawa”, dalam Koetjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan Phubliser.
Moore, Robert W, (  1968 ), Indicator Of Social Change, USA.
Siporin, Max, (1975), Introduction to Social Work Practice, New York : Mac Millan Phubliser Co. Inc.
Soemardjan, Selo, (1997), “ Kemiskinan : Suatu Pandangan Sosiologi”, Jurnal Sosiologi Indonesia, Jakarta : ISI Phubliser.
Suharto, Edi (2002), “Cooping Strategies dan Keberfungsian Sosial : Mengembangkan Pendekatan Pekerjaan Sosial dalam Menghadapi dan Memerangi Kemiskinan” (Makalah Seminar), IPB : Bogor.
Sukoco, Dwi Heru, (1991), Profesi Pekerjaan Sosial, Bandung : STKS Phubliser.
Swasono, Mutia Farida, (2002), “Prospek dan Permasalahan Perlindungan dalam Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Jakarta : Direktorat KAT.



BAB 7

KONFLIK DAN MODAL KEDAMAIAN SOSIAL DALAM KONSEPSI KALANGAN MASYARAKAT DI TANAH AIR
(Studi Penelusuran Idea di  Kawasan Komunitas
Krisis Integritas Bangsa dalam Merambah Kebijakan)
           


I.    PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat  sepertinya ikut mengusik kedamaian, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam.  Semacam muncul stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap.
Kondisi tersebut, setidak-tidaknya menjadikan situasi semakin rentan bagi lintas kepentingan para pihak yang berseteru kekuasaan, aset dan pengaruh. Jakarta sebagai sentra pemerintahan serta cermin bagi propinsi-propinsi juga tidak luput dari gejolak konflik semacam itu, beberapa kasus adalah tawuran di Matraman; Bukit Duri; Johar Baru; Kramat Tunggak dan Glodok. Keterkoyakan kedamaian juga menjadi fenomena yang semakin lazim terjadi, seperti pemboman rumah-rumah ibadah, lembaga pendidikan hingga hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan. Hal seperti ini terlihat pula pada bilangan kawasan di wilayah Indonesia, seperti kerusuhan di wilayah-wilayah Jawa Timur; Kalimantan Barat dan Tengah; Sulawesi Tengah; Maluku Utara dan Ambon; Papua; Bali; dll.
Pelbagai penelitianpun telah digelar oleh peneliti setempat maupun dari Pusat, solusi melalui temu lintas tokoh meminta kesadaran bermasyarakat dan bernegara serta bantuan pihak keamanan juga dilakukan, tetapi di belakang itu kembali timbul gejolak.
Itulah sebabnya perlu dikaji ulang tentang ide dan realitas kehidupan di daerah-daerah rusuh untuk memperoleh informasi berupa data konflik hingga konsep modal kedamaian sosial, kerukunan hidup dari berbagai etnis, agama serta pelapisan masyarakat yang berdomisili di kawasan rentan tersebut. Begitu pula dijaring data kawasan komunitas kebal atau resisten terhadap konflik yang masih bisa mengenyam kesejukan di tengah kemelut lokasi jiran, sehingga kondisi ini menjadi sumber pertimbangan pendekatan yang seharusnya diadopsi berbagai etnis, agama serta pelapisan masyarakat.
Permasalahan
Selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru (The New Order Regime) dan bahkan jauh ke belakang semenjak zaman penjajahan, keutuhan warga nampak kokoh. Akan tetapi seputar masa reformasi muncul kerusuhan diberbagai wilayah yang terkesan ada hubungan dengan disorganisasi lintas etnis, agama dan pelapisan sosial.
Masalah utama dalam reformasi adalah krisis pemerintahan yang menyentuh peta kesenjangan politik, ekonomi, hankam dan hukum. Nyatanya konflik etnis, agama dan stratifikasi sosial mengemuka sebagai faktor yang melahirkan kemelut dan kerusuhan yang seharusnya tidak terjadi.
Atas permasalahan tersebut, pertanyaan utama penelitian ini adalah : ”Apa mata rantai penyebab krisis pemerintahan itu muncul berbentuk kerusuhan antar etnis, agama dan pelapisan sosial?”.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan (1) Untuk menyumbangkan kajian akademis berupa ilmu pengetahuan tentang paradigma, konsep, proposisi dan teoritis tentang kesukubangsaan, keutuhan dan kerusuhan sosial di Indonesia. (2) Untuk menyajikan berbagai realitas kehidupan dalam kesukubangsaan untuk kepentingan terapan berupa pengambilan kebijakan.

     Hipotesis
Kerusuhan di berbagai kawasan di wilayah tanah air dalam persepsi berbagai etnis dan agama serta pelapisan masyarakat berhubungan dengan kesenjangan sosial ekonomi, sosial keagamaan, perilaku antar etnis, kurangnya peran lembaga pelayanan sosial pemerintah, keberpihakan aparat pemerintah dengan pihak keamanan dalam penyelesaian kerusuhan masyarakat dan di sisi lain keikutsertaan mereka memicu kerusuhan itu.
     Analisa Teoritis dan Kerangka Konseptual
Analisa Teoritis
Teori yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah teori fungsional Talcot Parsons: “Tertib sosial ditentukan hubungan timbal balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan kepribadian”.
Teori konflik Dahrendorf, kebalikan teori kohesi Malinowski “Satu wilayah kehidupan dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik “reciprocity” dibawah prinsip-rinsip legal.”
Teori kebudayaan dominan diketengahkan Parsudi Suparlan: ”Kemampuan penyesuaian terhadap kebudayaan yang telah mapan”. Sebagai catatan, konsep-konsep, preposisi serta teori Suparlan ini hanya terfokus pada inter relasi diantara dua pihak dalam satu lingkungan hingga pemerintah, sementara kerusuhan kadang terkait dengan pihak luar wilayah Indonesia.
Meletusnya konflik bernuansa etnis dan atau agama di beberapa wilayah secara hampir bersamaan memunculkan banyak hipotesis dan teori. Berbagai hipotesis dan teori tersebut dibangun dengan sebuah harapan besar agar masyarakat dan para pengambil kebijakan dapat lebih memahami berbagai dimensi yang melatari terjadinya konflik. David Bloomfield dan Ben Reilly, setelah melakukan penelitian dan pengkajian yang mendalam atas berbagai konflik horisontal yang terjadi di negara-negara dunia ketiga menyimpulkan, adanya dua elemen kuat yang seringkali bergabung dan menjadi pemicu terjadinya konflik yang berkepanjangan. Yang pertama adalah elemen identitas, yaitu mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah elemen distribusi, yakni cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Teori ini lebih fokus pada proses migrasi dan peluang, kurang menyentuh intervensi luar dan pressure group atau personal.
Kerangka Konseptual
Jika diskemakan konsep-konsep, proposisi-proposisi di atas ke dalam bentuk kerangka konseptual akan terlihat sbb:




























Metode Penelitian yang Digunakan
Pengumpulan data dilakukan di kawasan rusuh maupun yang aman  mulai dan sesudah Mei 1998 serta menganalisa kondisi dan kontribusi Pemerintah Pusat ke Daerah dalam hal tersebut. Data yang dicari meliputi pendapat, kesaksian, dokumen, tulisan tentang etnis serta agama masyarakat pembauran lintas etnis dan agama tersebut. Dilakukan dengan menggunakan angket dan tehnik wawancara mendalam, sementara dokumen dan tulisan tentang etnis dilakukan dengan observasi dan analisa kritis. Informan terdiri dari tokoh-tokoh adat, pemuka agama, cerdik pandai, warga masyarakat biasa, pemda setempat, pihak keamanan, pengurus pemuda di samping organisasi berbagai etnis dan agama yang ada di kawasan tersebut. Seluruhnya berjumlah 50 orang
Adapun wilayah-wilayah  yang diteliti adalah kawasan rusuh dan damai Sampit; kawasan rusuh dan damai Sambas; kawasan rusuh dan damai Poso; kawasan rusuh dan damai Ternate. Khusus dari kedua kawasan yang berbeda keamanannya ini diupayakan kiat kunci world view masing-masing sehingga terjawab sumber konflik dan sebaliknya modal kedamaian sosial di kawasan itu. Data dikumpul lewat kuesioner dan didukung interview terhadap 420 responden yang akhirnya mengembalikan jawaban sebanyak 408 orang.
Data yang dikumpulkan meliputi data substantif. Karena itu pendekatan datanya adalah kualitatif. Namun demikian diawali dengan pengumpulan data kuantitatif untuk mendapatkan data jaringan fenomena yang saling terkait serta memudahkan secara sistematis melacak data kualitatif. Karena itu pendekatan sumber datanya adalah emic (idea yang tumbuh dari pendukung kehidupan etnis serta agama yang hidup di kawasan itu). Adapun etic (pemikiran analisa kritis akademisi dan cendekiawan) hanya akan digunakan pada tingkat kajian teoritis dan model implementasi. Dari itu ilmu acuan yang digunakan adalah multidisiplin antropologi kebudayaan dan agama, sosiologi dan sosiologi agama,  teologi,  ekonomi dan politik.


Organisasi Pelaksana
Pelaksana penelitian ini adalah Lembaga Penelitian dan Lembaga Pengabdian Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan Balatbangsos Departemen Sosial RI.
II.  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum
Penelitian ini diadakan di lima wilayah, yakni; Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi Tengah), Ambon (Maluku), dan Ternate (Maluku Utara).
Kabupaten Sambas
Penduduk Sambas, sebagian besar menganut agama Islam, terutama suku Melayu, sedangkan yang beragama Katholik dan Protestan adalah suku Dayak, kendati suku Dayak aslinya beragama Kaharingan (semacam animisme, kepercayaan kepada roh leluhur yang memiliki kekuatan magis).  Prototipe agama kemudian mengidentikkan Melayu dengan Islam, sedangkan Dayak dengan Kristen. Sedangkan Cina, kebanyakan masih menjalankan tradisi nenek moyang. Para pendatang, terutama Jawa dan Madura menganut agama Islam, dan bahkan Madura memiliki tradisi keislaman yang lebih eksklusif dibandingkan dengan penduduk setempat, seperti membuat madrasah sendiri, dan ’hanya’ patuh kepada ustadz yang dari etnis Madura. Untuk sarana Ibadah, Masjid ada 506 buah, gereja Protestan 45 buah, geraja Katolik 31 buah. World view Melayu antara lain “Seudik serangkuh dayung, dimane bumi diinjak  di situ langit dijunjung, dimane ranting di patah disitu air disauh dan lain lubuk lain ikannye”.. Ungkapan ini menuntut setiap orang memahami lingkungan yang didatanginya dan menyesuaikan diri dengan kondisi itu.  Sementara world view Dayak antara lain “Ngelakin Lejau Te’ ‘aang sa ang te’ ‘aang liray” .Ini bermakna perlu saling membimbing agar berusaha berprestasi untuk menjadi yang unggul diantara sesama. 
Kabupaten Sampit
Di Kabupaten Sambas diperkirakan terdapat etnis Madura sebesar 75.000 jiwa, di luar itu, suku asli yakni Dayak menjadi mayoritas, dan selebihnya adalah suku Banjar, Cina dan sedikit berasal dari suku Jawa dan pendatang lainnya. Dilihat dari sisi agama, Islam menjadi anutan mayoritas penduduk dengan jumlah 388.653 jiwa (80 %), Kaharingan, 58.042 jiwa, Kristen Protestan 30.369 jiwa, Budha 1.233 jiwa, Katolik 673 jiwa, dan lainnya 150 jiwa. World view masyarakat Banjar  adalah ” Waja sampai ka putting, olah babaya”. Yaitu bekerja sampai tuntas dan bahu membahu maju bersama. Dengan demikian sifat kerjasama dituntut dalam budaya masyarakat ini.
Kabupaten Poso
Beberapa suku asli mendiami kawasan ini, antara lain suku Pamona, Lore, Mori, Bungku, dan Tojo/Una-una. Suku-suku pendatang dalam jumlah besar  berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar, dan Toraja) dan Sulawesi Utara (Gorontalo dan Minahasa), di samping puluhan ribu pendatang yang secara terencana di datangkan  Pemerintah melalui program transmigrasi dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Di kalangan suku-suku asli, orang Pamona, Lore, dan Mori dikenal sebagai penganut agama Kristen (umumnya Protestan). Sementara orang Ampana dan Tojo/Una-una dikenal sebagai penganut Islam. Kaum pendatang, Bugis/Makasar dan Gorontalo dan transmigran dari Jawa dan sebagian Nusa Tenggara adalah penganut Islam. Sementara penganut Kristen di kalangan Kristen berasal dari Toraja dan Minahasa, dan dikalangan transmigran dari sebagian Nusa Tenggara dan Jawa. World view suku bangsa Bugis menekankan ” Rebba Sipatokkang Mali Si Parappe, Malilu Si Pakainge”. Maknanya, jatuh saling angkat , hidup saling memuliakan, lupa saling mengingatkan. Sementara world view suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah “Roso, Risi, Rasa, Nosimpotobe”. Hendaklah kekuatan kita mempertebal rasa sayang untuk saling menopang. Sementara world view suku-suku bangsa dari Manado menekankan “Sitou Timou Tumou Tou” yakni saling menyokong demi saling menadaikan.    
Kotamadya Ambon
Rata-rata penduduk Ambon merupakan kaum pendatang dari berbagai daerah dan suku. Suku-suku yang mendiami Ambon antara lain, Wattimena, Lokollo, Kakisina, Korputty, Kakerissa, Riupassa, Anakotta, Payapo, Pasireron, Manuputty, Pasal, Pasanea, Kiry, Killian, Tamaela, Simataw, Sitania, Mahusa, Halatu, Tauran, Wattimuri, Lasamahu, Sautsa, Lessy, dan lainnya. Pendatang lain yang cukup banyak adalah dari Buton, Bugis, dan Makasar. Kaum pendatang dari Jawa, Sumatera dan Kalimantan juga cukup banyak mendiami bumi lease ini.
Jika dilihat dari komposisi pemeluk agama, Ambon  adalah wilayah dengan tingkat perimbangan heteroginitas pemeluk agama yang cukup tinggi, setidaknya secara kuantitatif. Pemeluk Islam dan Kristen (Protestan) mempunyai proporsi yang berimbang, yakni 43,81 % dan 49,44 %. Sementara Katolik hanya 6,25 %, Hindu 0,15 %, dan Budha  0,45%. Adapun world view masyarakat Ambon “Gandongge mari beta, Gendong ose Jua. Lawa mena Haulala” yang berarti “saudara marilah pelukmu jua. Maju terus pantang mundur”. Ada juga “Pela Gandong” (ikatan persaudaraan baik berdasarkan marga, suku, maupun wilayah teritorial tertentu untuk saling menolong).
Kabupaten Ternate
Pemeluk Islam merupakan mayoritas di Kabupaten Ternate, yakni 83,7 %, Kristen Protestan 16 %, dan Katolik hanya 2 %. Sedangkan pemeluk agama lain, Budha dan Hindu hanya sedikit sekali, di bawah 1 %. Penduduk Maluku Utara berasal dari kurang lebih 28 suku bangsa, antara lain; Tobaru, Wayoli, Tobelo, Galela, Sahu, Modole, Togutil, Sawai, Buli, Bajo, Ternate, Kao, Malifut, dan lain-lain. Kesemuanya itu, terkonsentrasi pada 3 wilayah kultur, yakni; wilayah kultur Ternate meliputi Ternate, Halmahera Utara, dan Kepulauan Sula, wilayah kultur Tidore meliputi kepulauan Tidore, Halmahera Tengah dan Timur, wilayah kultur Bacan meliputi kepulauan Bacan dan Obi. World view masyarakat Maluku Utara ini adalah Marimoi Ngonefututui yang berarti “Bersatu Kita Teguh”.  
Di lihat dari berbagai world view di atas, semua suku-suku bangsa di daerah akan bisa menerima siapa saja asalkan mengikuti pandangan hidup masing-masing suku bangsa. Hal yang perlu dicermati adalah aspek apa saja jenis guncangan pada world view tersebut dari lintas kehidupan masyarakat.  
Temuan Penelitian
Dimensi Konflik dan Kedamaian Sosial
a.  Latar Belakang dan Penyebab Terjadinya Konflik  
Konflik yang terjadi  di Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate meskipun masing-masing mempunyai konsentrasi yang berbeda namun secara umum dapat dilihat dengan menggunakan kacamata Bloomfield dan Reilly yang telah disebutkan terdahulu.  Yaitu bahwa pada umumnya konflik di kelima wilayah itu terjadi akibat distribusi baik ekonomi, sosial dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan dengan perbedaan identitas. Konflik Sampit dan Sambas misalnya, banyak dipicu oleh kenyataan bahwa etnis Madura pada taraf tertentu telah menjelma menjadi kelompok yang berhasil menguasai berbagai sumberdaya ekonomi, sementara disisi lain perilaku sosial mereka yang cenderung eksklusif semakin menegaskan komunalitas etnisnya. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan sosial, meskipun itu kecil, dengan etnis Dayak atau Melayu sebagai penduduk asli cukup untuk menyulut sebuah konflik yang massif dan berkepanjangan. Demikian pula halnya yang terjadi di Ambon, Poso dan Ternate dengan isu identitas yang sedikit berbeda (yakni, isu agama dan pada beberapa kasus di Ambon juga dibalut dengan isu etnis, yaitu Buton, Bugis, Makasar dengan penduduk asli).
Data yang berhasil dihimpun peneliti menguatkan tesis diatas, dimana menurut responden, umumnya konflik yang terjadi sangat kuat dipengaruhi oleh isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4% responden di lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan hubungan  antar warga adalah karena perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang cukup dominan, terlihat dari jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5%. Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik, sebesar 15,6%.
Dalam kenyataan di lapangan, faktor-faktor identitas yang meliputi etnis dan agama ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Dalam kasus-kasus dimana identitas dan isu distributif dibaurkan, menciptakan peluang kesempatan bagi para oportunis untuk semakin mempertinggi eskalasi konflik. Inilah yang tercermin dari pendapat sebagian responden sebesar 4% yang menyatakan bahwa konflik di lima wilayah ini akibat ulah provokator.
Dapat dikatakan umumnya konflik secara mikro dilatari ketidakpuasan antar perilaku lintas suku,  agama, keamanan, birokrasi dalam penguasaan aset dan lapangan pekerjaan. Masyarakat kurang terbimbing dalam keterbukaan dan mencari solusi bersama yang saling mengalah dan saling beruntung. Juga lemah dalam menganalisis provokasi luar. Sehingga kelabilan tersebut menjadi faktor penunggu (predispose factors) yang potensil terhadap ledakan konflik.
Adapun penyebab terjadinya konflik, biasanya diawali kasuistik bersifat individual, disharmoni komunikasi kebutuhan. Selanjutnya dimanfaatkan pihak tertentu lewat pengembangan isu-isu esensi sensitif kehidupan etnis dan keagamaan hingga hajat hidup. Masyarakat labil tersebut cepat terprovokasi untuk harapan menang secara duniawi atau mati suci mempertahankan kebenaran. Sentimen etnis, agama dan perspektif, menjadi faktor pelengkap (precipitating factors) terwujudnya konflik horizontal dan vertikal.
b.   Fenomena dan Dampak Konflik
Realita konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut, caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh pertentangan batin, membakar,  merampas hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar, dll.
Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Kekerasan yang terjadi dalam rentang waktu lama menjadikannya sebagai perilaku yang seolah wajar dan bahkan terinstitusionalisasi. Akibatnya lingkaran setan kekerasan menjadi mata rantai yang semakin sulit untuk diputuskan. Karena perasaan masing-masing pihak adalah victim (korban) memicu dendam yang jika ada kesempatan akan dibalaskan melalui jalan kekerasan pula. Belum lagi kerusakan dan kerugian materiil yang harus di tanggung, sungguh tak terperikan lagi.  Sebesar 15% responden menyatakan bahwa dampak konflik adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan kehilangan pekerjaan, 11,6% menyatakan konflik telah membuat mereka yang tadinya akur dan rukun terpaksa harus saling berkelahi karena perbedaan identitas, bahkan 12,4% menyatakan bahwa perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama. Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden.
Dampak terbesar dari konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada aspek psiko-sosial masyarakat. Dimana sebesar 16,7% responden menyatakan konflik telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman. Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan diatara warga masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15% responden.
Dampak konflik lainnya adalah mengundang turun tangan keluarga dan sanak saudara dari kepulauan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga ibu kota negara datang membantu keluarganya secara ekonomi, tenaga, ikut berperang dll. Di sudut agama terpanggil rasa solidaritas seagama dari pelbagai organisasi sosial keagamaan dari pelbagai penjuru tanah air hingga dari luar negeri.  Kondisi ini dimanfaatkan pula oleh para pencuri, menyaru sebagai penyelamat-pemihak ternyata menjarah milik semua pihak.
Pasca konflik, ekses masih berlanjut, perumahan, lembaga pendidikan, perkantoran, sarana ibadah musnah setidaknya hancur, kehilangan harta benda, mata pencaharian dan sanak saudara, orang cacat, putus sekolah, penderita keabnormalan jiwa, saling curiga, hari depan yang suram, pihak keamanan dan birokrasi kehilangan kharisma, dll.
Trauma komunal seperti ini akan menimbulkan luka yang mendalam dan menyakitkan. Trauma komunal ini juga akan melahirkan  ’pahlawan’ dan ’martir’ dari kedua belah pihak yang bertikai, berikut kenangan akan pengorbanannya yang digunakan untuk memperdalam perpecahan yang nyata diantara kelompok identitas yang berkonflik.
c.  Cara Penanganan Konflik
Konflik yang terjadi di lima wilayah Sampit, Sambas, Ambon, Poso dan Ternate, menampilkan interaksi yang rumit antara kekuatan-kekuatan yang berbeda. Namun demikian semua kasus di tiap wilayah mewakili jenis konflik yang mengakar dan berkepanjangan. Karenanya semua itu membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda dan institusi yang berbeda pula untuk mengelola pertikaian dan membangun perdamaian yang berkelanjutan. Lebih jauh, masing-masing membutuhkan  penciptaan struktur yang terancang baik yang sengaja ditujukan untuk kebutuhan yang spesifik. Karena itu sesungguhnya, tidak ada ”resep manjur” yang dapat diterapkan untuk mengatasi segala jenis konflik.
Di sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung ”diseragamkan”. Hal tersebut terlihat dari respon masyarakat yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden), penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).
Upaya-upaya yang lebih menyentuh persoalan yang mendasar dan substansi, seperti penguatan basis sosial dan ekonomi masyarakat, pengaturan penguasaan sumber daya ekonomi secara lebih adil dan seterusnya belum banyak dilakukan. Akibatnya, pemerintah seringkali terjebak dalam paradigma menyelesaikan konflik dan bukannya mengelola konflik.
Dalam konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly, Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyelesaian konflik yang mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu, dimana sebagian besar responden 73,2% menyatakan agar penyelesaian konflik dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5% saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi atau oleh aparat kepolisian serta 5,7% saja yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.
Untuk mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat daerah konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong royong (15,5%).
d.   Modal Sosial Yang Dimiliki
Sebagaimana analisa teoritis terdahulu bahwa untuk mewujudkan pengelolaan konflik yang baik, menurut Yash Ghai, Profesor Hukum Publik Universitas Hongkong, terdapat prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh segenap komponen masyarakat yang bertikai. Yaitu kepemimpinan yang berwawasan kedepan dan keinginan kuat segenap komponen masyarakat untuk menyudahi konflik yang terjadi.
Mengacu pada berbagai komponen tersebut, data yang dihimpun peneliti menunjukkan bahwa masyarakat di lima wilayah konflik umumnya masih memilki modal sosial yang cukup memadai untuk mengelola konflik mereka. Karena umumnya mereka, 16,9 % menganggap perlunya saling pengertian, 14,5% menyatakan agar masing-masing kelompok etnis/agama harus saling menghormati, 8,8% memandang saling menolong   masih menjadi modal sosial yang dimiliki.
Data-data tersebut diperkuat oleh berbagai sikap masyarakat yang mencerminkan keterbukaan dan kesediaan mereka untuk lebih erat melakukan interaksi sosial dan budaya. Dalam masalah perkawinan antar suku (termasuk suku yang bertikai) misalnya, 83,8% menyatakan setuju. Demikian juga dalam hal penataan rumah antar warga yang bertikai, umumnya (72,1%) tidak menyetujui jika dipisahkan secara diametral sesuai dengan suku/agama masing-masing, karena hal tersebut justru akan semakin memperdalam jurang perbedaan diantara mereka. Demikian pula halnya dengan penyediaan sekolah khusus untuk penganut agama/suku tertentu, sebanyak 67,9% menyatakan keberatannya. Intinya, mereka sesungguhnya tidak pernah menginginkan terjadinya pemisahan dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (umum).
Bagi sebahagian besar penduduk asli dan pendatang masih menunjukkan kemauan hidup bersama secara damai seperti semula. Memiliki renungan yang relatif sama, mengapa bisa terbawa arus saling bermusuhan dan berperang sesama sekampung yang sebelumnya bergandengan tangan dalam menjalankan kehidupan sekalipun berbeda etnis dan agama serta berlebih kurang tingkat ekonomi.
Analisa cerdas dan kesadaran yang mendasar dari warga masyarakat juga mulai tumbuh. “Kita telah saling berperang apa yang telah kita peroleh dengan peperangan itu?. Sesungguhnya siapa yang menghipnotis sehingga kita saling bermusuhan dan berperang?. Menang jadi arang, kalah jadi abu dan nyatanya semua kalah serta rugi”.
Berarti ada modal dari segi kesadaran kohesi sosial, membenci orang atau kelompok yang telah memprovokasi (menghindari konflik baru), dan implisit keinginan membangun tatanan sosial baru dari puing keruntuhan.  
Dengan sikap yang sedemikian sesungguhnya dapat dikatakan bahwa masyarakat di wilayah konflik umumnya masih memiliki modal sosial yang cukup memadai untuk dapat menyatukan mereka kembali dalam kehidupan yang guyub dan rukun. Khususnya Ambon, Ternate dan Poso, sementara Sambas dan Sampit masih trauma dengan interaksi lintas etnis yang tidak persuasif.
e.   Tipe Perubahan yang Diinginkan Masyarakat
Nampaknya masyarakat menginginkan keikutsertaan mereka dalam rancang bangun kehidupan mereka kembali. Baik itu lintas etnis, agama maupun stratifikasi sosial. Dengan demikian keterbukaan secara horizontal dan saling mempertimbangkan secara vertikal antara konsep top down dengan bottom up tidak sekedar di dalam kajian retorika akademis tapi menjadi landasan riil program.
Hubungan Gejala-gejala Konflik dan Kedamaian
Dari berbagai faktor dan variabel yang dapat dilihat kaitannya satu sama lain dari pemikiran masyarakat yang muncul terkait dengan gejala-gejala konflik dan kedamaian dalam penelitian ini terlihat sbb:
¨       Masyarakat dari pelbagai jenis agama, jenjang pendidikan, ragam suku bangsa/etnis, variasi pekerjaan, jenjang umur di desa rusuh dan aman, umumnya tidak setuju penataan rumah dilakukan berdasarkan jenis agama maupun kesamaan suku bangsa. Biarlah berbaur secara alamiah saja. Adapun perkawinan antar suku tidak perlu dipermasalahkan namun perkawinan antar agama sebaiknya tidak terjadi. Pada dimensi kehidupan lainnya masyarakat kebanyakan tidak setuju jika penguasaan peluang kerja didominasi kelompok mayoritas maupun minoritas tertentu. Mereka umumnya tidak setuju diadakannya sekolah khusus untuk suku/agama tertentu. Mayoritas menyatakan jaminan pemeliharaan keamanan kelompok mayoritas maupun minoritas di masing-masing desa.
¨       Sekalipun umumnya menunjukkan porsi setuju atau tidak setuju pada berbagai pilihan sikap itu, namun oposit atau lawannya masing-masing merupakan porsi-porsi yang cukup besar juga yang secara kualitatif patut dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan. Misalnya, umumnya yang menyatakan tidak setuju penataan rumah berdasarkan agama/suku itu mayoritas, yakni sebesar 291 responden (76,2%), akan tetapi yang setuju mencapai 91 responden (23,8%), dst.
¨       Dalam tabel statistik sekalipun terlihat ada angka yang menunjukkan signifikansi tinggi dan rendah pada hubungan variabel-variabel, tetapi kurang reliabel karena penyebaran frekuensi terlalu melebar sehingga banyak yang menjadi bias. Itulah sebabnya ke dua perhitungan di atas lebih didasarkan kepada angka absolut dan prosentase saja untuk mempermudah pengamatan dan analisa sesuai realitas data.
Dengan demikian, data menggambarkan bahwa kemauan warga untuk hidup bersama dengan segala penghargaan yang mesti dilakukan dalam sisi-sisi perbedaan norma dan nilai, nuansanya masih sangat kental untuk direspon. Di samping yang terhadap sebahagian warga yang menginginkan pemisahan masih butuh antisipasi persuasif yang serius.    

Substansi Hubungan Pelbagai Faktor

Sebahagian yang menginginkan pemilahan dalam berbagai hal disebabkan karena trauma yang mereka alami langsung saat kerusuhan terjadi. Namun ada pula yang melihatnya dari segi keuntungan strategi kelompoknya karena mereka berada pada posisi yang mayoritas. 
Sementara bagi yang tidak menginginkan pemilahan pelbagai komponen kehidupan disebabkan karena pemikiran mereka bening untuk hidup pada masa yang akan datang dalam keutuhan yang lebih permanen. Juga karena mereka selama ini merasa sadar sebagai orang-orang yang hanya terprovokasi disamping mereka yang kurang langsung terlibat dalam medan kerusuhan.
Sebagian yang menginginkan rekayasa pembauran dalam berbagai aspek kehidupan dilatari pertimbangan upaya itu bisa memperkecil sumber perpecahan. Namun sebagian yang menginginkan tidak adanya rekayasa agar kedamaian itu terjadi secara proses alami, sehingga lebih permanen karena didasarkan tanggungjawab atas pilihan masing-msing.
Kritik  Teoritis
a.   Ketepatan Hipotesis
Hipotesis yang dinyatakan dengan “Kerusuhan di berbagai kawasan di wilayah tanah air dalam persepsi berbagai kalangan etnis dan agama berhubungan dengan kesenjangan sosial ekonomi, sosial keagamaan, perilaku antar etnis, tidak maksimalnya memerankan lembaga pelayanan sosial pemerintah, campur tangan aparat pemerintah dengan pihak keamanan yang memihak dalam penyelesaian masalah-masalah kehidupan dalam masyarakat dan di sisi lain keikutsertaannya dalam memicu kerusuhan itu sendiri. 
 Karena komponen etnis dan agama merupakan faktor-faktor substantif dalam kehidupan, maka kedua  komponen tersebut dikemas sebagai pemicu konflik hingga melahirkan kerusuhan.”
Berdasarkan temuan lapangan umumnya terbukti. Kerusuhan Sambas dan sampit dinyatakan lebih pada perilaku salah satu etnis pendatang yang kurang bisa menyesuaikan diri (adjustment) terhadap budaya dominan dalam keseharian maupun dalam upaya pemilikan (Hasil wawancara dan lihat juga Bruner dalam Suparlan). Kerusuhan Ambon, Ternate dan Poso lebih pada persaingan peluang menguasai pasar. Sambas dan Sampit tentang pemilikan lahan pertanian, perkebunan serta bisnis di satu sisi, keinginan untuk mensiasati kekuatan sesuatu agama di sisi lain, perebutan kekuasaan eksekutif di satu dimensi.
Keterlambatan koordinasi dan penghimpunan pelbagai sumberdaya oleh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif dan hankam dalam mencegah perluasan konflik, menengarai kerusuhan yang sedang terjadi serta mengatasi dampak kerusuhan, membuat konflik terjadi secara massif dan berkepanjangan. Terjadinya pemihakan aparat pemerintah dan keamanan yang sekerabat, se-etnis dan se-agama dengan pihak-pihak yang bertikai, juga semakin menyulut perluasan dan eskalasi konflik. Termasuk upaya sebahagian aparat keamanan melakukan tindakan anarkis yang semakin memicu kerusuhan lintas etnis dan agama. Tidak kurang pentingnya adalah adanya data yang menunjukan upaya orang-orang tertentu melalui komunikasi di tempat-tempat tertentu (kedai kopi, pasar, pertandangan, berbagai kesempatan pertemuan) meyakinkan rakyat bahwa masa rezim Orde Baru adalah pemerintahan yang sangat baik dan fase reformasi adalah pemerintahan yang kacau.  
Di sisi lain nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bagian dari skenario konspirasi besar pihak-pihak luar negeri untuk menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat juga dari yel-yel yang dielu-elukan pihak-pihak yang berkonflik khususnya di Ambon, Ternate dan Poso a.l. Hidup Amerika!, Hidup Australia!, Hidup Belanda!.                 

b.  Teori Temuan
Teori fungsional dari Talcott Parsons yang mengatakan: “…Tertib sosial akan dapat terbentuk, untuk mencegah terjadinya pertikaian antara warga-warga dari suatu masyarakat…terletak pada hubungan timbal-balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan kepribadian. Hal itu mengakibatkan terjadinya pelembagaan dari nilai-nilai budaya dalam norma-norma serta aturan-aturan dari sistem sosial tersebut. Warga masyarakat dengan mudah patuh, oleh karena aturan-aturan yang ada adalah serasi dengan nilai-nilai yang dianutnya. ….Apabila nilai-nilai yang dianut membentuk norma-norma sosial dan kepribdian orang, maka masyarakat akan  berada dalam keadaan stabil oleh karena hampir-hampir tidak terjadi pertikaian atau konflik”.Demikian sebaliknya. Teori tersebut berlaku karena konflik yang terjadi selama ini karena longgarnya ikatan ketiga sistem ini.
Ada 4 komponen yang sudah longgar di wilayah rusuh : (1). Nilai-nilai dasar yang dianut masing-masing warga etnis, tidak proporsional memasuki kebudayaan; (2). Status dan hak pribadi tidak terjamin;  (3). Prestise dijatuhkan; (4). Pemilikan dan pencaharian tidak terjamin. (Lihat Parsons dalam Sukanto, 1986:48).
Teori integrasi beresensi kohesi sosial tidak terjamin di lapangan penelitian karena :
¨       Tidak diupayakan proporsi yang cukup dari setiap komponen aktor-aktor bisa bertindak sesuai dengan syarat-syarat keutuhan ;
¨       Pembiaran pola-pola kebudayaan yang salah satunya gagal dalam menemukan suatu tata tertib yang minimal dan  dengan permisif itu menimbulkan penyimpangan dan pertentangan  
Teori Malinowski tentang konflik akan terjadi jika dari berbagai pihak yang dipertemukan dalam satu wilayah kehidupan tidak dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik “reciprocity” dibawah prinsip-rinsip legal. (Lihat Coser and Rosenberg, 1976: 61 dan 172). Dari temuan menunjukkan kebenaran ini, karena prinsip reciprosity  dan legalitas hampir tidak jelas fungsinya.
Model Kebudayaan Dominan yang dikembangkan Edward Bruner dan digunakan Parsudi Suparlan menganalisis kasus-kasus Bandung, Ambon dan Sambas.  Dinyatakannya: Adanya perbedaan dalam stratagi beradaptasi orang Jawa di Bandung dengan strategi adaptasi orang Buton, Bugis dan Makassar (BBM) di Ambon, serta orang Madura di Sambas memperlihatkan mengapa konflik-konflik dapat muncul di kedua daerah terakhir. Dengan kata lain, aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang bersumber pada kebudayaan dominan masyarakat setempat tidak diikuti oleh para pendatang dari Buton, Bugis, Makassar dan Madura” (Redaksi Jurnal Antropologi Indonesia, 58: 1999: iv). Teori ini juga menunjukkan kebenarannya.
Berarti proposisi  yang diiringi premis-premis pendukung teori Talcott Parsons, Malinowski serta Edwar Bruner yang diperkuat Parsudi Suparlan, terbukti di wilayah penelitian sekalipun proporsinya tidak terlalu berimbang untuk setiap wilayah. Akan tetapi kelemahan teori-teori ini seolah-olah memperlihatkan kedinamisan ide dan aktivitas masing-masing etnis dan agama di masing-masing lokal saja secara horizontal dan vertikal yang menyulut konflik. Padahal di seluruh wilayah penelitian keadaan itu hanya bersifat laten dan labil. Sementara yang berperan adalah pihak provokasi politisi yang menyentuh wilayah pemerintahan dan keamanan, pihak luar baik masih dari dalam negeri maupun pihak asing.  Jika diskemakan model teori temuan di lapangan adalah sbb:

 
















“Menebalnya kelabilan dan kelatenan berbagai hal dalam lintas etnis, agama dan pelapisan sosial, mempercepat keterlibatan mereka dalam konflik jika pihak berkepentingan mengkemas kondisi itu dengan janji kemakmuran, kemenangan hingga atau kesakralan religi.”
Perspektif  Kedamaian Pada Wilayah yang Pernah  Rusuh
Dengan demikian kedamaian sosial akan masih memungkinkan dicapai sebagai resolusi konflik jika diadakan pertemuan-pertemuan intensif lintas etnis, antar agama, pelapisan sosial dan profesi dalam satu kampung sehingga keutuhan itu semakin terjaga. Ini khususnya Poso, Ambon dan Ternate. Namun demikian untuk wilayah Sambas dan Sampit masih belum bisa diprediksi karena etnis-etnis yang bertikai tidak lagi pada wilayah pembauran dan umumnya belum kelihatan kemauan (willingness) dua belah pihak untuk bersama. Namun demikian, jika ratifikasi konsep kedamaian para pihak yang bertikai di sosialisasi oleh pemerintah serta pihak keamanan serta diiringi bantuan, pembimbingan ke arah perubahan pola interaksi dan upaya pemilikan, pengawasan dan pelaksanaan sanksi hukum secara tegas terhadap oknum, kelompok, atau lembaga penyulut kerusuhan baru, akan memungkinkan terciptanya kerukunan hidup baru.
Konflik baru yang sangat rentan jika muncul kehidupan bersama, lebih rentan pada masyarakat Dayak, Melayu dengan Madura di wilayah Sambas dan Sampit., karena mempertemukan jiwa temperamental di satu sisi dan jiwa frustrasi dan stres di sudut lain. Kerentanan kedamaian akan cepat terusik di Ambon, Ternate dan Poso jika esensi agama diusik oleh penyulut.
Kewibawaan pemerintah dan pihak keamanan akan lama pulih jika setiap adanya kerusuhan lambat atau mengurangi bantuan yang diprogramkan untuk mereka atau ditemukan tindakan kasar atau keberpihakan mereka dalam kemelut masyarakat itu.    

III. PENUTUP
Kesimpulan
Konflik yang terjadi yang berwujud wilayah rusuh di Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing. Kepentingan itu dilatarbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama.
Upaya itu tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan sehingga serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Masyarakat dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari semula sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam pelbagai perbedaan.  
Namun begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah dengan nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka, seyogyanya mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran.

Rekomendasi

Perlu upaya serius mematangkan pelbagai kalangan dalam berpolitik di Indonesia. Sejalan dengan itu harus diperkuat jajaran Departemen Luar Negeri kita agar strategis dan taktis memahami campur tangan asing terhadap kondisi bangsa kita dan mengkordinasikannya kepada pihak terkait.
Semua pihak menanamkan idealisme bermasyarakat dan bernegara dalam menjalankan tugas agar tidak terkesan lambat atau menangguk di air keruh, mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Kelabilan dalam menerima informasi yang masih terdapat dalam masyarakat kita agar segera mendapatkan paket-paket program pendidikan, bimbingan dan penyuluhan serta pengorganisasian masyarakat (community organizing) sehingga tidak mudah tersugesti seperti yang telah terjadi.

Dalam pelbagai kegiatan pembangunan masyarakat hendaknya mengikutsertakan partisipasi masyarakat bukan sebagai objek tapi juga sebagai bagian dari subjek pembangunan itu sendiri, khususnya  pasca kerusuhan. Sementara di lokasi damai diperkuat ikatan kebersamaan melalui program penguatan jaringan ekonomi, sosial dan keamanan.    
























DAFTAR  PUSTAKA


Azyumardi Azra (Editor), 1998, Agama Dalam Keragaman Etnik Di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI.
Achmadi Jayaputra dan Setyo Sumarno, 2000,           Permasalahan Sosial Korban Kerusuhan Di Propinsi Sumawesi Tenggara, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan Kesejahteraan Sosial Nasional 
Bellah, Robert N. (Editor),1965, Religion and Progress In Modern Asia. New York: The Free Press.
Bohm, RP. C.J. Fatlolon, Dkn Costan, Fr. Pr (Ed.), 2002,        Lintasan Peristiwa Kerusuhan Maluku tahun 1999-2002, Ambon: Keuskupan Amboina.
Coser, Lewis A. and Rosenberg, Bernard, 1976,         Sociological Theory (Fourth Edition). USA: Macmillan Publishing Co., Inc.
Chambers, Robert,1983, Rural Development: Putting the Last First. London: Longman Inc.
Dahrendorf, Ralf, 1986, Konflik Dan Konflik Dalam Masyarakat Industri (Sebuah Analisa Kritik). Terjemahan Ali Mandan dari judul aslinya: Class and Class Conflict in Industrial Society. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali
Depsos RI, 1995, Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di Indonesia. Jakarta: Terbitan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Depsos RI.
Effendi, Johan, dkk., 1999, Sistem Siaga Dini (Untuk Kerusuhan Sosial). Jakarta: Terbitan Balitbang Agama Depag RI dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta
--------------, 1999, Tradisi dan Kepercayaan Lokal Pada Beberapa Suku Di Indonesia. Jakarta: Terbitan Balitbang Agama Depag RI dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta
Germani, Gino (Editor), 1973,  Modernization, Urbanization, and the Urban Crisis. Boston: Little, Brown and Company
Haris, Peter & Reilly, Ben (Editor),  2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar : Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator. Jakarta : IDEA
Hadikusuma, H. Hilman,  1893, Antropologi Agama (Bagian I: Pendekatan Budaya terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia). Bandung: Penerbit  PT. Citra Aditya Bakti
YIII: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial,  1992,   Dari Otonomi Ke Disintegrasi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Kastor, Rustam, 2000, Damai Sekarang atau Perang Berlanjut. Ambon: Forum Pembela Keadilan Maluku (Terbitan Kalangan Sendiri). 
Ketetapan-Ketetapan MPR, 1999, 9 Ketetapan MPR dilengkapi dengan Susunan Lengkap  Anggota Kabinet Persatuan Nasional. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika
Lessa, William A. and Vogt, Evon Z., (tanpa tahun), Reader In Comparative Religion. New York: Harper & Row, Publishers
Mattulada, H.A, 1999, Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan di Indonesia: Prospek Budaya Politik Abad ke-21. Jakarta: ( Jurnal Antropologi Indonesis Th. XXIII, No. 58 Januari-April 1999).
Parsons, Talcott, 1986, Fungsionalisme Imperatrif (Ringkasan Soerjono Soekanto). Jakarta: Penerbit CV. Rajawali
-------------- ,  1964,      The Social System (The Mayor Exposition of the Author’s Conceptual Scheme for the Analysis of the Dynamics of the Social System). New Yor: The Free Press Paperback
Rahawarin, M. Nasir, 2000, Konflik Maluku dan Solusinya. Ambon (Tulisan Tanpa Diterbitkan).
Rusmin Tumanggor, Dkk,  2000, Kerukunan Hidup Dalam Konsepsi Berbagai Etnis Di DKI Jakarta. Jakarta: Hasil Penelitian LEMLIT IAIN Syahid Kerjasama dengan Bakor Bappeda DKI Jakarta..
Scokpitti, Frank R.,  1980, Social Problem, New York: University of Delaware,   
Soedijar, Ahmad, ZA, 2002,   Bencana Sosial Sampit. Jakarta: Terbitan Balatbangsos Depsos RI
Soekanto, Soerjono, 1983, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali
Suparlan, Parsudi,  1999, Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan. Jakarta: (Jurnal Antropologi Indonesis Th. XXIII, No. 58 Januari-April 1999).